PPKM Darurat: Jangan Ada Babak Baru Korupsi Bansos!

Simak diskusi lengkapnya di Youtube Sahabat ICW: https://www.youtube.com/watch?v=0vi1PY_lhPQ
ICW

Menyusul melonjaknya angka penyebaran Covid-19, pemerintah memutuskan untuk memberlakukan PPKM darurat. Kebijakan ini tentu berimbas besar pada aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat. Sehingga hal tersebut perlu disertai dengan kebijakan perlindungan sosial yang lebih mendukung. Masalahnya, terdapat keterbatasan negara dalam memenuhi perlindungan sosial tersebut.

Pada APBN 2021, pemerintah mengalokasikan Rp 408,8 triliun untuk program perlindungan sosial. Keseluruhan program tersebut diantaranya, yaitu Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, Bantuan Sosial Tunai (BST), Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa, Kartu Prakerja, Bantuan Presiden Produktif Usaha Mikro (BPUM), dan subsidi listrik. Terlihat banyak dan beragam, program-program ini faktanya belum cukup membantu warga terdampak Covid-19. Mulai dari nilai bantuannya yang tidak signifikan hingga keterbatasan jumlah penerima.

Terlebih lagi, BST dalam APBN 2021 hanya dianggarkan hingga April 2021. Demikian pula ragam bantuan dari APBD provinsi dan kabupaten/ kota. Selain masalah keterbatasan anggaran, pemerintah menilai aktivitas sosial dan ekonomi telah berangsur pulih. Sebuah kebijakan yang jelas tidak berdasar dan keliru. Covid-19 masih menjadi ancaman besar, positivity rate Covid-19 melonjak, dan pembatasan aktivitas sosial tak terelakkan.

Dalam kondisi ini, program perlindungan sosial, khususnya bansos, semakin dipertanyakan. Pemerintah kemudian memutuskan melanjutkan BST selama dua bulan ke depan (Juni-Juli 2021). Kontribusi pemerintah daerah melalui APBD juga dinanti warga, meski sebagian telah menegaskan tak ada bansos dari APBD alias bergantung pada program pusat. Pemda lebih memfokuskan anggaran untuk membiayai kebutuhan pelayanan kesehatan Covid-19. Kebijakan ini menimbulkan pertanyaan, bagaimana PPKM darurat bisa efektif kalau warga tak mempunyai penghasilan untuk menutupi kebutuhan pokok sehari-hari?

Di sisi lain, persoalan bantuan Covid-19 tidak hanya soal anggaran dan komitmen pemerintah yang terbatas. Targetting error akibat pemutakhiran data yang masih bermasalah serta korupsi masih menjadi soal besar. Meski Kementerian Sosial tak lagi menyalurkan bansos sembako, potensi korupsi bansos Covid-19 tak serta merta hilang.

Pemberian bansos tunai dan bantuan usaha rentan disalurkan tidak tepat sasaran, terlebih lagi terdapat persoalan pemutakhiran data dan penerima ganda. Petty corruption dalam bentuk pungli dan pemotongan bansos juga masih bermunculan. Potensi korupsi Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) pun masih tinggi, mengingat pemda umumnya menyalurkan bantuan dalam bentuk barang, seperti sembako, masker, dan obat-obatan. Regulasi pengadaan darurat perlu dilengkapi dengan mekanisme yang lebih menjamin agar penyedia yang ditunjuk oleh PPK tidak ditunjuk berdasarkan nepotisme, melainkan rekam jejaknya dalam menyediakan barang sejenis atau terdaftar dalam e-katalog.

ICW sepakat bahwa program bansos perlu ditingkatkan, khususnya di tengah PPKM darurat, namun perlu ada mitigasi korupsi. Korupsi pengadaan dapat dimitigasi dengan mengefektifkan peran pengawas internal dan mengaktifkan pengawasan masyarakat yang diawali dengan keterbukaan informasi terkait program-program pemerintah, berikut informasi pengadaan dan realisasinya. Sedangkan untuk menghindari dan menangani petty corruption, perlu dibuat mekanisme komplain yang lebih efektif dan berkelanjutan.

 

Menunggu Penuntasan Kasus Suap Bansos Kemensos

Ancaman korupsi penanganan Covid-19 kembali mengingatkan kita pada kasus suap pengadaan paket bansos sembako senilai Rp 6,8 triliun di Kementerian Sosial yang melibatkan Menteri Sosial Juliari P. Batubara yang tengah memasuki babak panas baru. Dalam persidangan yang digelar beberapa waktu lalu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK menyebut bahwa Juliari bersama dengan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang ditunjuknya serta pejabat lain telah menerima suap sebesar Rp 32,48 miliar dari 109 penyedia.

Uang suap tersebut setara dengan BST untuk lebih dari 108 ribu penerima atau Kartu Sembako untuk lebih dari 162.000 warga miskin dan rentan. Kerugian warga juga diduga lebih besar karena bisa jadi bansos yang diterima warga tak hanya dikurangi uang suap, melainkan juga pengambilan keuntungan yang tak wajar. Terlebih lagi apabila penyedia bansos yang ditunjuk Kemensos melakukan subcon kepada perusahaan lain. Dari satu kasus korupsi bansos, kerugian warga sudah bergitu besar. Belum lagi dari kasus lain, seperti suap bansos sembako di Bandung Barat yang melibatkan Bupati Bandung Barat Aa Umbara Sutisna. ICW juga mencatat bahwa sepanjang 2020 sedikitnya terdapat 107 kasus korupsi bansos di 21 daerah.

Kasus suap Juliari P. Batubara mempertontonkan bagaimana anggaran bansos yang terbatas justru dijadikan sebagai peluang oleh oknum-oknum pejabat untuk meraup kekayaan. Fee tak hanya dikumpulkan dari satu pengadaan, melainkan seluruh pengadaan gelombang I, April-Juni 2020, dan gelombang II, Juli-Desember 2020. Terdakwa Matheus Joko Santoso bahkan menyebut bahwa Juliari tak puas dengan realisasi penerimaan fee tahap I sehingga mengubah “skema korupsi” pada tahap II. Ia juga menyebut peran dari dua politisi DPR RI, Herman Herry dan Ihsan Yunus, dalam penentuan skema tersebut.

Nama politisi yang merupakan kolega Juliari di PDI-P tersebut bukan kali pertama muncul dalam persidangan. Nama tersebut telah muncul dalam persidangan sebelumnya, yaitu saat jaksa membacakan BAP atas terdakwa Adi Wahyono, pejabat yang ditunjuk sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) oleh Juliari. Herman Herry dan Ihsan Yunus disebut termasuk penerima kuota melalui sejumlah perusahaan yang terafiliasi dengan nama keduanya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Namun sangat disayangkan, justru muncul kejanggalan. Dua nama tersebut tak muncul dalam dakwaan Juliari P. Batubara. Demikian pula sederet pengusaha penyedia bansos sembako yang diduga memberi suap. Sejauh ini baru dua penyedia yang telah ditangani dan telah divonis bersalah.

Kasus korupsi Juliari P. Batubara perlu menjadi perhatian dan pembelajaran agar pemerintah juga memperhatikan peluang atau celah korupsi dalam program penanganan Covid-19, baik itu dalam program perlindungan sosial maupun penanganan kesehatan. Meskipun program tersebut krusial dan dibutuhkan warga, program tersebut rentan menjadi ladang korupsi sehingga perlu untuk dipikirkan lebih lanjut.

Di lain hal, penegak hukum seperti KPK juga dituntut untuk objektif menangani perkara tersebut. Dengan serangkaian kejanggalan dalam penanganan perkara bansos, publik khawatir lembaga antirasuah itu hanya berhenti dengan menindak Juliari P. Batubara dan pihak lain yang terlibat di Kemensos. Padahal, sebagaimana disebutkan sebelumnya, ada sejumlah politisi yang diduga memiliki peran dan ikut mendapatkan jatah kuota bansos besar. Tentu dasar penunjukkan dalam proyek ini penting untuk ditelusuri KPK. Sederhananya, bukan tidak mungkin penunjukan tersebut terjadi karena nepostime dan ada konflik kepentingan, bukan berdasarkan rekam jejak perusahaan dalam pengadaan sejenis. Hal itu mengingat Juliari P Batubara adalah satu rekan partai politik dengan dua politisi itu. 

Terkait kasus ini, publik menunggu penuntasan kasus suap pengadaan Kemensos agar kasus tersebut menimbulkan efek jera dan berdaya cegah. Jangan sampai, nama-nama yang disebut-sebut terlibat dalam kasus tersebut menggantung dan tidak jelas tindak lanjutnya dan para terdakwa mendapat hukuman ringan.

 

Gugatan Korban Bansos

Pada Senin yang lalu, 5 Juli 2021, langkah gugatan permintaan ganti kerugian kepada pelaku korupsi menemui titik terang. Majelis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menerima permohonan penggabungan gugatan ganti kerugian yang diajukan oleh 18 korban korupsi bansos terhadap mantan Menteri Sosial, Juliari P Batubara. Ini merupakan sejarah baru, betapa tidak, sebelumnya belum ada gugatan menggunakan Pasal 98 KUHAP dalam perkara korupsi diterima di persidangan.

Pada persidangan kemarin, bahkan, kuasa hukum diberikan akses oleh majelis hakim untuk duduk berdampingan dengan jaksa penuntut umum dan berhadapan langsung di depan kuasa hukum Juliari P Batubara. Namun, dalam kesempatan itu, hakim meminta agar Tim Advokasi Korban Korupsi Bansos untuk melengkapi dokumen administrasi terkait permohonan yang sedang diajukan. Tentu, dengan bukti dan argumentasi yang diajukan dalam proses persidangan mestinya tidak ada alasan bagi hakim untuk menolak permohonan penggabungan gugatan ganti kerugian tersebut. Ini penting untuk menjadi pelajaran bagi Juliari P Batubara. Sebab, korupsi yang ia lakukan sangat merugikan seluruh masyarakat terdampak wabah Covid-19.

 

Jakarta, 6 Juli 2021

Indonesia Corruption Watch

 

Narahubung:

Almas Sjafrina 081259014045

Kurnia Ramadhana 0821 62889197

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan