Problematik Penanganan Illegal Logging
Andai negara Indonesia ini bebas dari korupsi, bebas dari pembobolan bank, bebas dari penyelundupan dan bebas dari tindak pidana illegal logging dapat dibayangkan kekayaan dan keuangan negara tersebut tentunya dapat digunakan untuk memakmurkan rakyat. TIdak pula dibebani dengan pembayaran utang luar negeri yang semakin mencekik dan memberatkan kehidupan bangsa. Sampai saat sekarang masih dapat kita rasakan dampak dari pada krisis ekonomi yang berkepanjangan. Tentu sudah menjadi tekad dari pemerintahan SBY-YK untuk segera keluar dari krisis ekonomi tersebut, dan untuk segera keluar dari sebutan negara terkorup di Asia.
Di antara tindak pidana yang sangat merugikan keuangan dan perekonomian negara adalah illegal logging, pencurian hutan secara besar-besaran. Kerugian yang ditimbulkan dari tindak pidana mencapai triliunan rupiah, uang negara yang sebetulnya untuk kesejahteraan rakyat melayang ke kantong pribadi cukong-cukong kayu gelap. Mereka sangat cerdik memanfaatkan kelemahan situasi dan kondisi yang ada baik di tingkat petugas maupun perangkat hukum yang ada. Dalam pertemuan Concultative Group on Indonesia (CGI) yang diselenggarakan pada tahun 2003 per tahunnya Indonesia mengalami kerugian 670 juta dolar AS akibat illegal logging, hal ini belum termasuk kerugian sumber daya alam keanekaragaman species hayati. Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia dikaruniai Tuhan sumber daya hutan tropis yang lebat serta berfungsi sebagai paru-paru dunia. Negara yang mempunyai hutan tropis di dunia tidak banyak yaitu Brasilia, Zaire dan Indonesia, dengan demikian masyarakat dunia ingin ikut menjaga kelestarian hutan tersebut.
Penyebab terjadinya illegal logging di samping adanya industrialisasi kehutanan pada tahun 1980 juga karena kemiskinan masyarakat lokal. Akibat adanya industrialisasi yang dilakukan secara besar-besaran menyebabkan jumlah permintaan dan penawaran menjadi tidak seimbang, sehingga kondisi ini menjadi sebab terjadi perambahan hutan secara besar-besaran yang melibatkan cukong dan masyarakat lokal. iIlegal logging dapat berupa penebangan hutan di luar kawasan yang telah ditentukan, penebangan oleh mereka yang tidak berhak, penebangan terhadap pohon yang dilarang serta bisa juga merupakan tindakan pengangkutan dan pemrosesan kayu ilegal. Hasil kayu curian tersebut bisa diselundupkan ke luar negeri yaitu melalui perbatasan Indonesia dan Malaysia di mana para cukong sudah siap untuk membeli, maupun diperuntukkan untuk konsumsi dalam negeri.
illegal logging sampai saat sekarang menjadi suatu permasalahan yang sulit untuk diberantas dan hampir terjadi seluruh dunia, dan yang paling parah banyak dilakukan di kawasan Asia Pasifik, Benua Afrika, Asean dan Indonesia termasuk salah satu sasaran operasi illegal logging yang mempunyai jaringan sindikat dalam skala internasional. Kayu hasil curian tersebut banyak diekspor ke luar negeri, dan ternyata kembali diekspor negara-negara tersebut ke Indonesia dalam bentuk kayu olahan. Praktik illegal logging dapat berdampak multidimensi karena menyangkut beberapa aspek seperti sosial, budaya, ekonomi dan ekologi.
Permasalahan mendasar yang dihadapi bagi penegak hukum dalam memberantas illegal logging disebabkan illegal logging termasuk dalam kategori kejahatan yang terorganisir, yaitu ada auctor intelectualnya, ada pelaku materialnya. Pelaku material bisa buruh penebang kayu yang hanya diupah, pemilik modal (cukong), pembeli, penjual dan acapkali ada backing dari oknum TNI atau Polri, aparat pemerintah maupun tokoh masyarakat. Di antara mereka selalu bekerja sama secara rapi, teratur dan solid. Mengingat disinyalir ada yang membackingi maka praktikillegal logging> sangat sulit diberantas, dan kalaupun ditemukan kasusnya yang dipidana bukan auctor intelectual atau cukong, hanya pelaku biasa seperti penebang kayu, pengemudi, atau nahkoda kapal yang menjalankan kendaraannya. Pelaku sebenarnya sudah kabur duluan sebelum petugas penegak hukum dapat menangkapnya.
Fakta seperti ini yang terlihat bahwa penanganan praktik illegal logging tidak bisa selesai dengan tuntas. Seperti keluhan Menteri Kehutanan yang menganggap Kejaksaan Agung sangat lambat dalam hal menangani illegal logging yang telah dilaporkan kepadanya. dari 20 kasus illegal logging yang melibatkan 20 cukong, yang bisa ditangani oleh Kejaksaan Agung adalah 5 kasus, yang lainnya datanya dinyatakan tidak lengkap dan alamatnya fiktif sehingga sulit untuk melacak para cukong tersebut. Kalau aparat penegak hukum saja kesulitan untuk mengungkap kasus illegal logging , terus siapakah yang akan diberi mandat untuk menanganinya? Sudah menjadi suatu kodrat bahwa kejahatan selalu berkembang lebih dahulu dibandingkan dengan perangkat hukum. Meskipun kita sering tertinggal dengan kejahatan bukan berarti kita terus menyerah, berbagai upaya hukum harus ditempuh untuk menuntaskan kasus illegal logging. Hemat kami perangkat hukum yang ada sudah cukup memadai, yaitu sudah ada KUHP, UU Lingkungan Hidup, UU Kehutanan, Perpu belum lagi Instruksi, Kepmen dan seterusnya, yang penting bagaimana mensintesakan berbagai peraturan hukum, memberdayakan seluruh aparat penegak hukum yang terlibat dalam pemberantasan illegal logging , melakukan koordinasi dalam satu komando penegakan hukum.
Kompleksitas penanganan illegal logging juga disebabkan adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan dan permintaan akan kayu guna kepentingan industri luar negeri seperti Malaysia, Korea, Thailand, Cina. Permintaan yang tinggi terhadap kayu dapat menjadi salah satu faktor pemicu yang sangat potensial dan penyalurannya melalui pasar gelap (black market). Penyalahgunaan dokumen Surat Keterangan Sahnya hasil Hutan, kegiatan ini dilakukan sebagai salah satu upaya untuk menghindari kewajiban pajak Provisi Sumber Daya Hutan dan Dana Reboisasi. Pelaku dalam kejahatan illegal logging dapat terdiri dari masyarakat setempat maupun pendatang, pemilik modal (cukong), pengusaha. Pelaku berperan sebagai fasilitator atau penadah hasil kayu curian, bahkan bisa juga menjadi auctor intelektual atau otak daripada pencurian kayu tersebut, pemilik industri kayu, nahkoda kapal, pengemudi, oknum pemerintah bisa berasal dari oknum TNI, Polri, PNS, Bea Cukai, oknum pemerintah daerah, oknum anggota DPRD, oknum politisi. Pelaku bisa terlibat dalam KKN dengan pengusaha dan/atau melakukan manipulasi kebijakan dalam pengelolaan hutan atau memberikan konsensi penebangan yang dapat menimbulkan kerusakan hutan, serta pengusaha asing, pelaku ini kebanyakan berperan sebagai pembeli atau penadah hasil kayu curian (Mabes Polri, 2003: 21).
Begitu luas dan banyak jaringan yang terlibat dalam illegal logging dan berbagai jenis modus operandi yang dilakukan tentu menambah pelik proses penegakan hukumnya. Belum lagi adanya berbagai tumpang tindihnya peraturan yang sering menimbulkan kontraversi, antara kebijakan pemerintah pusat dan daerah, terutama dalam hal pemberian konsensi penebangan sebagai akibat inkonsistensi perundang-undangan, serta misinterpretasi dapat menimbulkan permasalahan tersendiri. Mengingat kejahatan illegal logging menimbulkan kerugian terhadap keuangan dan perekonomian negara yang begitu besar dan kerusakan lingkungan yang begitu hebat, maka sangat sulit kalau dalam hal penegakan hukum kita menggunakan standar hukum biasa, illegal logging harus digolongkan dalam kategori kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime), dan bersifat trans nasional, maka tindakan hukum yang dilakukan harus juga bersifat luar biasa juga.
Pasal 77 Undang Undang 41 Tahun 1999 tentang kehutanan telah mengatur tentang proses penegakan hukum khususnya dalam hal mekanisme penyidikan dalam penanganan perkara pidana kehutanan, akan tetapi berdasarkan fakta bahwa kejahatan illegal logging yang begitu luas cakupannya dan modusnya semakin pelik, ketentuan tersebut kurang dapat diandalkan untuk memproses penegakan hukum khususnya dalam hal penanganan illegal logging . Untuk mengatasi persoalan ini perlu dikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Illegal Logging.
Model penegakan hukum dengan sistem komando dengan lebih meningkatkan koordinasi di antara aparat penegak hukum yang terlibat di dalam penanganan tindak pidana illegal logging merupakan salah satu langkah awal yang dapat ditempuh, selain melakukan inventarisasi akar masalah di lapangan, cakupan dan jaringan, maupun modus operandi pelaku harus dapat diinventarisir karena hal ini memudahkan untuk melakukan penangkapan dan melakukan langkah preventif terhadap penanggulangan untuk melakukan tindak pidana.
Hal yang tidak kalah pentingnya adalah biaya penanganan perkara dalam jumlah yang cukup memadai, bisa dibayangkan kalau yang menjadi tempat kejadian perkara adalah di tengah hutan maka dalam proses penyelidikan, penyidikan diperlukan sarana transportasi helikopter, belum lagi kalau pelakunya melarikan diri ke luar negeri, pencarian barang-barang bukti dan seterusnya. Kepada petugas penegak hukum yang menangani perlu dipikirkan untuk diberi reward berapa persen dari uang negara yang telah diselamatkan dan promosi. Reward dan promosi dimaksudkan untuk menghindari adanya godaan suap dari para cukonkg atau pelaku illegal logging.(Teguh Prasetyo SH MSi, Kandidat Doktor Ilmu Hukum UII Yogyakarta)
Tulisan ini diambil dari Kedaulatan Rakyat, 28 Maret 2005