Politik Membuka Perut TNI
Di negara demokrasi, senjata dan anggaran tentara diputuskan secara politik.
Penyidikan kasus timbunan ratusan senjata perang di kediaman Brigadir Jenderal TNI Koesmayadi (almarhum) sudah tuntas disidik oleh Pusat Polisi Militer TNI Angkatan Darat. Penyidik sudah memeriksa 115 orang dari militer dan sipil. Tanggal 10 Agustus (hasilnya) diserahkan kepada panglima (Panglima TNI) di Cilangkap, kata Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono di kantornya kemarin.
Namun, kasak-kusuk justru sedang terjadi ke gedung parlemen, Senayan. Sebagian politikus di sana ingin dibentuk panitia kerja untuk mengungkap masalah di balik temuan 145 senjata berbagai jenis dan ribuan amunisi di tiga rumah Koesmayadi di Jakarta, 25 Juni silam, itu. Panitia ini bisa dibentuk oleh Komisi Pertahanan, mitra TNI, dan Departemen Pertahanan.
Nah, sebagian lagi, termasuk Ketua DPR Agung Laksono, menolak panitia kerja. Alasannya, tak mau kasus itu dipolitisasi. Lebih baik langsung diserahkan ke hukum militer, ujarnya dua hari lalu di kantornya. Para politikus propemerintah mendukung wakil ketua umum partai beringin itu. Jangan sampai TNI dipolitisasi, ucap politikus Partai Demokrat, Boy Saul (baca: Soto Ambengan dan Panitia Kerja Koesmayadi).
Padahal Agung semula ngotot ingin panitia kerja dibentuk agar masalah Koesmayadi tuntas. Laporan dari TNI pun diminta terperinci supaya tak rancu. Komitmennya (TNI) kepada Komisi I (Komisi Pertahanan) dibuka ke publik, ujarnya di kantornya kemarin. Anggota Komisi Pertahanan dari Partai Kebangkitan Bangsa, Effendy Choirie, membenarkan isi kesepakatan itu.
Transparansi hasil penyidikan disokong oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang juga Ketua Umum Golkar. Apa pun hasil penyelidikan dipublikasikan kepada DPR dan masyarakat, katanya, 14 Juli lalu.
Menteri Juwono menolak keras kemauan Agung. Ia meminta DPR tak memaksa TNI agar membuka hasil penyidikan. Juwono beranalogi pemerintah tak pernah meminta parlemen membuka temuan Badan Kehormatan DPR ke publik. Ya, mereka (DPR) jangan meminta kami membuka penyidikan Koesmayadi ke publik.
Berbeda dengan Agung, ia memastikan kesepakatan Komisi Pertahanan dengan Panglima TNI pada rapat 11 Juli lalu, hasil pengusutan tak dipublikasi. Tapi Puspom TNI AD menyerahkan hasilnya hanya kepada Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto.
Pendukung panitia kerja berpendapat panitia kerja tak bisa ditawar lagi karena hanya dengan cara itu bisa mengungkap isi perut TNI. Selama ini kami susah tahu kasus di TNI, ucap Effendy. Kalau di DPR semuanya menjadi lebih terbuka, transparan. Soeripto dari Partai Keadilan Sejahtera dan politikus Permadi dari PDI Perjuangan sependapat.
Sutradara Gintings dari PDIP setuju panitia kerja jika hasil penyidikan tak memuaskan. Dilihat dulu hasil penyidikannya, ujarnya. Setidaknya ada tiga hal yang mengharuskan dibentuk panitia, yakni jika ada penyimpangan prosedur pembelian senjata, tak ada perintah atasan, dan sumber dana. Politikus Golkar Happy Bone Zulkarnaen punya alasan lain. Kami justru ingin menghargai hasil kerja TNI, katanya.
Sutradara menampik tudingan politisasi. Kasus Koesmayadi sudah menjadi urusan publik karena penemuan senjata telah diumumkan kepada publik oleh Kepala Staf TNI AD Jenderal Djoko Santoso pada 29 Juni lalu. Panglima TNI juga berjanji kepada DPR akan mengumumkan hasil penyidikan. Di negara demokrasi, senjata dan anggaran tentara diputuskan secara politik, katanya. Yophiandi Kurniawan | Rieka Rahardiana | Aguslia Hidayah | Aqida Swamurti | Raden Rachmadi
Sumber: Koran tempo, 9 Agustus 2006