Politisasi TGPF Novel Baswedan
Mabes Polri membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kasus Novel Baswedan. Tapi tim yang terdiri dari berbagai kalangan tersebut dianggap politis dan diragukan efektivitasnya.
Setelah hampir dua tahun tidak ada penanganan serius. Pengungkapan kasus teror terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan memasuki babak baru. Pada 8 Januari 2019 Kapolri Jenderal Tito Karnavian menandatangani surat tugas pembentukan TGPF. Tim terdiri dari 65 orang yang berasal dari unsur Polri, KPK dan Pakar. Menurut Kepala Divisi Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal Muhammad Iqbal, pembentukan TGPF Novel Baswedan adalah jawaban atas rekomendasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Presiden Jokowi juga menegaskan hal serupa. Menurutnya TGPF adalah jawaban kritik sejumlah kalangan yang menilai pembentukan tim ini hanya sebagai langkah politis.
Namun banyak yang pesimis dengan TGPF karena dianggap politis. Salah satunya pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) Haris Azhar. Haris menilai pembentukan TGPF terkesan hanya untuk menghadapi debat capres putaran pertama. Agar pihak Jokowi tidak diserang pertanyaan yang mengarah ke penyelesaian kasus Novel Baswedan. Keraguan mantan Koordinator Kontras ini pun karena TGPF didominasi oleh polisi. Padahal selama 2 tahun penanganan kasus, polisi tidak mendapat hasil.
Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid meragukan hal serupa. Menurutnya jika komposisi TGPF tidak memenuhi syarat. Ada tiga syarat yang harus ada dalam tim yaitu independensi keanggotaan, mandat yang kuat, serta partisipasi masyarakat sipil. Kurangnya partisipasi masyarakat sipil juga berdampak pada independensi TGPF Novel. Walaupun ada nama-nama seperti Ketua Setara Institute Hendardi dan dua mantan Komisioner Komnas HAM Nur Kholis dan Ifdhal Kasim, mereka dianggap hanya sebagai pemanis. Karena itu, mantan ketua LBH Jakarta Algif Aqsa menilai TGPF harusnya dibentuk oleh presiden dengan komposisi yang seimbang antara kepolisian, pakar, dan professional.
Dari sisi waktu, keputusan membentuk TGPF pun dianggap sudah terlambat. Sebab semakin banyak waktu yang terbuang maka semakin sulit bagi TGPF untuk bekerja maksimal menemukan bukti-bukti baru untuk mengungkap pelaku lapangan dan aktor intelektual.
Oleh karena itu, agar TGPF bisa efektif dan memenuhi harapan masyarakat maka perlu melibatkan lebih banyak partisipasi publik. Caranya adalah dengan menggunakan temuan tim independen masyarakat sipil. Apalagi dalam temuan itu disimpulkan jika penyiraman kepada Novel Baswedan dicurigai adalah usaha pembunuhan berencana.
Keterlibatan Presiden Jokowi juga harus maksimal jika ingin kinerja TGPF efektif. Presiden bisa melakukan perubahan komposisi dalam TGPF dengan menambah porsi pakar dan profesional dalam tim. Sebab dominasi kepolisian dalam tim, malah akan menambah keraguan masyarakat kasus dapat diselesaikan. (Sigit/Ade)