Presiden Baru yang Mana, Pentingkah Itu? [28/07/04]
Ketika presiden baru Indonesia terpilih pada bulan September mendatang, ia akan langsung dihadapkan pada tugas yang paling mendesak, yaitu menyusun kekuatan untuk memerintah secara efektif. Namun, yang lebih mendasar lagi adalah tugas untuk menghentikan ketergelinciran ke dalam savage capitalism yang kerap mengiringi sistem parlementer di tahun-tahun awal.
Ini bukanlah tugas mudah dan sama sekali tidak dapat diselesaikan oleh perbaikan teknis maupun kebijakan yang disarankan Bank Dunia ataupun badan- badan pengembangan lainnya, melalui program pemerintahan yang bersih maupun program peningkatan kapasitas. Permasalahannya justru terletak pada persoalan kekuasaan dan politik.
Sederhananya sebagai berikut: karena revolusi demokratik di Indonesia bukanlah hasil revolusi sosial ataupun politik, rezim sebelumnya yang melihat fungsi negara sebagai pengalokasian kekuasaan dan kekayaan-dan bukannya untuk merancang undang-undang dan mengatur (legislating and regulating)-mewariskan nilai-nilai itu. Alhasil, tak ada kekuatan reformis yang efektif secara politik muncul ke layar radar.
Seperti yang sudah kita saksikan dalam periode kepemimpinan Abdurrahman Wahid maupun Megawati Soekarnoputri, para presiden pasca-Soeharto telah menjadi pembaharu yang tak efektif karena kekuatan kepentingan yang telah mengakar tersebut. Bagaimanapun para presiden baru ini memiliki sejumlah kendala untuk menjalankan reformasi. Berbeda dengan Soeharto, para presiden baru harus memenangi pemilihan umum dan memobilisasi dukungan di parlemen. Artinya, mereka harus membangun aliansi yang rumit di dalam parlemen yang tak tertarik dengan program-program para reformis. Presiden baru juga tidak memiliki sumber daya keuangan seperti Soeharto yang mampu mengerahkan (sumber-sumber keuangan) untuk membiayai proyek-proyek ekonomi ataupun gagasan para reformis secara independen.
Pada saat bersamaan aparat kekuasaan yang dibangun Soeharto sampai saat ini lebih kurang tetap utuh. Beberapa elemen, khususnya di kalangan militer dan kehakiman, kini membangun pasukan belakang (rearguard) yang berkeras menentang reformasi sosial dan reformasi badan hukum.
Yang paling penting, program-program politik, fiskal, dan desentralisasi telah menggeser keseimbangan kekuasaan ke arah yang semakin menjauhi pusat. Daerah dan provinsi saat ini muncul sebagai pusat-pusat yang memperebutkan masalah pendapatan (revenues) dan otoritas, dan menerapkan sendiri aturan mengenai fiskal dan pajak. Desentralisasi tampaknya telah membiarkan pemerintah untuk jatuh lebih dalam ke tangan predator-predator provinsi dan daerah yang tak mengenal ide kepentingan publik maupun kepentingan bersama.
Fenomena ini tidaklah-seperti apa yang selama ini dipahami oleh Bank Dunia dan para pengamat neoliberal-dianggap sebagai problem sebuah negara yang gagal (failed state). Sebagai contoh, makin meningkatnya penghancuran taman-taman nasional dan hutan-hutan tidak bisa disalahkan pada faktor miskinnya sumber daya ataupun lemahnya institusi. Namun, lebih merupakan proses yang sangat terkait dengan kepentingan para elite yang kerap diorganisasi dan difasilitasi oleh para pejabat daerah dan politisi itu sendiri.
Meski demikian, reformasi demokratis dan desentralisasi diharapkan dapat meningkatkan kekuatan maupun kepentingan populer untuk melawan negara-negara opresif (oppressive states). Benar bahwa kelompok-kelompok swadaya masyarakat dan berbagai aliansi politik, bersama- sama dengan media, dalam sejumlah kasus telah mampu menyingkirkan pejabat korup, satu hal yang sebelum ini tak mungkin terjadi. Tidakkah hal ini bisa menjadi basis bagi aliansi politik baru yang memungkinkan presiden (terpilih) menghabiskan sisa-sisa rezim Soeharto dan kepentingan ganas para predator baru?
Walaupun kemungkinan seorang presiden yang menanamkan kekuatannya dengan memimpin sebuah revolusi progresif melawan elemen-elemen ganas dari sebuah kekuatan elite adalah ide tak realistis, kemungkinan mereorganisasi kekuatan melalui sebuah kontrak sosial baru yang populis tidaklah di luar batas-batas kemungkinan.
Dalam hal ini, pengalaman Perdana Menteri (PM) Thailand Thaksin Shinawatra bisa dijadikan pelajaran. Berbeda dengan para PM yang taat mengikuti petunjuk IMF, Thaksin tidak saja membentuk kebijakan ekonomi yang lebih nasionalis, tetapi juga secara langsung berhadapan dengan kekuatan politik daerah dan kepentingan bisnis di parlemen. Ia membangun partai politik nasional untuk mem-bypass kekuatan broker daerah dan kemudian mewujudkan kontrak sosial baru di tingkat akar rumput yang menghubungkan kekuatan nasional dengan sumber-sumber suara (sources of votes) melalui bantuan ke desa-desa, kebijakan kesehatan, dan kebijakan populis lainnya. Dengan demikian, politik uang telah disentralisasi ulang.
Walau skenario semacam itu tidak progresif, itu memberi dasar sebuah aliansi baru, di mana seorang presiden bisa menang atas parlemen dan broker kekuasaan tradisional. Yang jelas ini merupakan suatu pilihan yang mungkin menarik bagi Susilo Bambang Yudhoyono yang hanya memiliki sedikit kekuatan atau pengaruh di dalam parlemen nasional dan sedikit sumber daya di daerah-daerah untuk menandingi jaringan luas Golkar atau PDI Perjuangan (PDI-P). Namun, itu merupakan suatu pilihan yang berisiko tinggi yang memerlukan keberanian dan ketegasan.
Dalam pada itu, tugas mengalahkan Yudhoyono mungkin mempercepat apa yang sebenarnya merupakan sebuah aliansi logis-aliansi dari dua partai yang sekuler, nasionalis dan statis (menganut faham pengawasan pemerintah yang terpusatkan), yaitu Golkar dan PDI-P. Suatu blok kekuasaan di pusat semacam itu akan meningkatkan secara berarti presiden mana pun dengan memberi suatu mayoritas di parlemen dan suatu basis potensial untuk menyerang pusat-pusat kekuasaan yang mengancam di daerah- daerah.
Namun, ada perbedaan-perbedaan penting dengan kasus Thailand. Yang terutama, agenda Thaksin adalah secara langsung menetapkan pengaruh politis dari bisnis nasional melalui Partai Thai Rat Thai. Itu didukung oleh seperangkat kepentingan yang kuat dan kaya.
Sebaliknya, baik Golkar maupun PDI-P di Indonesia tidak mempunyai seperangkat kepentingan yang kohesif. Mereka juga tidak mewakili pusat melawan daerah. Mereka mewakili untaian panjang aliansi politik yang sampai ke daerah-daerah dan provinsi-provinsi dan melibatkan elite politik dan dunia usaha yang kompleks. Dunia usaha saat ini di Indonesia mungkin mendanai politik, tetapi sama sekali tidak mampu mengorganisasi sebuah partai dalam kepentingan mereka untuk merebut kekuasaan.
Ini merupakan gambaran yang suram. Namun, apakah ini hanya suatu masa peralihan kekuasaan yang memang diperlukan, suatu yang khas dari tahap awal demokrasi kapitalis di mana pun setelah pemerintahan yang otoriter? Masa-masa semacam itu bisa berlangsung lama, seperti halnya kasus Pakistan, di mana selama lebih dari lima dasawarsa demokrasi hanya menghasilkan sedikit dalam hal perkembangan ekonomi dan sosial. Namun dalam kasus Indonesia, prognosis yang suram seperti itu kecil kemungkinannya. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi masa depan?
Pada satu tingkat sifat dunia usaha yang berubah di Indonesia pada akhirnya akan sangat penting dalam penentuan keadaan politik. Di satu pihak, akibat krisis, tanpa punya lagi akses ke monopoli dan kredit mudah dari negara, ada suatu kecenderungan bagi dunia usaha Indonesia untuk meningkatkan kehadiran di bidang-bidang seperti properti dan pembangunan atau dalam bidang asuransi dan keuangan skala kecil, perdagangan lokal dan regional, dan di bidang-bidang ekonomi yang lain. Ini merupakan sekutu-sekutu alamiah bagi politik ganas, penguasaan politik daerah dan kapitalisme ganas.
Namun, kita tidak bisa mengesampingkan prospek suatu integrasi yang meningkat dengan perekonomian dan perluasan perusahaan Asia Tenggara dan China Daratan yang baru. Kenyataan bahwa sejumlah besar aset yang dijual oleh BPPN, termasuk bank-bank, telah dibeli oleh perusahaan-perusahaan dari Singapura dan negara-negara Asia lainnya dan bukannya dari Barat menunjukkan bahwa negara-negara Asia mungkin lebih mampu menghadapi sifat- sifat aneh iklim usaha yang baru itu.
Kita bisa berspekulasi bahwa suatu proses baru globalisasi yang menghubungkan Indonesia lebih rapat pada agenda perekonomian Asia yang lebih besar akan lebih menembus dan dengan demikian lebih mampu mengubah Indonesia daripada penanaman modal perusahaan Barat. Kalau beberapa unsur dari bisnis besar Indonesia disusun kembali sebagai mitra dan perantara di dalam hubungan baru ini, mereka pun akan menjadi lebih terinternasionalisasi. Dengan demikian, masa depan bagi Indonesia mungkin bisa dilihat bukan sebagai regionalisme oligarkis, seperti misalnya Filipina, maupun sebagai populisme terpusat seperti Thailand, tetapi lebih merupakan kapitalisme yang terpusat dan terorganisasi seperti Malaysia.
Tentu saja akan merupakan suatu kesalahan untuk melihat transformasi politik dan sosial sebagai suatu hal yang hanya dimiliki pusat. Meningkatnya independensi fiskal dan administratif dari daerah mungkin akan menyebabkan daerah yang paling kuat dan paling efektif untuk mulai lebih bergabung dengan kekuatan global daripada dengan daerah-daerah lain dan bahkan pusat. Indonesia mungkin menjadi entitas yang lebih tidak rata dan lebih bervariasi di mana para pemimpin politik daerah mungkin bahkan lebih menonjol dibandingkan presiden nasional.(Richard Robison Profesor Ekonomi Politik pada Institute of Social Studies di Den Haag)
Tulisan ini diambil dari Kompas, 28 Juli 2004