Presiden Harus Copot Jaksa Agung
- HM Prasetyo gagal menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu, reformasi institusi dan pemberantasan korupsi -
Pada 20 November mendatang, genap satu HM Prasetyo menjabat sebagai Jaksa Agung Republik Indonesia. Salah prioritas kerja yang sepatutnya diselesaikan oleh HM Prasetyo sebagai Jaksa Agung adalah penguatan pemberantasan korupsi, penuntasan pelanggaran HAM masa lalu, dan reformasi kejaksaan. HM Prasetyo telah nyata-nyata gagal memenuhi ketiga hal tersebut.
Sebagai cerminan Pemerintahan Jokowi – JK di bidang penegakan hukum, kinerja HM Prasetyo jauh dari memuaskan. Jika kinerja Jaksa Agung buruk maka akan berdampak serius pada menurunnya kepercayaan publik terhadap Pemerintahan Jokowi. Begitu juga sebaliknya, citra pemerintah akan menjadi positif dimata publik apabila kinerja Jaksa Agung juga baik dan memuaskan.
Baru-baru ini nama HM Prasetyo bahkan disebut oleh Evy Susanti dalam persidangan suap Hakim PTUN Medan Syamsir Rusfan, sebagai pihak yang terlibat dalam pengamanan perkara suap yang menjerat Gubernur Sumatera Utara Non-Aktif, Gatot Pujo. Dugaan keterlibatan ini sepatutnya menjadi penanda bahaya, bahwa sudah saatnya Jaksa Agung HM Prasetyo diganti.
Sebelum membahas lebih jauh mengenai penilaian atas kerja Jaksa Agung HM Prasetyo, perlu pula diingat bahwa proses penunjukan yang bersangkutan oleh Presiden Joko Widodo juga menuai kritik. HM Prasetyo adalah politisi Partai Nasdem, dan telah lebih dahulu terpilih sebagai anggota DPR RI, sebelum akhirnya ditunjuk sebagai Jaksa Agung oleh Presiden Joko Widodo.
Proses penunjukannya juga dilakukan tanpa melibatkan PPATK dan KPK, sebagaimana yang dilakukan oleh Jokowi-JK ketika memilih anggota Kabinet Kerja. Selain itu, Jokowi juga dianggap ingkar janji karena pernah menyatakan tidak akan memilih figur Jaksa Agung yang berasal dari politisi partai politik. Namun faktanya justru sebaliknya Jokowi menunjuk dan melantik HM Prasetyo.
Reformasi Kejaksaan
Performa Jaksa Penuntut Umum (JPU) di persidangan patut mendapatkan sorotan. Berdasarkan pemantauan MaPPI pada 2014, ditemukan ada 199 penyimpangan dari 392 persidangan yang dipantau. Artinya, ada 50,8 % persidangan yang di dalamnya Jaksa-Jaksa melakukan pelanggaran baik secara etik maupun pelaksanaan hukum acara pidana.
Contoh pelanggaran tersebut antara lain, ketika persidangan sudah dimulai, pihak Terdakwa sama sekali tindak mendapatkan salinan surat Dakwaan serta berkas perkaranya. Dari hasil pemantauan yang dilakukan, terdapat 44 pelanggaran terhadap 95 kasus yang dipantau pada proses pembacaan surat dakwaan. Padahal jika mengacu pada ketentuan 143 ayat (4) KUHAP, sudah jelas mengatur bahwa Penuntut Umum wajib memberikan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan kepada Tersangka atau pihak penasehat hukumnya
Kedua, Keterbatasan anggaran penanganan perkara di Kejaksaan membuat penuntutan menjadi tidak maksimal. Dalam laporan tahunan Kejaksaan RI 2011, Kejaksaan menganggarkan 10.100 kasus tidak pidana umum (pidum) yang akan dituntut. Uniknya, Kejaksaan dapat menuntut sebanyak 96.488 kasus atau 955.32% dari anggaran yang tersedia. Fakta ini perlu dikritisi untuk memperjelas sumber pendanaan 86.388 perkara yang tidak dianggarkan. Untuk mengatasinya, Kejaksaan kemudian menambah jumlah perkara yang dianggarkan. Hal ini dapat dilihat di laporan tahunan Kejaksaan tahun 2012, Kejaksaan menaikan jumlah perkara yang ditangani menjadi 112.422 perkara, 102.322 lebih banyak dari perkara yang dianggarkan pada tahun 2011.
Oleh karena keterbatasan anggaran negara, Kejaksaan menyiasatinya dengan mengurangi besaran anggaran per perkara. Jika pada tahun 2011, diberikan Rp. 29,5 juta per perkara, maka pada tahun 2012 berkurang menjadi Rp. 5.8 juta per perkara, dan kembali mengalami pengurangan menjadi Rp. 3.3 juta pada tahun 2013. Akibatnya, sejumlah jaksa mengeluhkan besaran anggaran yang tidak mencukupi untuk menyelesaikan suatu perkara, terutama di wilayah-wilayah terpencil yang membutuhkan biaya transportasi yang besar. Kejaksaan sendiri mengakui bahwa minimnya anggaran penanganan perkara menjadi salah satu penyebab praktik korupsi.
Penuntasan Pelanggaran HAM Masa Lalu
Berdasarkan pemantauan KontraS setidaknya ditemukan 3 (tiga) persoalan yang menunjukkan Kejaksaan dibawah kepemimpinan Jaksa Agung HM Prasetyo gagal menjalankan fungsinya dalam upaya penegakan hukum dan HAM. Pertama, penyidikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang tidak dilakukan oleh Jaksa Agung. Selama 13 tahun (2002-2015), Jaksa Agung tidak pernah mau melakukan penyidikan atas 7 berkas perkara pelanggaran HAM berat yang telah selesai diselidiki oleh Komnas HAM. Jaksa Agung selalu mengembalikan berkas penyelidikan Komnas HAM dengan berbagai macam alasan yang berubah-ubah, dan alasan yang digunakan bertentangan dengan sejumlah undang-undang serta putusan Mahkamah Konstitusi.
Kedua, Jaksa Agung HM Prasetyo melakukan penyalahgunaan wewenang dengan membentuk tim kasus masa lalu untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat melalui rekonsiliasi atau proses penyelesaian di luar hukum. Tindakan Jaksa Agung tersebut bertentangan dengan tugas dan wewenang Kejaksaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI jo. Pasal 21 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Selain itu, HM Prasetyo juga melanggar sumpah Jaksa Agung untuk “senantiasa menegakkan hukum dan keadilan”.
Ketiga, inkonsistensi penegakan hukum dengan terus dilakukannya penerapan pidana mati terhadap terpidana kasus narkotika oleh Kejaksaan Agung. Hal ini tentunya telah mengesampingkan prinsip supremasi hukum di Indonesia. Berkaca pada kasus eksekusi mati gelombang I dan II yang telah dilakukan Januari dan April 2015 lalu, tidak ada mekanisme koreksi dan ruang evaluasi yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung seperti misalnya terkait dengan ruang transparan bagi terpidana mati, tim kuasa hukum maupun publik untuk mendapatkan keterangan yang valid tentang proses hukum dari ke-16 terpidana mati tersebut.
Keempat, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, Pasal 30 ayat (1) huruf e UU Nomor 16 Tahun 2004 mengatur bahwa setelah P-21 , Penuntut umum dalam rangka melakukan penentuan sikap atas suatu berkas perkara sebenarnya mempunyai wewenang untuk melakukan suatu pemeriksan tambahan atas hasil penyidikan. Tujuan dari adanya pemeriksaan tambahan ialah agar memastikan bahwa penyidikan yang dilakukan oleh penyidik telah dilakukan sesuai hukum dan mempunyai kekuatan pembuktian yang cukup untuk membuktikan di persidangan.
Dalam monitoring KontraS, Kejaksaan Agung tidak pernah memberikan akses hukum yang adil bagi terpidana mati, seperti tidak adanya akses hukum yang memadai bagi terpidana, termasuk akses bantuan hukum bagi terpidana miskin, tidak diberikannya penterjemah tersumpah khususnya bagi terpidana yang merupakan warga Negara asing, keterlambatan menginformasikan pihak Kedutaan Besar, hingga mengeksekusi mati terpidana yang mengalami kelainan jiwa. Inkonsistensi Kejaksaan Agung juga dibuktikan dengan minimnya informasi tentang pelaksaan eksekusi mati yang diberikan terhadap terpidana mati dan kuasa hukumnya sehingga berakibat pada peliknya proses hukum yang tengah diproses oleh setiap terpidana, baik melalui Peninjauan Kembali [PK], uji materil konsep grasi dan upaya-upaya hukum lainnya yang masih potensial dilakukan oleh seluruh terpidana mati.
Pemberantasan Korupsi
Dalam catatan Indonesia Corruption Watch, kinerja jajaran kejaksaan dibawah Jaksa Agung HM Prasetyo dalam upaya pemberantasan korupsi dan reformasi birokrasi di internal Kejaksaan sangat tidak memuaskan. Penilaian ketidakpuasan ini didasari pada sejumlah indikator.
Pertama, tidak terpenuhinya pencapaian pelaksanaan Strategi Nasional Percepatan Pemberantasan Korupsi (Stranas PPK) yang tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi 2015.Dari 17 poin atau pekerjaan rumah dalam Stranas PPK yang berkaitan langsung dengan kerja Kejaksaan Republik Indonesia, dalam pantauan ICW belum ada poin dalam Stranas PPK yang dipenuhi secara memuaskkan oleh Kejaksaan Republik Indonesia. Mayoritas atau 12 pekerjaan rumah Kejaksaan dalam pelaksanaan Inpres 7 Tahun 2015 adalah dalam status belum sepenuhnya berjalan. Sebanyak 5 pekerjaan lainnya tidak jelas perkembangannya (Terlampir).
Dalam poin-poin pada Stranas PPK 2015, terlihat jelas bahwa Pemerintahan Jokowi-JK berorientasi pada pencegahan dan pembenahan sistem, termasuk untuk Kejaksaan Republik Indonesia. Dalam konteks ini, perbaikan sistem berbasis teknologi informasi menjadi sangat krusial untuk Kejaksaan Republik Indonesia, namun platform berbasis teknologi informasi yang ada di laman resmi Kejaksaan Agung sekarang, sesungguhnya sudah dikembangkan sejak sebelum era kepemimpinan Jaksa Agung HM. Prasetyo.
Kedua, tunggakan eksekusi Aset Yayasan Supersemar dan Piutang Uang Pengganti Hasil Korupsi. Putusan Mahkamah Agung terkait perkara perdata Aset Yayasan Supersemar milik keluarga Soeharto sudah keluar sejak September 2015, namun hingga saat ini eksekusi atas aset Yayasan Supersemar sebesar Rp 4,4 triliun belum juga dilakukan. Selain itu, bedasarkan data BPK tahun 2014, Kejaksaan Republik Indonesia masih memiliki piutang uang pengganti sebesar Rp11.880.833.623.374,80, US$ 215,762,042.30, dan Sin$ 34,951.6 yang belum dieksekusi dari putusan uang pengganti perkara tindak pidana korupsi. Padahal dalam Inpres 7 Tahun 2015, kejaksaan memiliki target tersetorkannya minimal 80% uang pengganti dari perkara tindak pidana korupsi yang diputus oleh pengadilan (inkcraht) ke kas negara.
Ketiga, kerja jajaran kejaksaan dan Satgassus Kejaksaan Agung tidak maksimal dalam penanganan perkara korupsi. Di awal pembentukannya, Satuan Tugas Khusus Penanganan Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Korupsi (Satgassus Tipikor) diliputi harapan besar sebagai tandem KPK dalam menyelesaikan penanganan perkara korupsi. Berdasarkan penelusuran media, per April 2015, Satgassus Kejaksaan Agung mengklaim telah menyidik 102 kasus korupsi, baik dari perkara mangkrak pada 2014 maupun perkara baru tahun 2015.
Namun jumlah yang disampaikan tersebut terkesan masih sebatas pencapaian secara kuantitas karena secara kualitas tidak banyak perkara korupsi high profile yang berhasil digarap Satgassus Tipikor ini. Belum ada satupun perkara korupsi kakap yang dihentikan (SP3) kemudian dibuka kembali oleh Kejaksaan. Beberapa perkara yang digadang-gadang akan diselesaikan oleh tim ini adalah korupsi UPS DKI Jakarta, namun perkembangan penanganan perkara tersebut belum juga tuntas hingga sekarang. Penanganan kasus korupsi penyalahgunaan dana Bansos di Provinsi Sumatera Utara justru menjadi tidak jelas sejak ditangani oleh Kejaksaan Agung karena tidak ada satupun tersangka yang ditetapkan dalam perkara ini. Adapun perkara korupsi yang berhasil diselesaikan oleh Satgassus Tipikor ini, sebagian besar merupakan perkara korupsi di tingkat daerah, dan salah satu yang menarik perhatian publik adalah perkara korupsi Trans Jakarta yang menjerat Udar Pristono, mantan Kadis Perhubungan DKI Jakarta.
Langkah penyidikan Kejaksaan kandas dalam dua sidang pra peradilan yang diajukan oleh Dahlan Iskan dan Victoria Securities Indonesia. Pada tahun 2015, Kejaksaan menghentikan kasus korupsi kakap seperti kasus pengadaan 5 Unit mobil pemadam kebakaran (damkar) di PT Angkasa Pura senilai Rp 63 miliar, kasus dana hibah APBD Bantul yang melibatkan Idham Samawi, politisi PDI P dan kasus kepemilikan “rekening gendut” 10 kepala daerah berdasarkan temuan PPATK akhir 2014 lalu.
Dalam penanganan kasus korupsi Kejaksaan juga belum sepenuhnya menjalankan mandat dalam Program Nawa Cita Jokowi JK. Salah satu program Prioritas dalam Nawa Cita yang bersinggungang langsung dengan tugas dan fungsi Kejaksaan adalah memprioritaskan penenanganan kasus korupsi di sektor penegakan hukum, politik, pajak, bea cukai dan industri SDA. Meskipun dalam laporan tahunan Kejaksaan Agung tahun 2014 sektor penegakan hukum, politik, pajak dan bea cukai sudah menjadi prioritas namun kenyataannya tidak tergambar dengan jelas prestasi penindakan disetiap sektor prioritas. Meskipun statistik penindakan pemberantasan korupsi cukup tinggi namun tak ada laporan yang spesifik dapat menjelaskan kinerja kejaksaan untuk prioritas sektor. Hal yang perlu digarisbawahi adalah industri SDA belum menjadi prioritas sektor yang penting untuk diperhatikan.
Keempat, reformasi birokrasi Kejaksaan yang belum berjalan. Salah satu mandat dalam Inpres 7 Tahun 2015 dan Program Nawacita untuk dilaksanakan oleh Kejaksaan adalah Melakukan lelang jabatan strategis pada lembaga penegak hukum dan pembentukan regulasi tentang penataan aparat penegak hukum. Namun hingga kini pengisian jabatan-jabatan strategis ditubuh Kejaksaan belum dilakukan dengan proses lelang. Dalam beberapa proses rotasi jabatan tidak dilakukan dengan proses lelang. Dalam surat Keputusan Jaksa Agung No: Kep-074/A/JA/05/2014 tanggal 13 Mei 2015 ada 16 pejabat eselon II dan III yang akan dirotasi. Begitu pula dengan Bayu Adhinugroho yang ditunjuk debagai koordinator Kejaksaan Tinggi DKI. Bayu Adhinugroho adalah anak dari Jaksa Agung H.M Prasetyo. Bersama Bayu ada 74 pejabat eselon III yang akan dirotasi. Yang teranyar, kabar pergantian Jaksa Agung Muda Pidana Khusus yang juga tak dilakukan melalui proses lelang.
Kelima, penarikan Jaksa Yudi Kristiana secara tiba-tiba ketika menangani perkara yang melibatkan Patrice Rio Capella. Penarikan ini justru memperkuat dugaan keterlibatan Jaksa Agung dalam perkara tersebut, terutama karena masa tugas Yudi Kristiana baru berakhir pada 2019. Hal ini tidak bisa dianggap sebagai hal biasa, karena penarikan dan promosi jabatan yang diberikan kepadanya, dilakukan saat Yudi Kristiana sedang menangani perkara suap yang melibatkan Gubernur Non Aktif Sumatera Utara Gatot Puji, dan Politisi Partai Nasdem Patrice Rio Capella.
Jika Kejaksaan Agung mendukung upaya pemberantasan korupsi, perbuatan seperti ini tidak patut dilakukan, terutama karena besarnya konflik kepentingan yang muncul dari penarikan ini. Penarikan Jaksa Yudi Kristiana, menjadi representasi wajah Pemerintah pula dalam hal pemberantasan korupsi, sehingga dapat dikatakan bahwa Pemerintah tidaksupportive terhadap upaya pemberantasan korupsi.
Persoalan lain yang muncul dari institusi Kejaksaan adalah tidak transparannya informasi mengenai seluruh perkara korupsi yang ditangani oleh institusi tersebut. Informasi penanganan perkara korupsi di Kepolisian dan Kejaksaan selama ini sebatas angka statistik tanpa penjelasan yang memadai. Sifat tertutup ini tentu saja menyulitkan publik untuk melakukan pengawasan dan penilaian secara objektif terhadap kasus korupsi yang ditangani oleh Kejaksaan. Permintaan informasi penanganan perkara korupsi yang diajukan oleh ICW pada akhir September 2015 lalu hingga saat ini belum dipenuhi oleh kedua institusi penegak hukum tersebut.
Berdasarkan catatan-catatan tersebut, maka Koalisi Pemantau Peradilan menyatakan bahwa kinerja Kejaksaan masih perlu adanya perbaikan di berbagai sektor. Oleh karena itu, kami meminta Presiden Jokowi untuk mengganti Jaksa Agung dengan kriteria-kriteria sebagai berikut,
1. Jaksa Agung yang memiliki rekam jejak bersih dan bebas dari kepentingan politik
2. Jaksa Agung yang berkompeten dan memiliki visi dalam pemberantasan korupsi
3. Jaksa Agung yang dapat memperbaiki sistem SDM Kejaksaan, khususnya dapat membuat sistem penilaian kinerja menjadi tolak ukur promosi dan mutasi
4. Jaksa Agung yang dapat memperbaiki sistem anggaran penanganan perkara di kejaksaan
5. Jaksa Agung yang memiliki komitmen dalam penegakan hukum dan HAM
Koalisi Pemantau Peradilan
MaPPI FH UI, PSHK, YLBHI, ICW, KontraS