Polri, Kedua Terkorup?
Benarkah Kepolisian Negara RI merupakan institusi terkorup kedua, setelah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, sesuai dengan hasil survei Transparency International Indonesia? Tentu saja, sanggahan akan langsung terlontar dari para pejabat Polri terhadap hasil survei ini.
Namun, menarik untuk disinggung beberapa sinyalemen yang mengemuka dalam Seminar Korupsi di Tubuh Polri, yang pernah berlangsung di Kampus Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Februari 2004. Dalam seminar itu, muncul pendapat bahwa polisi melakukan korupsi di hampir semua tahap proses kerjanya, mulai dari penerimaan laporan, penangkapan, penahanan, sampai penangguhan penahanan.
Saat menerima laporan dari warga, sudah terbuka kemungkinan adanya polisi yang berani meminta uang kepada pelapor dengan alasan tidak ada kertas dan lain-lain, bahkan sering tanpa alasan apa pun. Bila uang tak diberikan, ada kemungkinan laporan itu baru selesai besoknya. Namun, bila diberikan, dalam tiga sampai lima jam laporan itu selesai.
Pada tahap penangkapan juga sering ada negosiasi untuk mendapatkan uang antara petugas dan tersangka. Bila terjadi kesepakatan, maka tersangka dilepas, dianggap tak pernah ketemu dan disuruh pergi jauh. Akan tetapi, jika dalam dua-tiga hari tersangka ditangkap kembali, persetujuan pertama dianggap batal. Hal itu terus berlangsung sampai ada polisi jujur yang benar-benar menjalankan tugas, membekuknya. Ini umumnya terjadi untuk kalangan elite dari sisi uang maupun kekuasaan.
Entah kebetulan entah tidak, dalam rapat dengar pendapat umum jajaran Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dengan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) muncul pertanyaan tentang hal ini dari Ny Hj Azlani Agus, salah seorang anggota Komisi III. Ny Azlani mengeluhkan tentang berlarut- larutnya penanganan pengaduan warga di sebuah kantor pelayanan kepolisian di Indragiri Hulu, Provinsi Riau.
Menurut anggota Dewan itu, si pelapor sampai harus mengeluarkan biaya jutaan rupiah agar laporan itu segera ditindaklanjuti polisi. Biaya itu terpaksa dikeluarkan karena polisi yang menerima pengaduan mengaku kehabisan tinta printer sehingga butuh biaya untuk membeli tinta printer. Bagaimana hal ini bisa terjadi, Pak Kepala Polri? Bagaimana distribusi keuangan dari pusat sampai daerah, kok bisa polisi di Indragiri Hulu kehabisan tinta printer dan mengungkapkan kenyataan itu kepada pelapor? tanyanya.
Menjawab pertanyaan itu, Kepala Polri Jenderal (Pol) Da