Politik Uang dan Intimidasi Masih Cukup Tinggi; JPPR Temukan Berbagai Pelanggaran Pilpres II
Kecurangan politik berupa praktik politik uang (money politics) dan intimidasi ternyata masih berlangsung dalam pilpres putaran II. Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) menemukan sejumlah indikasi kedua praktik haram dalam persaingan politik tersebut, yang sebagian besar terjadi di Pulau Jawa. Koordinator Nasional JPPR Gunawan Hidayat memaparkan hal itu kepada wartawan di Hotel Borobudur, Jalan Lapangan Banteng, Jakarta, Selasa (21/9).
Data yang dihimpun JPPR di 3.949 Tempat Pemungutan Suara (TPS) di 121 kabupaten di 26 provinsi menunjukkan, tingkat praktik politik uang cukup tinggi. JPPR mencatat ada 22,31 persen kasus politik uang yang sebagian besar terjadi di Pulau Jawa, kata Hidayat.
Dikatakan, setidaknya ada tiga pola yang diterapkan dalam menjalankan politik uang yakni menjanjikan fasilitas, seperti terjadi di Jepara, memberikan uang dan barang, di Asahan, Sumut. Bahkan, ada sebuah perusahaan negara yang membagikan gaji ke-13 agar pegawainya memilih kandidat tertentu. Sedangkan di Langkat, Sumut, pola yang digunakan adalah dengan memberikan fasilitas kredit tanpa agunan, kata Gunawan.
Di sisi lain, Manajer Pemantauan JPPR Rizal Kurniawan mengatakan modus lain yang menjadi kecurangan, yaitu intimidasi. Kasus ini kami temukan di Sulawesi, Jawa, dan Sumatra. Bentuk ancaman atau intimidasi itu adalah keterlibatan aparat birokrasi yang mengharuskan bawahannya atau masyarakat menentukan pilihan pada salah satu kandidat, katanya.
Menurun
Sementara itu, Koordinator Nasional Jaringan Masyarakat Pemantau Pemilu Indonesia (JAMMPI) menyebutkan, meskipun masih ditemukan beberapa pelanggaran oleh relawan mereka yang disebar di 46 kabupaten pada 16 provinsi, secara umum terjadi penurunan tingkat pelanggaran.
Hal senada juga diungkapkan Koordinator Divisi Advokasi dan Wacana Nurul Hilaliyah, yang menyatakan, terjadi penurunan frekuensi penyelenggaraan pemilu. Jika dibandingkan pelaksanaan pilpres I, patut disyukuri terjadi penurunan frekuensi pelanggaran tersebut. Hal ini menggambarkan adanya peningkatan kualitas pemilu, ujarnya.
Di tengah keterbatasan anggaran operasional bagi sebagian KPPS, lanjutnya, KPPS telah menunjukkan peningkatan kinerja. Sekalipun demikian, ketidakprofesionalan dan kesalahan prosedur yang dilakukan KPPS masih menjadi persoalan mendasar yang mengganggu kelancaran, kejujuran, dan keadilan bagi pemilih dalam memberikan suara di TPS, katanya. (A-64)
Sumber: Pikiran Rakyat, 22 September 2004