Prajurit Tak Boleh Lagi Nyambi; Jangan Langgar Fungsi Pertahanan
Pemerintah, terutama Departemen Pertahanan dan Markas Besar Tentara Nasional Indonesia, diminta bersikap tegas dan segera mengeluarkan aturan yang melarang penyelewengan tugas dan fungsi prajurit TNI sebagai alat pertahanan.
Fenomena prajurit TNI aktif yang menyambi sebagai petugas atau tenaga pelatih/konsultan pengamanan akan sangat merugikan TNI sendiri. Keberadaan mereka sebagai satu-satunya institusi, yang diberi kewenangan untuk menggunakan kekerasan oleh negara terkait fungsi pertahanan, rentan disalahgunakan.
Hal itu disampaikan Jaleswari Pramodhawardani dari The Indonesian Institute dan anggota Komisi I DPR dari Fraksi PDI-P, Andreas Pareira, Minggu (5/11).
Seperti diwartakan sebelumnya, pihak kepolisian berhasil menangkap sebagian pelaku perampokan uang senilai Rp 3 miliar yang dibawa dalam mobil PT Armorrindo Artha. Beberapa dari pelaku diketahui oknum prajurit TNI yang bekerja sebagai tenaga pengamanan di perusahaan itu.
Panglima TNI harus bisa tegas dan mengeluarkan instruksi yang melarang semua prajuritnya bekerja sambilan, baik sebagai tenaga pengamanan maupun pelatih pengamanan, karena kegiatan itu melanggar fungsi mereka sebagai alat pertahanan, ujar Andreas.
Menurut Andreas, instruksi Panglima TNI tetap diperlukan walau sebenarnya aturan soal itu sudah tegas dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Dalam UU itu diatur, tugas utama prajurit TNI hanya menjalankan fungsi pertahanan dan bela negara.
Ketegasan Panglima TNI, dinilai Andreas, sangat diperlukan karena masalah itu terkait disiplin prajurit TNI. Begitu terjadi, para pelaku harus segera dijatuhi sanksi indisipliner sesuai ketentuan. Alasan kesejahteraan yang rendah dan alokasi anggaran pemerintah yang belum maksimal tidak bisa dijadikan dalih untuk pelanggaran.
Adapun masalah terpenting lain, ujar Andreas, para prajurit TNI yang melanggar tindak kriminal juga harus bisa diadili di pengadilan sipil karena peradilan militer selama ini dinilainya justru cenderung menenggelamkan kasus-kasus pelanggaran seperti itu.
Sementara itu, Jaleswari menyatakan, aturan tegas justru harusnya dikeluarkan oleh tingkat Menteri Pertahanan mengingat segala kebijakan di lingkungan pertahanan seharusnya dihasilkan Departemen Pertahanan.
Selain itu, Jaleswari juga memperkirakan, masih terus berlangsungnya fenomena di atas justru disebabkan, antara lain, karena pemerintah dan TNI sendiri tidak pernah mau mengakui adanya prajurit yang mencari pekerjaan sampingan, baik sebagai tenaga pengamanan, beking pengusaha, maupun aktivitas lain.
Bahkan, terkait upaya penertiban bisnis TNI, lanjut Jaleswari, pemerintah hanya mengakui aktivitas bisnis TNI sebagai kegiatan bisnis yang dilakukan TNI sebagai institusi dan bukan oleh perorangan. Padahal, Dephan sendiri pernah meminta masukan terkait penanganan masalah itu. Saat kami dari The Indonesian Institute bertemu dengan Tim Supervisi Transformasi Bisnis (TSTB) TNI dan Dephan awal tahun ini, Pak Sjafrie Sjamsoeddin (Sekretaris Jenderal Dephan) pernah menyinggung dan menanyakan bagaimana baiknya menertibkan bisnis-bisnis pengamanan oleh prajurit TNI seperti itu, kata Jaleswari. (DWA)
Sumber: Kompas, 6 November 2006