Peta Jalan KPK, Perkuat Agenda Pemberantasan Korupsi
Jakarta, antikorupsi.org (29/10/2015) – Penguatan lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi bagian penting dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Salah satunya dengan membuat peta jalan sebagai masukan dan panduan yang bisa dijadikan acuan oleh calon komisioner KPK yang akan datang.
Demikian pemikiran yang terungkap dari diskusi publik bertema ‘Peta Jalan KPK dan Masa Depan Pemberantasan Korupsi’ di Jakarta, Rabu (28/10/2015) yang diinisiasi oleh Indonesia Corruption Watch (ICW). Hadir sebagai pembicara dalam acara ini yaitu mantan komisioner KPK Jilid II M. Jasin dan Haryono Umar serta mantan komisioner KPK Jilid III Bambang Widjojanto serta koordinator Divisi Riset ICW Firdaus Ilyas.
Menurut M. Jasin, KPK masih sangat dibutuhkan dalam pemberantasan korupsi. Oleh karena itu harus dilakukan penguatan-penguatan seperti membuat peta jalan serta memperkuat Undang-Undang KPK dan undang-undang pendukungnya seperti gratifikasi dan lainnya.
Setidaknya semenjak ada KPK berbagai macam kasus korupsi yang terjadi di Indonesia seperti kasus suap dan gratifikasi yang bisa menyeret anggota DPR, kepala daerah, dan pejabat publik lain telah terungkap. Kemudian juga munculnya kasus money politik yang dilakukan tim sukses partai untuk membeli suara ketika pemilu dan pemilukada. Serta munculnya fenomena uang pelicin atau terima kasih di kalangan birokrasi.
“Ini semua membutuhkan peran serta masyarakat sebagai bentuk pengawasan. Pendidikan antikorupsi harus lebih membumi di level masyarakat dan generasi muda,” kata M. Jasin.
Terkait regulasi, M. Jasin juga mengatakan, di Indonesia juga telah dibuat regulasi seperti UU No 30/2002 tentang KPK dan UU No 28/1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Nah ke depan, bukan hanya itu, Indonesia juga harus memiliki UU khusus gratifikasi. Karena selama ini KPK hanya mengenakan dakwaan kepada tersangka dengan pasal 12B ayat (1) dan (1) UU No 31/1999 jo UU No 20/2001 berbunyi: ‘Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya’.
Pasal 12B ayat (1) dan (1) UU No 31/1999 jo UU No 20/2001 berbunyi: ‘Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B Ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK’.
”Kita juga belum ada undang-undang yang mengatur tentang korupsi antar aktor swasta dan undang-undang yang mengatur korupsi yang dilakukan pejabat publik dan pelaku usaha asing,” tegasnya.
Pada kesempatan yang sama, Haryono Umar berpendapat KPK telah memiliki brand kesuksesan yang besar, namun kurang menyadari resiko besar yang akan dihadapi serta perlu penanganan cepat.
“Sayang jika KPK harus disingkirkan. Saat ini komitmennya sudah ada hanya tinggal meneruskan dan menambah kekuatannya,” imbuh Haryono.
Menurutnya, ada banyak resiko besar yang harus dihadapi, seperti ancaman personal kepada penyelidik, penyidik, dan penuntut KPK cukup tinggi dan menimbulkan ketidaknyamanan.
Kedepan, kolaborasi antara KPK, masyarakat sipil, dan lembaga swadaya masyarakat (lsm) antikorupsi sangatlah penting diperkuat. Agar KPK tidak berjuang sendiri saat mengalami turn off.
”Pembuatan risk management system menjadi penting bagi KPK sebagai institusi yang paling beresiko di Indonesia,” tegasnya.
Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif, Bambang Widjojanto menghawatirkan pilkada serentak bulan Desember 2015 mendatang menjadi agenda besar koruptor dalam mengrogoti anggaran dana desa. Oleh sebab itu maka penyerapan dan pengelolaan dana desa yang tahun ini mencapai Rp 20,66 triliun untuk 74.093 desa harus diawasi dengan ketat.
“Akan terjadi panen raya jika kita tidak bisa mengawasi itu,” katanya.
Bambang menegaskan, jika diperhatikan serapan anggaran dana desa saat ini masih rendah hal ini diperburuk dengan daya beli masyarakat yang menurun karena banyak terjadi gagal panen (puso) di mana-mana. Dari 269 kabupaten/kota yang menggelar pilkada, terdapat 170 kepala daerah incumbent yang mencalonkan kembali.
“Maka ditakutkan akan banyak incumbent yang menggunakan dana desa untuk kepentingan pilkada mendatang,” tegas Bambang.
Dalam kondisi seperti ini maka keberadaan KPK menjadi sangat penting. (Ayu-Abid)