Pertarungan Calon yang Berduit
Diperkirakan 80 juta orang Indonesia akan terlibat dalam pemilihan kepala daerah yang dimulai pada Juni nanti. Tahun ini, pemilihan kepala daerah berlangsung di 11 provinsi untuk memilih gubernur dan di 279 kabupaten/kota untuk memilih bupati/wali kota beserta wakilnya. Pada bulan Juni saja, pemilihan serentak dilaksanakan di 225 kabupaten/kota. Ini dilakukan karena banyak bupati dan wali kota yang sudah lama habis masa jabatannya tapi pemilihan langsung belum bisa dilaksanakan. Penyebabnya, Undang-Undang Nomor 32/2004 yang mengatur masalah itu belum ada peraturan pelaksanaannya. Baru pekan lalu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meneken peraturan tersebut.
Peraturan baru itu telah menutup peluang calon independen karena ditentukan bahwa semua calon harus masuk lewat partai politik melalui fraksi di DPRD. Maka, meskipun peran legislatif dipreteli dalam hal memilih, para wakil rakyat di daerah masih bisa bermain karena merekalah yang berhak mengajukan calon untuk dipilih langsung oleh rakyat. Permainan itu pun sarat dengan uang.
PDI Perjuangan, misalnya, telah menentukan bahwa calon bupati/wali kota disaring oleh pengurus cabang. Empat besar dibawa ke pengurus pusat untuk ditentukan siapa yang diterima. Satu calon yang lolos dari pusat inilah yang dibawa oleh Fraksi PDIP di daerah untuk ditetapkan sebagai calon kepala daerah dari partai itu. Untuk partai lain, mekanismenya hampir sama, tapi campur tangan pusat ada yang berkurang, seperti yang dilakukan Partai Keadilan Sejahtera. Calon PKS untuk jabatan kepala daerah sepenuhnya hasil pemilihan di daerah. Partai Damai Sejahtera lebih longgar, bisa menerima aktivis di luar partai itu, tapi tetap akan diteliti kelayakannya oleh partai.
Aturan ini pada akhirnya membuat calon kepala daerah menguras duit. Di Bali, calon bupati yang ingin masuk lewat pintu PDIP dikenai uang pendaftaran Rp 100 juta, dan wakilnya Rp 50 juta. Ini baru uang pendaftaran. Untuk lolos saringan di daerah barangkali diperlukan duit lagi, apalagi sampai ditetapkan oleh pusat. Disebut barangkali karena tidak ada keterbukaan dalam proses ini. Bisa dibayangkan, kalau sudah ditetapkan sebagai calon resmi lewat sidang DPRD, berapa miliar rupiah duit yang harus disediakan untuk membeli suara rakyat.
Calon independen yang punya banyak duit tetap punya peluang dengan membeli tiket lewat partai politik yang punya fraksi di DPRD. Namun calon independen yang tanpa duit jangan bermimpi bisa menduduki jabatan bupati atau wali kota, apalagi gubernur. Kecerdasan dan karisma tak ada gunanya tanpa diimbangi oleh dompet yang tebal. Dari pengalaman dalam pemilu legislatif yang lalu, banyak anggota DPR, DPRD, dan DPD yang sampai kini terjebak utang karena menghamburkan uang untuk memperoleh suara.
Secara teori, bisa dibuat aturan agar dana kampanye setiap calon dibatasi, lalu diaudit secara terbuka. Yang melanggar aturan dibatalkan kemenangannya. Namun, banyak akal untuk menerobos aturan macam begini. Lagi-lagi, dalam pemilu yang lalu ada banyak contoh dana terselubung dan dana fiktif, toh tidak ada sanksi apa-apa. Kita sedang belajar berdemokrasi. Pemilihan kepala daerah secara langsung ini ibarat pelajaran yang kesekian. Masih banyak yang mesti dipelajari lagi.
Tulisan ini merupakan tajuk rencana Koran Tempo, 21 Februari 2005