Pertamina Bersikukuh Tak Keluarkan Dana untuk DPR [18/06/04]
Pihak PT Pertamina tetap mengaku tidak mengeluarkan dana untuk membiayai perjalanan rombongan anggota Komisi VIII DPR ke Hongkong dan Korea Selatan, dalam kaitan penjualan tanker raksasa, meskipun ada nota internal yang menjelaskan perihal pembiayaan untuk perjalanan tersebut. Karena itu, Pertamina berpendapat tidak perlu ada tagihan utang yang akan dikirimkan ke Komisi VIII DPR.
Demikian penjelasan Ketua Tim Divestasi VLCC (very large crude carrier/tanker raksasa) Andri Hidayat, yang mendampingi Direktur Utama Pertamina Ariffi Nawawi, kepada wartawan di Jakarta, Kamis (17/6).
Menurut Andri, nota tersebut hanya meminta agar agen pelayaran di Korea Selatan (Korsel) menangani keperluan akomodasi dan transportasi rombongan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan bukan untuk mengeluarkan dana.
Secara terpisah, pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan akan memeriksa kasus penjualan tanker raksasa Pertamina. Sebelumnya KPK telah meminta keterangan dari Direktur Utama Pertamina yang memutuskan akan menjual tanker itu.
Kami sudah lama memperoleh semua dokumen proses penjualan tanker Pertamina, tetapi kami tidak bisa mengandalkan hanya satu sumber. Masih butuh data lebih banyak. Sebelumnya kami sudah meminta keterangan direksi yang baru dan rencananya kami akan memanggil direksi yang lama, kata Wakil Ketua KPK Erry Riyana Hardjapamekas, kemarin.
Menurut Erry, dari hasil pertemuannya dengan direksi Pertamina, lengkap dengan argumentasinya, terlihat jelas bahwa Pertamina akan tetap menjual tanker raksasa itu seusai dengan studi yang telah dilakukannya. KPK juga akan meminta keterangan direksi PT Pertamina yang lama untuk meminta penjelasan mengapa tanker itu dulu dibeli.
Mengenai perjalanan anggota Komisi VIII DPR yang dibiayai Pertamina, KPK juga akan memeriksa kasus itu jika sudah ada data yang lebih lengkap.
Kami belum sampai pada kesimpulan Komisi VIII dibiayai Pertamina dan sedang mencari informasi tentang itu. Tidak ada persoalan kalau kami harus memeriksa anggota Komisi VIII. Tetapi untuk memeriksa, kami harus punya data yang cukup kuat. Jangan-jangan ini hanya ada opini atau permainan politik. Kami harus berhati-hati, ujarnya.
Erry juga mengatakan akan memanggil direksi Pertamina untuk meminta penjelasan duduk perkara sebenarnya mengenai sumber dana dan seputar kunjungan anggota Komisi VIII ke Hongkong dan Korea Selatan. Sebelumnya ada pernyataan semua biaya ditanggung Pertamina, tapi kemudian ada bantahan yang menyatakan dana yang dipakai adalah dana dinas Komisi VIII, papar Erry. Mana yang benar, kami sendiri belum tahu. Karena itu, kami berencana memanggil pihak Pertamina, papar Erry lagi.
Tidak dilaksanakan
Ditanya mengenai keterangan dalam nota bahwa beban biaya dimasukkan ke rekening direksi PT Pertamina, Andri Hidayat menegaskan, isi dalam nota itu tidak dilaksanakan. Pasalnya, Pertamina tidak mengeluarkan dana pada saat anggota DPR berkunjung ke Hongkong dan Korsel.
Ariffi menambahkan, Pertamina tidak bisa mencegah jika anggota DPR berkeinginan melakukan kunjungan ke Hongkong untuk menemui Goldman Sachs dan ke Korsel untuk meninjau tanker yang akan dijual. Akan tetapi, Pertamina menyertakan satu orang dalam rombongan untuk menghubungkan anggota DPR itu dengan pihak Goldman Sachs di Hongkong dan Hyundai di Korsel.
Jadi, itu ide anggota DPR. Tidak mungkin kami tolak jika DPR ingin menanyakan langsung. Tetapi kalaupun ada nota internal, itu tidak jalan karena Pertamina tidak mengeluarkan dana apa pun, ujar Ariffi.
Secara terpisah, anggota Komisi VIII dari Fraksi Partai Golkar Djusril Djusan menegaskan, biaya perjalanan ke Hongkong dan Korsel akan ditanggung oleh DPR. Dananya akan diambil dari dana kunjungan kerja yang dimiliki Komisi VIII. Tiap tahun DPR mengalokasikan Rp 500 juta per komisi untuk dana kunjungan kerja, katanya.
Djusril juga menjelaskan, tiket untuk ke Hongkong dan Korsel sebesar 600 dollar AS (per orang) langsung dibayar oleh anggota DPR. Sementara untuk biaya selama di Hongkong dan Korsel memang ditanggung dulu oleh Pertamina.
Semua biaya yang sudah dikeluarkan Pertamina nantinya akan diganti. Kalau dalam sepuluh hari ini tagihannya sudah datang, ya langsung kami bayar. Tetapi saya belum tahu berapa besar tagihannya. Yang jelas hotel yang saya tempati lebih buruk dari hotel kelas melati. Kalau dibandingkan dengan hotel di Jakarta, mungkin sama dengan hotel yang tarifnya Rp 200.000 per malam. Pokoknya dari semua perjalanan ke luar negeri yang saya lakukan, ini yang paling celaka, ujarnya.
Berdasarkan hasil kunjungan ke Korsel dan Hongkong itu, DPR memandang bahwa penjualan tanker akan merugikan. Jadi kami berangkat ke sana untuk mengetahui apa memang benar cash flow Pertamina krisis sehingga perlu menjual tanker. Ternyata kami melihat ada yang lebih berharga daripada menjual tanker tersebut. Oleh sebab itu, kami menolak tanker tersebut dijual, kata Djusril.
Wakil Ketua DPR Koordinator Bidang Ekonomi dan Keuangan Tosari Widjaya, yang dikonfirmasi oleh pers perihal nota internal Pertamina, juga bersikukuh menyatakan bahwa dana yang dikeluarkan Pertamina untuk biaya kunjungan tersebut merupakan dana pinjaman Pertamina yang akan segera dibayarkan kembali oleh Komisi VIII. Pembayaran itu, katanya, setelah proses administrasinya diselesaikan.
Berdasarkan informasi, itu dana pinjaman. Istilahnya prabayar. Karena (acara) itu mendadak, dari sini (DPR) itu belum diproses. Kalau sudah diproses, itu dikembalikan. Berapa lama waktu pengembaliannya, saya tidak tahu karena itu juga berkaitan dengan Departemen Keuangan. Akan tetapi, yang jelas, alokasinya sudah ada untuk itu, ujarnya.
Tosari mengaku tidak mengetahui secara rinci komponen biaya apa saja yang akan dikembalikan ke Pertamina oleh DPR. Saya tidak tahu bagaimana rinciannya. Akan tetapi, prinsipnya, DPR membayar sendiri. Kalau pengalaman saya, transpor dan penginapan itu ditanggung sendiri. Yang dibantu oleh negara yang mengundang itu adalah bantuan seperti transportasi lokal. Kalau soal makan, kadang-kadang diundang makan malam oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia atau tuan rumah yang mengundangnya, ujar Tosari.
Ditanya, apakah Komisi VIII DPR perlu membuktikan kepada publik mengenai pembayaran kembali biaya perjalanan kunjungan tersebut, Tosari menjawab, Ya harus diumumkan. Silakan saja bukti prabayar diumumkan. Kalau menurut saya, itu harus betul-betul ditunjukkan sehingga terlihat adanya transparansi dan menunjukkan bahwa kita itu punya anggaran. Jadi, kalau Komisi DPR mau ke luar negeri, dan itu betul-betul diperlukan, tentunya ada alokasi (anggaran)-nya, katanya.
Tosari mengingatkan, kalau terbukti ada kebohongan publik dalam hal pembiayaan kunjungan Komisi VIII DPR, itu berarti ada kesalahan besar.
Ia tidak memerinci apa yang dimaksud dengan kesalahan besar itu.
Mengenai siapa yang harus bertanggung jawab jika ternyata pembayaran kembali ke Pertamina itu hanya sebuah kebohongan publik, Tosari menyebutkan, Karena itu diperoleh dari keterangan Komisi VIII, maka yang harus bertanggung jawab adalah Komisi VIII. Begitu.
Kepala Sekretariat Komisi VIII Muhono Basuki yang dimintai komentar menolak memberikan penjelasan. Alasannya, masalahnya sudah diambil alih oleh Humas DPR. (TAV/OTW/sie/HAR/BOY/TOM)
Sumber: Kompas, 18 Juni 2004