Prioritaskan Dana Kompensasi BBM untuk Guru
Pemerintah diminta memprioritaskan dana kompensasi bahan bakar minyak (BBM) untuk meningkatkan kesejahteraan guru. Di sisi lain, Depdiknas usulkan ke DPR dana itu langsung diterima siswa.
Pemerintah merencanakan alokasi dana kompensasi kenaikan harga BBM untuk sektor pendidikan itu Rp5,6 triliun dalam APBN 2005.
''Rencana pemerintah memberikan tambahan anggaran bagi sektor pendidikan yang semula Rp1,3 triliun menjadi Rp5,6 triliun melalui APBN perubahan 2005 merupakan kebijakan yang positif. Jika mengikuti peraturan, sektor pendidikan seharusnya menerima Rp80 triliun dari total APBN,'' kata pengamat pendidikan Ki Supriyoko di Jakarta, kemarin.
Ketua Dewan Luhur Perguruan Taman Siswa Yogyakarta itu mengatakan sudah saatnya pemerintah memberikan perhatian terhadap nasib empat juta guru di Indonesia.
''Nasib dan kesejahteraan guru di Indonesia masih memprihatinkan, meski memang banyak persoalan di dunia pendidikan yang juga membutuhkan perhatian seperti perbaikan gedung rusak, wajib belajar sembilan tahun dan sebagainya,'' katanya.
Ia mengharapkan agar pemerintah menerapkan skala prioritas untuk penggunaan dana kompensasi tersebut, sehingga masalah guru menjadi salah satu prioritas perhatian pemerintah.
Demikian juga, ujar Supriyoko, ada peluang dana kompensasi itu akan digunakan bagi penuntasan wajib belajar (wajar) 9 tahun. ''Penuntasan wajar kalau menggunakan dana kompensasi pun, masih jauh dari cukup sebab rata-rata biaya satu siswa SD per tahun Rp2 juta. Jumlah siswa SD/madrasah ibtidaiah (MI) di Indonesia 29 juta siswa.
Mengenai mekanisme pengawasan untuk penggunaan dana kompensasi itu, Ki Surpriyoko mengatakan, dengan melibatkan masyarakat, yakni misalnya melalui dewan pendidikan, komite sekolah, dan orang tua murid.
Untuk menghindari kemungkinan terjadinya 'main mata' dalam penyaluran dana tersebut pemerintah harus secara transparan mengumumkan besarnya anggaran dan alokasinya.
Sementara itu, Mendiknas Bambang Sudibyo mengatakan, penyaluran dana kompensasi BBM untuk sektor pendidikan senilai Rp5,6 triliun akan dilakukan secara transparan dan tepat sasaran. Dana tersebut diperuntukkan bagi beasiswa 9,6 juta siswa SD, SLTP, dan SLTA.
Mendiknas mengakui mekanisme penyaluran dana kompensasi itu hingga kini belum ditentukan, karena masih dibahas pemerintah bersama dan DPR, tetapi yang jelas akan transparan dan tepat sasaran.
Jumlah dana kompensasi untuk pendidikan paling besar dibandingkan dana kompensasi untuk sektor lain, misalnya, untuk bantuan beras bagi 8,6 juta keluarga miskin yang hanya Rp5,4 triliun.
Total dana kompensasi BBM ditetapkan Rp17,8 triliun yang akan dicantumkan dalam revisi APBN 2005 dan diajukan ke DPR pada awal April 2005.
Dalam kaitan ini, Sekjen Depdiknas Baedowi mengatakan Depdiknas mengusulkan ke DPR, agar dana kompensasi BBM yang diberikan untuk beasiswa hendaknya dikirim langsung kepada siswa yang menerima.
Baedowi mengatakan, Depdiknas saat ini mengusulkan jumlah beasiswa untuk anak SD Rp25.000/anak per bulan, untuk siswa SLTP Rp65.000/anak per bulan, untuk siswa SLTA Rp120.000/anak per bulan.
Dasar perhitungan jumlah itu, kata Baedowi, berdasarkan data yang dikeluarkan oleh BPS tentang jumlah rata-rata dana yang dikeluarkan oleh orang tua dalam membiayai sekolah anaknya.
Ia mengakui, jumlah itu tentu saja tidak sama antara satu daerah dan daerah lainnya. ''Jadi, apakah jumlah itu akan disesuaikan dengan daerah kita nanti saja hasil pembahasan di kabinet,'' kata Baedowi.
Menyinggung soal pengiriman langsung dana kepada siswa, ia mengatakan, cara itu dianggap lebih efektif. Sebab bila dilakukan melalui sekolah, sering tidak utuh diterima siswa karena digunakan untuk keperluan sekolah. Akan tetapi, bila diterima langsung juga ada kelemahannya, terutama untuk daerah terpencil. ''Apa bisa anak kelas 4 SD mengambil sendiri ke kantor pos?'' tanya Baedowi.
Selain itu uang yang diterima sering kali melenceng dari peruntukan, bukan untuk keperluan sekolah, tapi dipergunakan untuk keperluan lain seperti untuk makan sehari-hari. (Hru/B-5)
Sumber: Media Indonesia, 1 Maret 2005