Potensi Transaksi Politik di Balik Revisi UU Mahkamah Konstitusi?

Siaran Pers
Potensi Transaksi Politik di Balik Revisi UU Mahkamah Konstitusi?
Presiden Harus Batalkan Revisi UU MK!

Saat ini DPR sedang berencana merevisi UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2011. Perubahan merupakan inisiasi dari DPR. Bahkan, sempat tersiar kabar naskah revisi UU MK ini sudah berada di tangan Presiden Joko Widodo. Mengingat situasi Indonesia yang sedang dilanda pandemi COVID-19, sudah selayaknya Presiden menolak pembahasan RUU kontroversial ini. Apalagi, perubahan UU MK tidak masuk ke dalam Prolegnas Prioritas tahun 2020, sehingga tidak bisa dibahas tahun ini.

Dalam naskah yang beredar di masyarakat setidaknya ada empat belas poin perubahan dalam RUU ini, namun ketika ditelisik lebih lanjut, permasalahan pokok ada pada tiga ketentuan. Pertama, kenaikkan masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK, dari 2 tahun 6 bulan menjadi 5 tahun, seperti yang diatur dalam Pasal 4 ayat (3) RUU MK.

Kedua, menaikkan syarat usia minimal Hakim Konstitusi, dari 47 tahun menjadi 60 tahun, sebagaimana direncanakan dalam Pasal 15 ayat (2) huruf d RUU a quo. Ketiga, masa jabatan hakim konstitusi diperpanjang menjadi hingga usia pensiun, yaitu hingga usia 70 (tujuh puluh) tahun. Sebelumnya dalam satu periode, hakim konstitusi menjabat selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Hal ini terlihat dari dihapusnya ketentuan Pasal 22 dalam RUU a quo dan Pasal 87 huruf c yang memperpanjang usia pensiun hakim konstitusi, dari 60 (enam puluh) tahun menjadi 70 (tujuh puluh) tahun.

Masih dalam Pasal a quo, disebutkan juga bahwa apabila hakim MK pada saat jabatannya berakhir telah berusia 60 (enam puluh) tahun, maka meneruskan jabatannya sampai usia 70 (tujuh puluh) tahun. Sementara untuk yang tidak mencapai, dapat ikut seleksi kembali jika usianya sudah mencapai 60 (enam puluh) tahun. Perubahan ini disinyalir menjadi cara untuk “menukar guling” supaya MK dapat menolak sejumlah pengujian konstitusionalitas yang krusial, seperti Revisi UU KPK dan Perppu Penanganan COVID-19.

Melihat poin-poin perubahan di atas terdapat empat permasalahan mendasar. Berikut selengkapnya:

  1. Tidak Mendesak

Sempat disinggung pada bagian awal, bahwa pemerintah saat ini tengah berfokus pada isu kemanusiaan akibat pandemi COVID-19. Data per 1 Mei 2020 saja setidaknya 10.551 orang sudah positif terdampak pandemi ini. Untuk itu, yang semestinya dilakukan DPR adalah mengarahkan segala fungsinya baik legislasi, anggaran, dan pengawasan pada penanganan permasalahan kesehatan masyarakat tersebut, bukan membentuk undang-undang yang bermuatan kontroversial.

  1. Kental Nuansa Konflik Kepentingan

Dalam RUU perubahan ini dapat dikatakan sangat kental akan nuansa konflik kepentingan, baik itu bagi DPR atau pun Presiden itu sendiri. Sebab saat ini MK sedang menyidangkan dua undang-undang yang diusulkan oleh DPR dan Presiden, yakni uji formil UU KPK dan uji materi Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang dihujani banyak kritik. Sedangkan jika menelisik substansi RUU ini justru yang diuntungkan adalah MK itu sendiri, sehingga publik khawatir ini akan menjadi bagian “tukar guling” antara DPR, Presiden, dan MK.

  1. Isi RUU Tidak Substansial

Praktis ketika melihat poin-poin perubahan yang digagas oleh DPR, publik tidak dapat menemukan substansi penting bagi kelembagaan MK itu sendiri, praktis hanya menyoal masa jabatan Hakim MK. Jika membandingkan dengan lembaga peradilan lainnya seperti Mahkamah Agung publik akan menemukan perbedaan yang cukup mencolok. Syarat untuk menjadi seorang Hakim Agung minimal berusia 45 tahun, jauh lebih muda dibandingkan poin dalam RUU a quo yakni 60 tahun. Apalagi trend di banyak negara, rata-rata pengaturan mengenai minimal usia hakim konstitusi ada di 35-45 tahun. Sementara usia 65-75 tahun justru usia untuk pensiun. Lagi pun untuk mengukur integritas dan kapabilitas tidak bisa hanya mengandalkan usia seseorang. Akan lebih baik jika poin perubahan terletak pada syarat kualitas dari seorang Hakim MK.

Di sisi lain, isu mengenai perluasan kewenangan MK untuk melakukan constitutional complaint (pengaduan konstitusional) dan constitutional question (pertanyaan konstitusional). Selain itu, isu mengenai pengaturan hukum acara MK secara lebih komprehensif pun lebih krusial. Hal ini lebih penting untuk dibahas guna mengoptimalkan peran MK dalam menyelesaikan dan memulihkan pelanggaran hak-hak konstitusional warga negara oleh penyelenggara negara.

  1. Menjauhkan Partisipasi Publik

Naskah perubahan RUU ini semakin menambah catatan panjang produk legislasi DPR yang cacat formil dan tak sejalan dengan kebutuhan dan kehendak publik. Sebab, isu legislasi ini praktis tidak pernah melibatkan masyarakat, atau bahkan mungkin lembaga MK itu sendiri. Tentu hal ini jelas melanggar ketentuan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 96 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Peraturan Perundang-Undangan, yang mana menjamin keterlibatan masyarakat dalam proses legislasi. Apalagi sebagaimana disampaikan sebelumnya bahwa revisi UU MK tidak masuk ke dalam Prolegnas Prioritas tahun 2020, artinya tidak bisa di bahas di tahun ini.

Untuk itu, melihat persoalan di atas maka Koalisi Save Mahkamah Konstitusi mendesak agar Presiden Joko Widodo menolak membahas perubahan UU MK dan DPR menghentikan proses legislasi yang tidak berkualitas dan produktif serta fokus pada penanganan pandemi COVID-19 beserta dampaknya.

Jakarta, 3 Mei 2020


Koalisi Save Mahkamah Konstitusi

Koalisi terdiri dari:

  1. Indonesia Corruption Watch (ICW)
  2. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)
  3. Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (Kode Inisiatif)
  4. Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) FH UNAND
  5. Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gajah Mada (Pukat UGM)
  6. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan