Politik Uang Membayangi Hingga Pencoblosan
Pemilu sudah bergeser menjadi urusan bisnis.
Penjaringan calon Gubernur DKI Jakarta di tingkat partai politik telah usai. Tapi kalangan pengamat politik menengarai praktek politik uang akan terus mengancam hingga hari pencoblosan pada 8 Agustus nanti.
Arbi Sanit, pengamat politik dari Universitas Indonesia, mengatakan penyakit money politics tak hanya menjangkiti elite politik. Politik uang pun bisa menular kepada pemilih di tingkat bawah.
Kualitas pemilihan Gubernur Jakarta, menurut Arbi, tak akan jauh berbeda dengan pemilihan kepala daerah di tempat lain. Calon gubernur dan calon pemilih, menurut dia, umumnya tak lagi melihat pemilihan sebagai sebuah kontrak yang berdasarkan kepercayaan. Pemilu sudah bergeser menjadi urusan bisnis, ujar Arbi kemarin.
Arbi menambahkan, dari partai mana pun calon gubernurnya, praktek jual-beli suara masih akan terjadi. Serangan 'subuh' akan terus jalan. Yang dibagi-bagikan kepada calon pemilih, kata Arbi, tak mesti berbentuk uang. Bisa operasi kebutuhan pokok, bisa juga operasi sajadah.
Artinya, kata Arbi, di Jakarta politik uang juga akan mempengaruhi hasil pemilihan. Yang bisa tergoda, kata dia, tak hanya warga yang masih bimbang menentukan pilihan. Warga yang semula menyatakan tak akan memilih alias golongan putih (golput) pun bisa berubah sikap.
Survei mutakhir Lembaga Survei Indonesia menyatakan 8 dari 10 warga Jakarta setuju adanya calon independen. Dari sekitar 1.000 responden yang diwawancarai, 59 persen menyatakan cenderung akan memilih calon dari luar jalur partai.
Faktanya, hingga pendaftaran calon gubernur ditutup pada 7 Juni lalu, tak ada calon independen yang melaju. Karena itu, sejumlah kalangan lantas memperkirakan angka golput di Jakarta bakal tinggi, sekitar 60 persen.
Namun, menurut Arbi, jika praktek politik uang tak terbendung, jumlah warga yang jadi golput bakal terus menurun. Tak akan signifikan, paling 40 persen, ujar dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik itu.
Jika calon gubernur penebar uang terpilih, menurut Arbi, warga pula yang bakal menanggung akibatnya. Sebab, pemimpin seperti itu lebih berpikir mengembalikan modal yang terkuras selama pemilihan ketimbang mengurusi warganya. Itulah bahayanya.
Syamsuddin Haris, peneliti utama bidang politik Lembaga Ilmu Politik Indonesia, mengatakan kasus-kasus politik uang sering terjadi di Indonesia. Namun, tak pernah ada satu pun kasus yang terungkap hingga tuntas. Mekanisme hukum yang ada tak kuat, ujar Syamsuddin.
Agar pemilihan di daerah lain lebih baik, Arbi menyarankan agar undang-undang tentang pemilihan kepala daerah diperbaiki. Titik terlemah saat ini, kata dia, ada pada pengaturan dana kampanye. Dana masuk diaudit, tapi dana keluar tidak. Seharusnya, kata Arbi, undang-undang pun mengatur apa saja belanja kampanye yang diperbolehkan dan apa yang tidak. SORTA TOBING | GUNANTO | DWI RYANTO
Sumber: Koran Tempo, 11 Juni 2007