Presiden Diminta Selamatkan KPK; DPR Dinilai Lupakan Semangat Reformasi
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diminta untuk menyelamatkan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi dari upaya pemangkasan dan pengerdilan. Desakan itu disampaikan Perhimpunan Advokat Indonesia Pengawal Konstitusi.
Perhimpunan Advokat Indonesia Pengawal (PAIP) Konstitusi, Senin (14/9), menggelar aksi keprihatinan di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), depan Istana Negara, dan DPR, Jakarta.
PAIP Konstitusi mengaku prihatin dengan perseteruan antarpenegak hukum, yakni Polri dan Kejaksaan Agung dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Perseteruan itu memberikan kesan adanya persaingan di antara ketiganya. ”Ini merugikan upaya pemberantasan korupsi,” ujar Saor Siagian dari PAIP Konstitusi.
PAIP Konstitusi juga menyayangkan adanya upaya sistematis menggembosi KPK dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), yang dilakukan pada pembahasan Rancangan Undang-undang Pengadilan Tipikor. Substansi pembahasan melenceng dari putusan MK yang jelas hanya mengamanatkan penguatan Pengadilan Tipikor.
PAIP Konstitusi mengusulkan keberadaan Pengadilan Khusus Tipikor dan KPK diatur dalam konstitusi. Keberadaan keduanya setara dengan peradilan lain, seperti peradilan umum, tata usaha negara, militer, dan agama.
Saor menambahkan, karakter kemandirian KPK yang ada dalam semangat konstitusi harus dipelihara. ”Sangat lucu, yang bergulir di parlemen justru memangkas KPK,” katanya.
Semangat reformasi
Secara terpisah, mantan Wakil Ketua KPK Tumpak Hatorangan Panggabean di Jakarta, Senin, mengingatkan, memangkas kewenangan penuntutan pada KPK merupakan salah satu bukti Panitia Kerja (Panja) RUU Pengadilan Tipikor melupakan semangat reformasi yang tertuang dalam Ketetapan MPR Nomor XI Tahun 1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Spirit pemberantasan korupsi itu melekat pada UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
”Kewenangan penuntutan dan kewenangan lain pada KPK tidak hanya tertuang pada UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK, tetapi tertuang pada UU No 31/1999 Pasal 43 Ayat 2. Panja DPR lupa. UU 31/1999 dibuat berdasarkan Tap XI/MPR/1998,” jelasnya.
Tumpak meminta Panja RUU Pengadilan Tipikor mempelajari sejarah mengapa bangsa Indonesia saat reformasi ingin memberantas korupsi. ”Korupsi berkembang sistemik di seluruh lapisan, merusak hak ekonomi masyarakat, dan merusak pembangunan nasional. Latar belakang sejarah ini seharusnya dipegang Panja DPR,” katanya lagi.
Pertanyaannya, lanjut Tumpak, apakah Panja RUU Pengadilan Tipikor memang menilai kondisi Indonesia saat ini sudah bersih dari korupsi. Sampai saat ini cita-cita bebas dari korupsi masih belum bisa terwujud. Karena itu, eksistensi KPK perlu dipertahankan dengan kewenangan yang dimilikinya.
Tumpak, yang juga pensiunan jaksa, mengingatkan, alasan Panja DPR mengalihkan kewenangan KPK ke Kejaksaan dengan alasan kejaksaan adalah satu kesatuan merupakan kekeliruan. ”Yang dimaksud UU Kejaksaan, jaksa adalah satu, bukan kejaksaan. Jaksa Penuntut Umum di KPK adalah jaksa juga. Jadi, panja salah mengartikan UU Kejaksaan itu,” jelasnya.
Sebelumnya, Rapat Panja RUU Pengadilan Tipikor yang berlangsung tertutup mencabut kewenangan KPK dalam penuntutan. Rapat yang dihadiri perwakilan sepuluh fraksi dan pemerintah itu menyetujui bunyi Pasal 1 Ayat 4 RUU, Penuntut umum adalah jaksa penuntut umum yang ditetapkan sebagai penuntut umum tindak pidana korupsi. Pada aturan peralihan RUU itu ditegaskan, Pasal 12 dalam UU KPK yang mengatur wewenang penuntutan itu dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Banyak elemen masyarakat sipil menolak pengesahan RUU Pengadilan Tipikor versi Panja DPR itu. Petisi penolakan diserahkan Ketua Konsorsium Reformasi Hukum Nasional Firmansyah Arifin kepada Wakil Ketua Panja Willa Chandrawilla dan disaksikan Ketua DPR Agung Laksono, Senin. Petisi penolakan didukung 115 tokoh dan 47 lembaga.
”KPK dan Pengadilan Tipikor adalah anak kandung reformasi. RUU ini mengebiri dan melemahkan KPK,” tegas Todung Mulya Lubis dari Transparency International Indonesia.
Todung mengingatkan, apabila RUU Pengadilan Tipikor versi panja disahkan, itu akan menjadi catatan hitam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Menurut Willa, panja hanya membahas Pengadilan Tipikor. Panja tak bermaksud mengubah kewenangan KPK. Keterlibatan jaksa dalam penuntutan, yang selama ini dipekerjakan di KPK, juga adalah jaksa.
”Tidak ada pelemahan terhadap KPK. DPR hanya ingin menguatkan Pengadilan Tipikor agar mempunyai kepastian hukum,” tegasnya lagi. Todung menilai penjelasan Willa itu bersifat teoretis. (vin/ana/sut)
Sumber: Kompas, 15 September 2009