Politik Uang Masih Nodai Kampanye
Partai politik peserta pemilu masih marak melakukan politik uang. Hasil pemantauan ICW di 15 provinsi menunjukkan uang, barang, dan jasa, masih dijadikan alat mendulang suara pada masa kampanye.
Pemantauan ICW di 15 provinsi menemukan beberapa jenis pelanggaran politik uang, yaitu: pemberian uang (33 kasus/ 29%), barang (66 kasus/ 59%), jasa (14 kasus/ 12%). Wilayah pemantauan meliputi: Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Bengkulu, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
Dari jumlah pelanggaran oleh partai politik, ICW menemukan Partai Golkar menempati urutan tertinggi melakukan politik uang, yaitu 23 kasus, dan disusul Partai Amanat Nasional dengan 19 kasus. Urutan ketiga adalah Partai Demokrat dengan 17 kasus, disusul Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dengan 13 kasus, dan Partai Persatuan Pembangunan 12 kasus. Berikut tabelnya.
Nama Partai |
Jumlah Kasus |
Partai Nasdem |
6 |
Partai Kebangkitan Bangsa |
2 |
Partai Keadilan Sejahtera |
10 |
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan |
13 |
Partai Golongan Karya |
23 |
Partai Gerakan Indonesia Raya |
8 |
Partai Demokrat |
17 |
Partai Amanat Nasional |
19 |
Partai Persatuan Pembangunan |
12 |
Partai Hati Nurani Rakyat |
9 |
Partai Bulan Bintang |
7 |
Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia |
1 |
Tabel 1. Partai dan jumlah pelanggaran dalam pemantauan politik uang dalam Pemilu 2014
Besaran uang yang diberikan bervariasi, mulai dari Rp 5 ribu hingga Rp 200 ribu. Sebanyak 11 kasus, besaran uang meliputi Rp 26 ribu hingga 50 ribu. Berikut tabel jumlah pemberian uang dalam rupiah dan jumlah kasusnya.
Jumlah Pemberian (Rupiah) |
Jumlah |
0/Tidak diketahui |
10 |
5.000 25.000 |
6 |
26.000 50.000 |
11 |
51.000 100.000 |
4 |
Di atas 200000 |
2 |
Total |
33 |
Tabel 2. Jumlah pemberian uang dan jumlah kasus
Bentuk pemberian barang pun bermacam-macam, ada alat rumah tangga, bahan bakar, bahan bangunan, barang elektronik, kitab suci atau buku-buku lain, door prize, hingga kebutuhan pokok.
Sementara itu, politik uang dalam bentuk jasa yang ditemukan adalah hiburan, janji memberikan uang, dan layanan kesehatan.
Ada juga penyalahgunaan fasilitas dan jabatan negara dalam rangka berkampanye demi kepentingan pemenangan pemilu. Mulai dari penyalahgunaan aparat pemerintah, alat peraga, bantuan infrastruktur, gedung pemerintah, kampanye tanpa cuti, mobil dinas dan gedung pemerintah, semuanya tak luput dari penyalahgunaaan.
Berdasarkan tingkatan pencalonan, ICW menemukan pelanggaran politik uang terbanyak pada kampanye memperebutkan kursi Dewan Perwakilan Rakyar Daerah Tingkat II (kabupaten), yaitu sebanyak 60 kasus. Pada DPRD tingkat I ditemukan 31 kasus, tingkat Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia ditemukan 37 kasus, dan untuk tingkat Dewan Perwakilan Daerah ditemukan tujuh kasus.
Sementara itu, berikut tabel aktor politik uang dan penyalahgunaan jabatan dan fasilitas negara.
Aktor Politik Uang |
Jumlah |
Aparat Pemerintah |
16 |
Penyelenggara |
1 |
Kandidat |
96 |
Keluarga |
1 |
Partai |
3 |
Tim Kampanye |
3 |
Tim Sukses |
49 |
Media |
1 |
Lain-lain |
1 |
Tabel 3. aktor politik uang dan penyalahgunaan jabatan dan fasilitas negara
Rendahnya integritas pemilu disebabkan oleh politik uang yang sudah seperti transaksi jual beli negativf. Selain itu, dana kampanye yang sumbernya tidak sah dan melanggar hukum, yang lazim disebut “dana haram”, juga turut menodai jalannya pemilu. Penggunaan fasilitas negara dan daerah demi kepentingan partai dan kandidat calon legislatif sebagai alat pemenangan juga masih ditemui dalam pemantauan ini, demikian penjelasan Peneliti Divisi Korupsi Politik ICW Abdullah Dahlan, Minggi (6/4) dalam konferensi pers di kantor ICW.
Hasil pemantauan ini memperlihatkan bahwa partai politik dan kandidat calon legislatif masih menjadikan politik uang dan penyalahgunaan fasilitas dan jabatan negara sebagai cara membangun elektabilitas (keterpilihan). Pemberian barang dan uang juga masih menjadi modus “favorit” para pelaku, dan mayoritas pelaku politik uang adalah kandidat dan tim suksesnya. Politik uang juga banyak ditemukan pada pemilu untuk DPRD tingkat kabupaten/ kota.
“Tetapi, Badan Pengawas Pemilu dan Panwaslu masih sangat lemah,” ujar Abdullah.
Mitra pemantauan ICW di 15 daerah adalah: Lembaga Bantuan Hukum Sumatera Barat (Sumatera Barat), Sahdar (Sumatera Utara), Fitra (Riau), Kabahil (Bengkulu), Mata (Banten), Garut Government Watch (Jawa Barat), KP2KKN (Jawa Tengah), Malang Corruption Watch (Jawa Timur), Fitra (NTB), Bengkel Appek (NTT), Lembaga Gemawan (Kalimantan Barat), Yasmib (Sulawesi Selatan), Puspaham Sulawesi Tenggara, dan UPC (Jakarta).