Pesimistis terhadap Meja Informasi MA

Ada kekeliruan muncul di dua media massa nasional, Rabu (1/4). Kedua media itu memberitakan diputusnya perkara peninjauan kembali majalah Time versus Soeharto oleh Mahkamah Agung.

Berita itu bukan tanpa sumber. Sumbernya justru dari situs resmi MA, www.mahkamahagung.go.id di bagian informasi perkara. Disebutkan, status perkara Nomor 273 PK/PDT/2008 itu, dengan pihak Time Ing Asia dkk dan Siti Hardiyanti Rukmana dkk, putus. Perkara yang diajukan melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 13 Mei 2008 diperiksa majelis PK yang terdiri dari Harifin A Tumpa, Hakim Nyak Pa, dan Hatta Ali.

Informasi ini membuat pemburu berita dengan sigap mencari data lebih lanjut. Wartawan tergopoh-gopoh ke MA, tak terkecuali dari media asing. Kuasa hukum Time, Todung Mulya Lubis, ikut sibuk melayani pertanyaan wartawan meski saat itu berada di Singapura.

Saat hal itu dikonfirmasi kepada Hatta Ali dan Harifin Tumpa, keduanya membantah. ”Belum putus. Berkasnya masih di tempat saya,” ujar Harifin.

Hatta Ali pun mengatakan, informasi itu salah. Namun, ia mengaku tak tahu siapa yang harus bertanggung jawab atas kesalahan tersebut.

Harifin mengatakan, kesalahan itu adalah human error yang masih dapat ditoleransi. ”Manusia kan bisa salah,” kata Ketua MA.

Meskipun dapat dimaklumi, dampak dari kesalahan ini mahal. Kesalahan ini memunculkan opini, informasi yang ditampilkan di Desk Informasi MA kurang akurat.

Kompas pun mencoba mencari data perkara lain, khususnya yang sudah diputus, seperti perkara Artalyta Suryani dan Urip Tri Gunawan yang baru diputus bulan lalu. Namun, data itu tak ditemukan. Kompas mencoba melacak perkara lain yang sudah cukup lama diputus dan sudah pernah menjadi berita hangat di media massa nasional. Nama Pollycarpus Budihari Priyanto diketik dalam kolom pihak, tetapi data tidak ada. Nama lain, kasus yang menarik perhatian publik, seperti Amrozi dan Imam Samudera, coba dilacak juga, tetapi tidak ada informasi. Jangankan salinan putusan, informasi tentang adanya perkara itu pun tak dijumpai.

Kesimpulan, update (pembaruan) informasi masih menjadi persoalan. Bahwa MA menunjukkan niat untuk memperbaiki layanan untuk pencari keadilan dengan cara menghadirkan meja informasi patut disambut gembira. Namun, apabila hal itu tak dibarengi dengan penyediaan data yang paling mutakhir, niat baik tersebut tak menghasilkan sesuatu yang maksimal.

Direktur Publikasi dan Pendidikan Publik Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Agustinus Edy Kristanto mencoba menganalisis apa sebenarnya yang melatarbelakangi persoalan itu. Ia pesimistis Desk Informasi MA bakal memuaskan kebutuhan pencari keadilan.

Ia curiga, pembuatan Desk Informasi itu hanya berorientasi program. ”Ini kesalahan MA yang utama, setiap melakukan pembaruan lebih melihat kepada program, bukan kebutuhan masyarakat. Yang dipikirkan hanya ada program dari negara donor, lalu ribut-ribut buat TI (teknologi informasi),” ujar Agustinus. (susana rita kumalasanti)

Sumber: Kompas, 3 April 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan