PK, Upaya Minim Harapan
TERJAWAB sudah teka-teki opsi yang akan dipilih Kejaksaan Agung merespons kekalahannya melawan Anggodo dalam perkara gugatan praperadilan pada tingkat banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Jaksa Agung Hendarman Supandji secara tegas menyatakan bahwa kejaksaan akan mengajukan peninjauan kembali (PK). Selaras dengan ketentuan pasal 263 ayat (2) KUHAP, putusan banding pengadilan tinggi tersebut dinilai mengandung kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Kasasi tidak ditempuh karena KUHAP menentukan bahwa putusan praperadilan tidak dapat dimintakan kasasi (pasal 45 ayat (2) UU No 5/2004 dan SEMA No 7/2005). Demikian halnya, deponering sebagai opsi yang pernah diwacanakan ketua Mahkamah Konstitusi juga tidak ditempuh. Itu dimaksudkan agar sikap ''ambivalensi'' tidak dituduhkan pada kejaksaan yang memang sejak awal memilih opsi surat ketetapan penghentian penuntutan (SKPP), bukan deponering.
Selain itu, hal yang lebih substantif adalah penghormatan terhadap asas ''persamaan di depan hukum'' (equality before the law), di mana saat ini Anggodo Widjojo tengah menjalani pemeriksaan terkait dengan kasus Bibit Samad Rianto dan Chandra Marta Hamzah.
Terkait dengan opsi yang telah dipilih tersebut, pertanyaan yang relevan untuk dijawab adalah apakah upaya PK kejaksaan bisa mematahkan kemenangan Anggodo? Tidak bermaksud mendahului putusan atas PK tersebut, kalau memang tidak ada sesuatu yang luar biasa, serangan balik PK tersebut dipastikan kandas di tengah jalan.
Dengan kata lain, upaya PK kejaksaan hanya sia-sia belaka dan tidak akan mengubah keadaan yang ada saat ini, yaitu kemenangan bagi Anggodo. Sebaliknya, nama Anggodo semakin berkibar di tengah-tengah upaya penegakan hukum memberantas praktik markus.
Penyebab utama sulitnya kejaksaan mengalahkan gugatan praperadilan Anggodo adalah lemahnya substansi SKPP yang dibuat kejaksaan untuk menghentikan pemeriksaan terhadap Bibit-Chandra. Terlepas dari ada tidaknya kesengajaan dari kejaksaan untuk menyusun SKPP yang lemah, secara substantif SKPP tersebut mengandung pertimbangan yang inkonsistensi.
Sebagaimana tersurat dalam SKPP, ada dua alasan penghentian penuntutan. Pertama, alasan yuridis bahwa perbuatan Bibit-Chandra mengeluarkan surat cegah-tangkal terhadap Anggoro Widjojo dan Djoko Tjandra dianggap wajar karena hal itu merupakan tugas dan kewenangan mereka selaku pimpinan KPK. Terlebih, perbuatan serupa pernah dilakukan pimpinan KPK sebelumnya.
Pertimbangan sebagai alasan yuridis tersebut jelas kurang sejalan dengan ketentuan dalam pasal 140 ayat 2 huruf (a) KUHAP. Ada tiga alasan penghentian penuntutan menurut KUHAP. Yaitu, (1) tidak terdapat cukup bukti, (2) peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana, dan (3) perkara ditutup demi hukum, yakni dihapusnya hak menuntut tersebut dalam pasal 76, 77, dan 78 KUHP, yaitu nebis in idem, terdakwa meninggal dan lewatnya waktu.
Alasan yuridis penerbitan SKPP yang menyatakan bahwa perbuatan Bibit-Chandra merupakan tugas dan kewenangannya, tampaknya, tidak secara tegas mencerminkan tiga pertimbangan yang diakomodasi dalam KUHAP. Namun, kalaupun dipaksakan, alasan yuridis SKPP dapat diarahkan sebagai cermin pertimbangan kedua. Yaitu, perbuatan Bibit-Chandra bukan merupakan perbuatan pidana karena itu merupakan tugas dan kewenangannya selaku pimpinan KPK.
Penerbitan SKPP dengan alasan yuridis tersebut memang terkesan sangat dipaksakan. Sebab, selama berlangsungnya pemeriksaan terhadap Bibit-Chandra sebelum SKPP diterbitkan, Hendarman Supandji selalu menyatakan bahwa perkara tetap akan diteruskan ke pengadilan karena sudah cukup bukti. Selain itu, dalam beberapa kesempatan kala itu, jaksa agung menegaskan tidak akan terpengaruh wacana atau opini yang berkembang di luar yang tidak sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku untuk acara pidana.
Kesan pemaksaan alasan yuridis SKPP tersebut juga bisa dicermati dari pertimbangannya yang lebih membatasi pada sangkaan penyalahgunaan kewenangan. Padahal, kepolisian dan kejaksaan selama ini meyakini bahwa keduanya telah menerima suap dari Anggodo Widjojo melalui Yulianto yang dinilai missing link dalam kasus ini.
Hal itu memang selaras dengan tindak pidana yang disangkakan terhadap Bibit-Chandra. Yaitu, bertindak pidana sebagaimana diatur dalam pasal 23 UU Pemberantasan Tipikor jo pasal 421 KUHP dan pasal 12 huruf (e) jo pasal 15 UU Pemberantasan Tipikor.
Pertimbangan sebagai alasan yuridis tersebut jelas menunjukkan ketidakkonsistenan dengan tindak pidana yang disangkakan. Di satu sisi, perbuatan Bibit-Chandra secara parsial terkait dengan pelaksanaan tugas dan wewenangnya bukan merupakan perbuatan pidana. Namun, di sisi lain terkait dengan sangkaan tindak pidana penyuapan secara implisit tetap sebagai perbuatan pidana.
Pertimbangan sebagai alasan yuridis untuk menghentikan penuntutan yang lebih mengarah pada sangkaan penyalahgunaan wewenang memang rentan untuk dikritisi. Padahal, sesuai berita acara pemeriksaan yang telah dilimpahkan penyidik ke kejaksaan, Bibit-Chandra tidak hanya disangka telah menyalahgunakan kewenangan, tapi juga tindak pidana lainnya terkait dengan dugaan menerima suap dari Anggodo.
Sebenarnya, kasus tersebut akan lebih baik dihentikan melalui produk hukum deponering atau pengesampingan perkara oleh jaksa agung. Sebab, KUHAP tidak mengakomodasi pengujian sah-tidaknya deponering yang semata-mata didasarkan pada alasan kepentingan umum. Yaitu, kepentingan bangsa dan negara atau kepentingan masyarakat luas.
Namun, apa dikata, nasi sudah menjadi bubur. Bibit-Chandra harus siap menghadapi kenyataan yang akan terjadi, sekalipun pahit rasanya. Sidang di pengadilan bukanlah hal yang harus dihindari. Justru banyak sisi positif kalau kasus Bibit-Chandra dan Anggodo bisa diselesaikan melalui pemeriksaan di pengadilan. Kepastian hukum benar tidaknya Bibit-Chandra terlibat dalam tindak pidana yang disangkakan sebelumnya oleh kepolisian dan kejaksaan bisa dijamin.
Apa pun hasilnya, upaya PK dan atau sidang pemeriksaan di pengadilan atas kasus Bibit-Chandra harus kita terima dengan kepala dingin dan lapang dada. Ini semua merupakan bagian dari proses penegakan supremasi hukum yang harus dilalui. (*)
*) Dr Taufiqurrahman SH MHum , wakil rektor Universitas Wijaya Putra
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 12 Juni 2010