Presiden Tidak Tutup Kemungkinan Koruptor Dihukum Mati
Selain merata di berbagai daerah, korupsi ternyata juga menjangkiti sejumlah lembaga negara, termasuk badan usaha milik negara. Karena itu, pemberantasan korupsi harus dimulai pemerintah dengan pembersihan di birokrasi. Caranya, menempatkan orang muda yang jujur.
Dari penelusuran data dan pemberitaan Kompas, selama Januari-Juli 2008, korupsi yang terjadi di instansi pemerintahan di pusat juga melibatkan sejumlah aparat birokrasi di daerah. ”Karena itu, pemerintah harus mulai dengan pembersihan di birokrasi,” ujar Budayawan Mudji Sutrisno di Jakarta, Senin (21/8).
Ia juga meminta pimpinan di segala level memberikan contoh dalam mewujudkan kejujuran dalam menjalankan tugas dan wewenang. Kejujuran dan pilihan moral, seperti mana yang baik dan buruk, mana kepentingan diri sendiri dan kepentingan publik, selama ini luntur dan dilemahkan oleh struktur dan kultur yang terbangun di birokrasi.
Untuk jangka panjang, lanjut Mudji, pendidikan moral dan kejujuran penting ditekankan dalam dunia pendidikan dan keluarga. Anak harus dididik untuk membedakan mana barang milik orang lain dan miliknya sendiri.
Seperti berburu nyamuk
Secara terpisah, dosen Universitas Airlangga, Surabaya Daniel Sparringa menuturkan, maraknya korupsi yang dilakukan pejabat eksekutif, yudikatif, dan legislatif tak bisa dilihat hanya dari satu faktor. Banyak faktor yang mempengaruhi mengapa korupsi banyak dilakukan pejabat.
”Semua perkara korupsi besar tak bisa dijelaskan dari satu faktor, tetapi banyak faktor yang menjadi penyebabnya. Pertama, faktor yang melekat dalam birokrasi kita, seperti tak berfungsinya pengawasan keuangan maupun tidak optimalnya sistem insentif dan disinsentif dalam birokrasi. Orang dipromosi atau dimutasi tidak dengan ukuran yang jelas,” kata Daniel.
Selain itu, lanjut Daniel, kalau ada pejabat yang dibawa ke pengadilan, mereka masih memiliki persepsi, polisi, jaksa, bahkan hakim bisa disuap. ”Dalam kalkulasi itu, semua tindakan pemberantasan korupsi akan menjadi tidak efektif bilamana birokrasi negara masih tak bisa membedakan mana orang yang berdedikasi tinggi, loyal, dan yang malas,” katanya.
Daniel menilai, masyarakat juga memberi andil. ”Masyarakat kita sekarang sangat berubah. Jika dulu ada orang yang melakukan korupsi, itu bisa menjadi perguncingan di masyarakat. Sekarang masyarakat permisif dan kesuksesan diukur dari materi. Tidak dipersoalkan darimana datangnya kekayaan itu,” katanya.
Ia mengatakan, tindakan pemberantasan korupsi yang dilakukan sekarang ini telah membawa bangsa Indonesia di jalan yang benar. Tetapi yang masih kurang adalah ukuran efek jeranya yang kurang jelas. Jika pemerintah serius memberantas korupsi harus dimulai dengan membangun penjara baru.
Menurut Daniel, saking banyaknya koruptor di Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kalau diibaratkan sebagai regu tembak, tetap bisa menembak dan pasti kena, meski matanya ditutup.
Guru Besar Ilmu Sosial Unair, Soetandyo Wignyosoebroto menegaskan, korupsi terjadi karena terbukanya kesempatan dan sistem kontrol keuangan. Berburu koruptor saat ini masih seperti berburu nyamuk, belum sampai memberantas demam berdarah atau malaria. Belum dicari penyebabnya. Tetapi, bukan berarti berburu nyamuk tidak penting.
Soetandyo mengatakan, dalam birokrasi Indonesia juga masih terdapat nilai lama, seperti orang di pemerintahan boleh memperoleh pendapatan dari posisinya. ”Contohnya, dulu dikenal dengan nama lungguh. Orang yang menjabat tak menerima gaji dari raja, tetapi boleh mendapatkan lungguh-nya. Nilai lama seperti menerima sesuatu dari jabatannya, itu oke-oke saja,” katanya.
Wacanakan hukuman mati
Di Jakarta, Senin, Wakil Presiden M Jusuf Kalla, menegaskan, pemerintah telah berupaya maksimal melakukan pemberantasan korupsi. Upaya itu terbukti dengan kian besarnya kasus korupsi yang terungkap oleh aparat hukum, di antaranya oleh KPK.
Wapres juga mengakui, cakupan tindakan korupsi semakin luas pula, seperti terkait gratifikasi. ”Upaya pemerintah sudah maksimal. Lihat saja, mana ada negara di dunia, yang bukan hanya mantan menteri, kepala daerah, Kepala Polri, tetapi juga anggota DPR masuk penjara karena itu,” ujarnya.
Saat ditanya perlunya hukuman mati terhadap koruptor untuk menjerakan, seperti di China, Kalla tidak sependapat. Menurutnya pelaku korupsi cukup hukuman seumur hidup, ditambah pengembalian aset dan harta hasil korupsi ke negara sehingga kerugian negara bisa dikembalikan. Sanksi bisa diterapkan.
Dalam Musyawarah Nasional Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) di Nusa Dua, Bali, Minggu, Wapres juga mengakui, sebenarnya korupsi di negeri ini sudah berkurang jumlahnya. Tetapi, cakupannya kini semakin luas.
Ia juga mengakui, korupsi terjadi karena ada kesempatan. ”Siapa yang mengira awalnya para akademisi itu orang yang jujur. Tetapi, saat ada kesempatan, kejujurannya tidak ada lagi,” katanya lagi.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, melalui Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng Senin, juga mengemukakan, maraknya korupsi yang terungkap membuktikan makin gencarnya upaya pemerintah dan KPK untuk memberantas korupsi. Untuk menimbulkan efek jera, dipertimbangkan untuk memperkuat undang-undang (UU) korupsi.
”Kita ikuti wacana hukuman mati untuk koruptor. Presiden pada posisi mengikuti UU yang ada, memperbaikinya, memperkuatnya. Prinsipnya, salah kecil hukuman kecil, salah sedang hukuman sedang, dan salah besar hukuman besar,” ujar Andi.
Presiden, kata Andi, tak mentutup kemungkinan dijatuhkannya hukuman maksimal, berupa hukuman mati kepada koruptor. Karena hukum di Indonesia masih menganut hukuman mati.
”Wajar saja ada wacana hukuman mati. Lebih baik ini menjadi wacana di masyarakat dan ada legislasi di DPR. UU masih menganut hukuman mati. Jenis kejahatan apa yang patut dikenai hukuman mati, mari jadikan wacana di antara rakyat,” ujarnya.
Meskipun bukan satu-satunya faktor pembuat jera, Andi mengemukakan, besarnya hukuman akan mempengaruhi tindakan seseorang. Orang akan cenderung tidak melanggar aturan, jika ancaman atau kerugian yang akan ditanggung besar.
Andi juga memperkirakan kasus korupsi yang muncul di media massa akan terus memuncak sesuai kecenderungan kurvanya. Kurva itu akan turun jika terbentuk tata kelola pemerintahan yang baik dan kuatnya penegakan hukum. (inu/har/vin/fer/tra)
Sumber: Kompas, 22 Juli 2008