PP 2/2008, Bukti Tidak Cerdasnya Pemerintah

Kita akan kumpulkan donasi Rp. 1000 setiap orang untuk menyewa 3m3 lahan hutan lindung. Dari pada digunduli oleh para penambang!.

Demikian diungkapkan Manajer Program Kehutanan WALHI, Rully Syumanda dalam diskusi PP 2/2008 di kantor YLBHI Kamis (28/2) lalu. Pengumpulan donasi tersebut dilakukan secara merata di beberapa tempat di Jakarta dan di daerah. Hasilnya akan diserahkan pada pemerintah, khususnya presiden sebagai bentuk sindiran ketidakmampuan pemerintah menjaga hutannya sendiri. Selain sindiran tindakan ini lebih sebagai kritik atas tidak konsistennya Presiden memimpin isu ekologis dan perubahan iklim, ujarnya.

Seperti diketahui, pada akhir tahun 2008 Indonesia baru saja menjadi tuan rumah penyelenggaraan konferensi PBB perubahan iklim. Disana Presiden menyatakan komitmennya melestarikan lingkungan, ekologis, khususnya wilayah hutan. Kebijakan dan tindakan pemerintah yang seringkali kontradiktif dengan pernyataan pada publik menyiratkan ketidak pahaman presiden sekaligus menegaskan gaya politik pencitraan. Dalam bahasa lebih tegas, ditambahkan Rully, lengkaplah kedunguan pemerintah.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia, Elfian Effendi memaparkan fakta dan analisis yang memperlihatkan kerancuan berpikir pemerintah. Dari aspek devisa negara, kegiatan pertambangan tebuka di wilayah hutan lindung ternyata hanya menyumbangkan tidak sampai 1% dari APBN. Kita meributkan sesuatu yang hanya bernilai 0,68% dari APBN. Padahal dengan kegiatan tersebut hutan, ekologi, lingkungan, dan hutan Indonesia dirusak sedemikian rupa. Kita tahu nilai kerugian yang diderita bahkan tak ternilai, ujar Elfian mematahkan alasan penerbitan PP 2/2008.

Seperti diungkapkan Presiden yang dikutip dari ANTARA. PP ini dikeluarkan sebagai kelanjutan dari pemerintah-pemerintah sebelumnya. Tujuannya baik agar hutan kita semakin selamat, di satu sisi mendatangkan penerimaan negara untuk ekonomi, untuk kesejahteraan, di sisi lain untuk menyelamatkan bumi kita.

Tanggapan diatas dinilai semakin menguatkan ketidakpahamam Presiden terhadap berkas yang ditandatanganinya sendiri. Setidaknya demikian salah satu poin yang mengemuka pada diskusi terfokus yang diadakan YLBHI, Kamis (28/2) lalu. Jika dihitung, bahkan PP ini sangat berpotensi merugikan negara dan masyarakat hingga Rp. 70 triliun, tambah Elfian.

Dalam makalah yang ditulisnya dijelaskan, upaya pemerintah menggenjot penambahan penerimaan negara dari pertambangan umum sebesar Rp. 1,5 triliun dalam revisi APBN 2008 (dari Rp. 4,24 triliun menjadi Rp. 5,77 triliun) adalah kebijakan yang tidak cerdas. Bagaimana mungkin mengorbankan hampir 1 juta hektar hutan lindung untuk aktivitas pertambangan terbuka yang merugikan negara hingga Rp. 70 triliun, hanya untuk mendapatkan Rp. 1,5 triliun untuk revisi APBN. Selain itu, peningkatan target penerimaan tersebut tetap menempatkan sub-sektor pertambangan sebagai sektor paling rendah, yang hanya menyumbangkan 0,1% dari nilai perkiraan Produk Domestik Bruto tahun 2008.

Tabel Perhitungan Potensi Kerugian Negara Akibat Aktivitas Tambang Terbuka

Legalisasi Kebijakan Koruptif
PP 2/2008 tentang jenis tarif PNBP atas penggunaan hutan yang sangat berpotensi merugikan keuangan negara, merusak lingkungan hidup, dan melanggar HAM dengan menyingkirkan masyarakat adat ini dapat dikualifikasikan sebagai bentuk legalisasi kebijakan koruptif. Ridaya Laode Ngkowe, peneliti senior ICW mengungkapkan demikian.

Dalam analisis ekonomi politik, kebijakan ini adalah bentuk pelayanan penguasa sekarang terhadap kroni-kroni politik Presiden, Mentri Kehutanan dan Mentri ESDM untuk membiayai operasi politik mereka menjelang Pemilu 2009. Ini jelas penyalahgunaan wewenang yang pada akhirnya menguntungkan pihak pengusaha dan merugikan masyarakat, tambahnya.

Penerbitan kebijakan, tindakan dan pernyataan kontroversial dari pemerintah, khususnya presiden sebenarnya bukan hal yang asing. Berbagai kebijakan yang diterbitkan justru bertentangan dengan pernyataan yang sering disampaikan pada publik. Seperti diungkapkan Emerson Yuntho, Kepala Divis Hukum & Monitoring Peradilan ICW, dari perspektif hukum, kebijakan-kebijakan koruptif seperti ini dapat mengarah pada pelanggaran hukum sekaligus pelanggaran hak-hak rakyat secara sistematik yang dilakukan oleh presiden. Karena itu, kita menuntut agar PP 2/2008 dicabut. Sebagai bentuk pertanggungjawaban publik, pemerintah harus mengakui kekeliruannya pada rakyat Indonesia tegasnya.

Febri Diansyah

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan