Pola-pola Korupsi Pajak
Kwik Kian Gie akhirnya meminta maaf kepada Direktur Jenderal Pajak. Di sebuah koran nasional, Kwik menyatakan permintaan maafnya, setelah somasi direktur agar Kwik membuktikan artikel yang ditulisnya di koran yang sama bahwa sekitar Rp 140 triliun pajak hilang dikorupsi.
Setelah Kwik, giliran Faisal Basri yang diminta memberikan data. Seperti Kwik, Faisal juga menyatakan korupsi besar-besaran dalam perpajakan. Faisal memperkirakan Rp 40 triliun pendapatan negara dari pajak dikorupsi. Walaupun perkiraannya tidak sebesar Kwik, angka itu sangat besar. Lebih dari 15 persen dari total pengeluaran pemerintah pada APBN 2005.
Meskipun perhitungan dua ekonom itu menghasilkan angka yang berbeda, soal korupsi di perpajakan orang sudah mengetahuinya, bahkan sudah menjadi rahasia umum. Salah satu indikasi adanya korupsi pajak dapat dilihat pada sejumlah survei yang telah dilakukan.
Dalam survei Indeks Persepsi Penyuapan (Bribery Perception Index) yang dirilis oleh Transparency International Indonesia 2005, survei itu menempatkan Direktorat Jenderal Pajak sebagai institusi yang paling banyak menerima suap setelah Bea dan Cukai.
Sebelumnya, pada survei barometer korupsi global 2004 yang dikeluarkan oleh Transparency International, Direktorat Jenderal Pajak menempati peringkat ke-6 lembaga terkorup di Indonesia. Pada 2001, Partnership for Governance Reform juga melakukan survei serupa. Survei Nasional mengenai korupsi itu menempatkan direktorat itu di urutan ke-5 sebagai institusi terkorup di Indonesia.
Dari berbagai survei dan indeks perbandingan korupsi, yang terungkap adalah persepsi masyarakat. Persepsi memang bukan realitas, tetapi persepsi tersebut sedikit-banyak menggambarkan realitas. Apalagi yang menjadi responden survei--terutama yang diselenggarakan oleh Transparency International--adalah para pebisnis yang dianggap sebagai pelaku dalam berbagai praktek penyuapan.
Karena itu, agak sulit membantah survei-survei di atas yang menempatkan Kantor Pajak sebagai salah satu institusi terkorup. Pun ketika Direktur Jenderal Pajak mengumumkan telah mengeluarkan peringatan kepada 300 aparatnya setiap tahun dan 30 di antaranya dipecat dengan tidak hormat, tidak otomatis menghapus citra korup di lembaga yang menjadi andalan pendapatan negara itu.
Pola korupsi
Lalu, bagaimana korupsi pajak dilakukan? Pada 2001, Indonesia Corruption Watch melakukan studi kualitatif terhadap pola-pola korupsi di sektor pajak. Menggunakan terminologi korupsi Syed Husein Alatas (lihat SH Alatas, Korupsi: Sebab, Sifat dan Fungsi, 1987), ada tiga pola korupsi pajak.
Pola pertama, transaktif-nepotis di personalia, terutama dalam penempatan pegawai pajak. Disebut korupsi transaktif, karena ia menguntungkan pegawai pajak dan personalia. Ada transaksi dalam korupsi. Personalia mendapat uang suap, sedangkan pegawai mengincar Kantor Pajak yang basah atau menghindari penempatan di daerah terpencil.
Pola ini juga menjadi mekanisme untuk mempertahankan budaya korupsi di perpajakan. Pegawai baru di Direktorat Jenderal Pajak akan berhadapan dengan tradisi seperti ini. Mereka akan dihadapkan pada dua pilihan: ikut dalam praktek korupsi atau tetap lurus. Menjadi jujur tidak jadi masalah, sepanjang mereka tidak bicara. Kalau sampai ada yang membongkar praktek korupsi, pegawai yang jujur ini bisa dimutasi ke daerah terpencil.
Pola kedua, autogenik-ekstortif dalam administrasi pajak. Autogenik merujuk pada korupsi yang dilakukan petugas pajak mengikuti kewenangan yang ada padanya. Ekstortif merujuk pada praktek pemerasan.
Pola ini menggambarkan bagaimana petugas pajak meminta imbalan jasa untuk pengurusan administrasi perpajakan. Sekadar contoh, untuk mengurus nomor pokok wajib pajak (NPWP) membutuhkan waktu tiga minggu. Dengan memberikan uang pelicin kepada petugas pajak, proses tersebut bisa dipersingkat.
Pola ketiga, transaktif-autogenik dalam bentuk negosiasi pajak. Pola ini menunjukkan bagaimana praktek korupsi di pajak berjalan saling menguntungkan, baik bagi wajib pajak maupun petugas pajak. Wajib pajak bisa mendapat pengurangan dari kewajiban yang seharusnya. Sementara itu, petugas pajak mendapat komisi atas pengurangan kewajiban tersebut.
Dalam beberapa kasus, kadang kala negosiasi pajak dilakukan secara ekstortif. Dalam hal ini, wajib pajak diperas oleh petugas pajak dengan memberikan tagihan yang amat besar. Lalu tagihan itu bisa diturunkan sesuai kesepakatan dengan imbalan uang kepada petugas.
Pola ketiga ini yang diungkapkan oleh Kwik Kian Gie ataupun Faisal Basri. Menggunakan estimasi ekonomi, kedua pengamat ekonomi itu memperkirakan negosiasi pajak merugikan negara hingga triliunan rupiah.
Membongkar korupsi
Pola korupsi transaktif yang saling menguntungkan di sektor pajak sulit dibongkar, kecuali pembuktian terbalik diterapkan sepenuhnya. Sayangnya, perangkat hukum kita belum mengadopsi sistem pembuktian terbalik. UU No. 31/1999 juncto UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi hanya menerapkan pembuktian terbalik secara terbatas.
Pembuktian terbalik menjadi hak terdakwa dalam pengadilan untuk membuktikan dirinya tidak bersalah. Beban pembuktian masih ada pada kejaksaan sebagai penuntut umum. Karena itu, usulan menerapkan pembuktian terbalik sulit dilakukan karena harus mengubah UU Antikorupsi terlebih dulu.
Salah satu terobosan yang bisa dipergunakan adalah memberikan perlindungan terhadap saksi. Memang, UU Perlindungan Saksi belum disahkan. Tetapi Direktur Jenderal Pajak bisa membuat terobosan. Ia bisa memberikan perlindungan kepada pelapor yang bisa memberikan informasi petugas pajak yang nakal. Atas informasinya, wajib pajak tidak akan mendapat sanksi, baik pidana maupun denda.
Pada dasarnya, cukup banyak wajib pajak yang bersedia membayar pajak kepada negara. Dengan perlindungan bagi saksi-pelapor, Direktur Jenderal Pajak bisa menindak para petugas pajak yang korup dan langkah ini jauh lebih murah dan efisien untuk membersihkan citra daripada menuntut ekonom seperti Faisal Basri di pengadilan.(J. Danang Widoyoko, Anggota Badan Pekerja ICW)
Tulisan ini diambil dari Koran Tempo, 13 April 2005