PR dari TNI untuk Presiden
Pada era Megawati, TNI berpisah dari politik. Kini tinggal memisahkan TNI dari bisnis.
Saya bingung apa itu bisnis TNI. Kalimat itu meluncur dari mulut Said Didu di sela-sela peluncuran buku mantan presiden B.J. Habibie, Detik-detik yang Menentukan, 21 September lalu.
Ketua Tim Supervisi Transformasi Bisnis TNI itu tentu tidak sedang berpura-pura. Sebagai Sekretaris Kementerian Negara Badan Usaha milik Negara, Said pasti mafhum definisi soal bisnis, oleh TNI sekalipun. Namun, persoalan yang terjadi dalam memilih 1.500 unit usaha milik TNI tak sebatas definisi. Meski telah resmi diserahkan kepada Departemen Pertahanan, kenyataannya, tarik-menarik berbagai kepentingan masih amat kuat.
Penyertaan saham, misalnya, dia menilai merupakan bagian dari bisnis yang harus ditertibkan. Karena Undang Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI tegas melarang TNI, baik perorangan maupun institusi, terlibat bisnis. Sebaliknya, Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan Letnan Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin justru menyatakan tidak.
Namun, setelah dilakukan diskusi intensif, akhirnya dia pun sepakat. Soal kriteria bisnis yang akan dialihkan, menurut Sjafrie, Semuanya, tidak ada pengecualian, katanya Kamis lalu.
Tim juga merekomendasikan Badan Pengelola Aset Bisnis Militer. Sayang, draf peraturan presiden tentang pembentukan badan itu tak jelas kabar beritanya sejak masuk ke Sekretariat Negara Juni lalu. Padahal Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono pernah mengungkapkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan menerbitkan peraturan presiden yang dimaksud sebelum pidato kenegaraan 16 Agustus lalu.
Dalam draf disebutkan bisnis TNI yang dikelola negara adalah yang dimiliki institusi TNI. Jenis usaha dipilah menjadi industri dan jasa. Kelompok industri misalnya pertambangan dan agrobisnis, sedangkan jasa mencakup perhotelan, transportasi, dan konstruksi.
Dengan pengelompokan tersebut, diharapkan pengalihan bisnis-bisnis itu bisa langsung dikerjakan begitu peraturan presiden ditandatangani.
Saat ini, Sjafrie menuturkan kepada pers Kamis lalu, Tim telah menyiapkan seorang akuntan yang akan memimpin badan tersebut. Namun, dia masih merahasiakan identitas sang akuntan. Nanti saja, kasihan orangnya kalau tidak jadi, kata dia.
Sebelumnya, pemerintah telah menetapkan dua auditor independen, yakni PT Bahana dan PT Dana Reksa, untuk mengaudit unit usaha milik TNI. Hasil sementara, saat ini tercatat 219 unit bisnis yang dikelola oleh TNI. Dari hasil verifikasi sementara, 12 unit bisnis militer akan diambil oleh negara karena memiliki aset lebih dari Rp 50 miliar, 10-12 unit bisnis militer menggunakan aset negara, serta lainnya berbentuk yayasan dan koperasi.
Jaleswari Pramodhawardani, peneliti pada Indonesian Institute, berharap peraturan presiden yang lama dinanti itu bisa muncul setidaknya pada hari ulang tahun TNI, 5 Oktober. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kata dia, seharusnya meniru langkah Presiden Jiang Zemin dari Cina yang berhasil mengalihkan semua bisnis militer dalam tempo enam bulan. Kompensasinya, anggaran militer ditambah menjadi tiga kali lipat. Sumber dana, menurut Dani, berasal dari bisnis-bisnis yang kemudian dikelola negara itu.
PR (pekerjaan rumah) Presiden saat ini tinggal memisahkan TNI dari bidang ekonomi, kata Dani. Di era Megawati, TNI dapat dipisahkan dari politik, salah satunya keluar dari DPR. Yophiandi | Rieka Rahardiana
Sumber: Koran Tempo, 3 Oktober 2006
--------
Sementara itu...
Membenahi Bisnis Militer ala Cina
Bisnis tentara di Cina sangat mirip dengan bisnis TNI. Alasan tumbuhnya bisnis juga sama dengan Indonesia: negara tak bisa memenuhi anggaran militer.
Hasil riset James Mulvenon dari Pusat Riset dan Analisis Intelijen Amerika Serikat, yang ditulis ulang oleh Joseph Fewsmith dalam Soldiers of Fortune: The Rise and Fall of the Chinese Military Business Complex, 1978-1998, memaparkan, di Negeri Tirai Bambu itu, anggaran militer sempat anjlok dari puluhan juta dolar Amerika Serikat menjadi hanya ratusan ribu dolar AS. Maklum, semua potensi keuangan dikonsentrasikan untuk membangun sektor perekonomian. Sebagai komprominya, Deng Xiao Ping, yang masih berkuasa hingga awal era 1980, membebaskan militer Cina mencari tambahan sendiri bagi anggaran mereka.
Permakluman itu dimanfaatkan betul oleh para jenderal negeri itu. Hanya dalam tempo lima tahun, 1985-1990, bisnis militer Cina melonjak 700 persen hingga memiliki sekitar 15 ribu unit bisnis--mulai diskotek, hotel, hingga agen perjalanan dengan kapal pesiar. Belum lagi jasa pengamanan bagi operasi-operasi usaha tertentu.
Namun, ketika kekuasaan beralih, kebijakan pun berganti. James dalam kesaksiannya di hadapan Komisi Cina-Amerika pada 7 Desember 2001 mengungkapkan, Presiden Jiang Zemin meminta para jenderal menghentikan bisnis mereka. Sebagai Ketua Komite Militer Pusat, Jiang berobsesi menjadikan militer Cina menjadi kekuatan dunia. Programnya tak lain dari menarik kembali tentara dan polisi berkonsentrasi pada pengembangan pertahanan negara.
Pekerjaan Anda bukan bisnis, melainkan membela negara, ujar Ziang dalam pidatonya di Markas Besar Tentara Pembebasan Rakyat pada 23 Juli 1998. Semua unsur (militer) harus ikut kegiatan antipenyelundupan dan bisnis. Kita ingin negara ini kuat sebagai pemain global, dia menambahkan lugas.
Ia sadar, obsesinya tak mungkin terwujud hanya dengan retorika. Jiang juga mafhum, para jenderal tak akan begitu saja melepaskan posisinya dalam berbisnis yang sudah telanjur mereka nikmati. Karena itu, pendekatan pribadi harus dijalin. Dua bulan dia habiskan untuk melakukan lobi dan meyakinkan para petinggi militer agar menerima gagasannya memperkuat militer Cina. Kompensasinya? Petinggi militer yang berpengaruh diikutsertakan dalam proses divestasi. Anggaran untuk militer ditambah hingga tiga kali lipat mulai 1999.
Hasilnya, hanya dalam tempo enam bulan, Juni-Desember 1998, 70 persen dari 15 ribu unit bisnis yang dikelola tentara dengan aset US$ 10 miliar diserahkan kepada negara dengan menitipkan kepada badan usaha milik negara yang sebidang usaha. Setelah dipilah, dari jumlah bisnis itu, 3.928 usaha di antaranya harus ditutup dan 2.978 lainnya dialihkan ke badan usaha milik daerah Cina, sedangkan sisanya dikelola pusat.
Konglomerasi bisnis terbesar, Yunfeng Industries di Shanghai, pun diserahkan kepada negara. Konglomerat industri manufaktur, termasuk persenjataan, itu menempel pada Komisi Sains, Teknologi, dan Industri Pertahanan. Perusahaan tersebut beraset US$ 300 juta dan setiap tahun meraup keuntungan US$ 30 juta. Yophiandi
Dijual Sebelum Peralihan
Dari 1.500 unit bisnis milik TNI yang diserahkan kepada Departemen Pertahanan, beberapa bisnis disinyalir telah dijual dengan dalih merugi. Berikut ini di antaranya:
1. Anggota Komisi Pertahanan dari Partai Bintang Reformasi, Ade Daud Nasution, mempertanyakan jumlah saham milik Yayasan Kartika Eka Paksi milik TNI Angkatan Darat di Bank Artha Graha yang menyusut dari 20 persen menjadi 11 persen. Setahu saya, kalau aset negara dijual, harus seizin Menteri Keuangan, kata Ade dalam rapat dengan Menteri Pertahanan September tahun lalu.
Menurut Wakil Kepala Staf TNI Letnan Jenderal Endang Suwarya, saham itu dijual karena TNI tak mampu memenuhi kewajiban menyetor modal saat Artha Graha harus merger dengan Inter Pasifik. Uangnya (Rp 151 miliar) untuk pendidikan prajurit Angkatan Darat, kata Endang.
2. Indonesia Corruption Watch menilai PT International Timber Corporation Indonesia milik TNI merupakan unit usaha yang menguntungkan. Tapi Yayasan Kartika Eka Paksi justru menjual perusahaan pengolahan kayu di Kalimantan itu ke Cardig International.
3. Mandala Airlines menjual 70 persen sahamnya senilai Rp 245 miliar ke Cardig International pada April lalu. Sebelum salah satu pesawatnya jatuh di Polonia, Medan, September tahun lalu, maskapai milik Yayasan Dharma Putra Kostrad itu memang dikabarkan terus merugi. Berbagai Sumber | Yophiandi