Pertamina 'Mark Up'
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan adanya penggelembungan (mark up) biaya subsidi bahan bakar minyak pada 2004 yang dihitung PT Pertamina (persero) sebesar Rp3,64 triliun.
Temuan itu tertuang dalam laporan hasil pemeriksaan BPK yang disampaikan Ketua BPK Anwar Nasution kepada Ketua DPR Agung Laksono di Jakarta, kemarin.
Pada 8 Februari 2005 DPR meminta kepada BPK untuk melakukan audit investigasi penyaluran BBM bersubsidi 2004. Pemeriksaan dilaksanakan pada PT Pertamina (persero) dan Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas).
Anwar Nasution menjelaskan pemeriksaan dilakukan terhadap kegiatan pengadaan minyak mentah dan produk BBM, pengolahan dan perhitungan harga pokok kilang, serta pendistribusian BBM bersubsidi 2004.
BPK telah meminta klarifikasi kepada Pertamina mengenai temuan tersebut. Hasilnya, dari angka penggelembungan tersebut, telah disetujui sebesar Rp936,05 miliar. Sisanya, Rp2,7 triliun tidak disetujui.
Angka koreksi yang tidak disetujui Pertamina, terutama mengenai besaran penyesuaian harga minyak mentah domestic market obligation (DMO) dari harga minyak inkind, katanya.
Minyak mentah DMO adalah kewajiban dari setiap perusahaan minyak yang beroperasi di Indonesia untuk menyerahkan/menjual sebagian produk minyak mentahnya guna memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri.
Sedangkan minyak mentah inkind yaitu bagian pemerintah Indonesia dari kegiatan kontraktor asing yang dikirim ke kilang Pertamina untuk diolah guna memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri
Anwar menambahkan, BPK juga melihat lemahnya sistem pengendalian internal Pertamina dan BP Migas yang memengaruhi tingkat kewajaran laporan biaya pokok BBM.
Ketua BPK menyebutkan lemahnya pengendalian atas penerimaan dan penyerahan minyak mentah dan produk karena teknologi pengukuran menggunakan sistem manual. Hal ini berpotensi terjadi kecurangan dalam pencatatan penerimaan dan penyerahan minyak mentah dan produk.
Kelemahan juga terjadi pada sistem pelaporan lifting (angka riil eksploitasi) minyak mentah inkind dan DMO dari BP Migas kepada Pertamina. Akibatnya, hasil analisis yang dilakukan bisa salah dan menyesatkan.
Pertamina memalukan
Masalah lain, kata dia, Pertamina belum memiliki prosedur formal dalam menghitung harga pokok per jenis produk. Seharusnya, permasalahan tersebut tidak dialami oleh perusahaan setua dan sebesar Pertamina. Ini sangat memalukan, tidak tahu menghitung harga pokok per jenis BBM, kata Anwar.
Karena itu, BPK menghitung ulang harga pokok per jenis produk untuk 2004. Hasilnya, harga pokok premium Rp2.750 per liter, minyak tanah Rp2.545 per liter, solar Rp2.588 per liter, minyak diesel Rp2.185 per liter, dan minyak bakar Rp2.099 per liter.
BPK juga menemukan subsidi sebesar Rp4,69 triliun tidak secara langsung dinikmati sektor rumah tangga. Yaitu subsidi terhadap minyak bakar dan minyak diesel yang selama ini dinikmati sektor industri dan listrik.
Sebagian besar subsidi BBM 2004 digunakan untuk produk solar (39,81%), minyak tanah (29,17%), dan premium (24,95%). Sektor transportasi mendapatkan bagian subsidi terbesar (44,21%) dan sektor rumah tangga 29,10%.
Berdasarkan pemeriksaan, BPK belum dapat menilai kewajaran penyaluran BBM bersubsidi yang didistribusikan kepada masyarakat. Pasalnya, banyak masalah penyimpangan distribusi BBM bersubsidi yang ditemukan di seluruh wilayah kerja unit pemasaran yang diperiksa.
Misalnya, berupa pengoplosan, penimbunan ilegal dan penyelundupan, serta tidak adanya data yang akurat yang menunjukkan angka kebutuhan rumah tangga, industri, TNI dan Polri.
Menanggapi hasil audit tersebut, Ketua DPR Agung Laksono mengatakan hal itu hasil menunjukkan kebobrokan manajemen PT Pertamina sebagai BUMN yang telah berusia lanjut. Ia berharap hasil audit ini bisa menyebutkan di bagian mana di Pertamina diduga terjadi penyalahgunaan.
Kami juga telah meminta agar BPK bisa mengungkap ongkos produksi sebenarnya untuk setiap liter minyak produksi di kilang Pertamina dan yang diimpor, ungkap Agung. (Sdk/E-1)
Sumber: Media Indonesia, 11 Oktober 2005