Peta Politik Pemberantasan Korupsi
KONDISI terkini pemberantasan korupsi di Indonesia mencapai puncak kinerja produktif, sekalipun terkadang tampak eksesif di sana-sini. Dibandingkan dengan kinerja sebelum era reformasi, telah tampak kemajuan berarti, terutama setelah pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Hal ini juga merefleksikan kinerja pemberantasan korupsi oleh kejaksaan dan kepolisian ataupun Timtastipikor belum efektif, dan di sisi lain, kehadiran KPK merupakan tuntutan gerakan reformasi yang tidak terelakan lagi. Puncak kinerja produktif ini secara internasional telah memperoleh apresiasi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), terutama setelah Indonesia meratifikasi Konvensi Antikorupsi (KAK) 2003 dengan UU Nomor 7 Tahun 2006.
Kesempatan Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi COP kedua yang akan diselenggarakan pada November tahun ini merupakan bentuk kepercayaan masyarakat internasional terhadap kinerja bangsa Indonesia dalam pemberantasan korupsi. Apresiasi masyarakat internasional juga diwujudkan dengan dijadikannya model analisis kesenjangan KPK terhadap KAK 2003 dan Per-UU-an nasional sebagai rujukan UNODC (United Nations Office on Drugs and Crime) dan dijadikan lampiran Petunjuk Teknis Pelaksanaan KAK 2003 yang telah disusun UNODC.
Singkatnya, di dalam peta politik internasional, kinerja pemberantasan korupsi yang telah dilaksanakan di Indonesia telah menempatkan Indonesia �?a leading developing country�? dalam pemberantasan korupsi. Tentunya, semua keberhasilan dalam forum internasional ini tidak terlepas dari hasil kinerja pemberantasan korupsi di dalam negeri yang semakin signifikan.
Atas dasar hal-hal tersebut, justru akan menjadi ganjil dan aneh jika apresiasi masyarakat internasional terhadap Indonesia dalam pemberantasan korupsi selama ini justru dikoyak-koyak oleh insan bangsa dengan berbagai cara yang tidak rasional dan tidak dilandasi suatu justifikasi teoritik dan empiris akurat dan obyektif. Sebagai contoh, adalah munculnya sikap dan langkah-langkah yang berusaha kuat untuk meniadakan pembentukan pengadilan tipikor dengan menyalahtafsirkan arti dan makna putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 012-016-019 Tahun 2006 lalu.
Begitu pula sikap kurang proaktif pemerintah dalam menindaklanjuti putusan MK, sedangkan tenggat waktu pembentukan tersebut hanya dibatasi selama 3(tiga) tahun