Presiden Diminta Benahi Kejaksaan

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diminta mengevaluasi dan membenahi kinerja Kejaksaan Agung (Kejagung) terutama dalam pemberantasan korupsi.

 Naskah presentasi ICW
 Naskah pokok-pokok pikiran evaluasi kejaksaan

Banyak kebijakan Kejagung dinilai justru bersifat disorientasi sehingga mengakibatkan penanganan korupsi tidak optimal. “Presiden harus memprioritaskan pembersihan dan pembenahan mendasar di tubuh kejaksaan,” kata peneliti hukum Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Diansyah di Jakarta kemarin.

Beberapa kebijakan yang dipertanyakan ICW antara lain penghapusan indikator kinerja 5:3:1. Program ini diketahui mewajibkan kejaksaan tinggi menuntaskan minimal lima kasus, kejaksaan negeri tiga kasus, cabang kejari satu kasus.“Seharusnya tidak dihapus, tapi diperkuat,”ujarnya.

ICW juga mempertanyakan kebijakan Kejagung yang memprioritaskan pencegahan ketimbang penindakan dalam penanganan korupsi. Kebijakan itu, kata Febri, sangat berpotensi menjadi tempat “perlindungan baru” dari buruknya penindakan, padahal strategi pencegahan dalam pemberantasan korupsi tidak diatur dalam UU Kejaksaan. Febri melanjutkan,

Kejagung juga masih menjadikan penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) sebagai tren. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Marwan Effendy menegaskan, kebijakan yang dikeluarkan Kejagung untuk mengoptimalisasi pemberantasan korupsi. Terkait kebijakan yang memfokuskan pada pencegahan korupsi,

Marwan menegaskan hal itu didasari atas fakta banyaknya penindakan tidak lantas menurunkan angka korupsi. Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Denny Indrayana mengakui masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan untuk membenahi kejaksaan dan kepolisian. (adam prawira)

Sumber: Seputar Indonesia, 11 Mei 2009

{mospagebreak title=Perbankan Peringkat Tertinggi} 

KORUPSI DAN KERUGIAN NEGARA
Perbankan Peringkat Tertinggi

Monitoring Indonesia Corruption Watch terhadap kasus korupsi pada 2008 menunjukkan bahwa korupsi di sektor perbankan merupakan yang paling besar menimbulkan kerugian negara. "Kerugian yang ditimbulkan mencapai Rp 9,49 triliun," kata Kepala Divisi Investigasi ICW Agus Sunaryanto dalam jumpa pers di Jakarta kemarin.

Monitoring atas kasus korupsi ini dilakukan ICW di sembilan kota, mulai berdasarkan pemberitaan media massa, laporan Badan Pemeriksa Keuangan, laporan masyarakat, hingga laporan dari kejaksaan. Dalam kurun 2008, ada 275 kasus korupsi dengan kerugian negara Rp 18,72 triliun.

Setelah perbankan, sektor pemerintahan berada di posisi kedua dalam hal merugikan negara, yang besarnya Rp 2,9 triliun. Setelah itu, sektor pertanian, perkebunan, perikanan, dan peternakan sebesar Rp 1,8 triliun.

Jika peringkatnya dibuat berdasarkan lembaga yang terlibat korupsi, kata Agus, kerugian paling besar ditimbulkan oleh Bank Indonesia, dengan kerugian ditaksir Rp 9 triliun. Kemudian diikuti lembaga eksekutif sebesar Rp 8,5 triliun, lalu badan usaha milik negara Rp 592 miliar.

Menurut Agus, modus kasus korupsi yang paling banyak ditemukan adalah melalui manipulasi anggaran (31 persen), penggelapan anggaran (30,9 persen), dan penggelembungan anggaran (26,9 persen). "Masalah pengadaan memang paling rawan," Agus menambahkan.

Peneliti Bidang Hukum ICW, Febri Diansyah, menilai kejaksaan mengalami disorientasi strategi pemberantasan korupsi. Salah satunya penghapusan indikator 5-3-1 pada 2008. Indikator ini memberikan kewajiban penanganan korupsi lima perkara di kejaksaan tinggi, tiga di kejaksaan negeri, dan satu di cabang kejaksaan negeri.

Perubahan itu, kata Febri, berpengaruh terhadap jumlah penanganan kasus. Dengan 30 kejaksaan tinggi, 337 kejaksaan negeri, dan 108 cabang kejaksaan negeri, jumlah kasus yang ditangani seharusnya 1.377 perkara. Berdasarkan laporan Kejaksaan Agung, saat ini per kantor kejaksaan menangani 1,79 kasus per tahun. DIANING SARI

Sumber: Koran Tempo, 11 Mei 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan