Problematika Pengawasan Perda
"Berita tentang konsultasi raperda setidaknya merupakan praktik yang terjadi hampir di semua daerah, baik kabupaten/ kota maupun provinsi"
HARIAN ini (SM, 19/07/11) memberitakan bahwa Badan Legislasi DPRD Jateng akan mengonsultasikan Raperda tentang Pendidikan ke Mendagri Gamawan Fauzi guna menentukan nasib rancangan regulasi itu. Lebih lanjut diutarakan Ketua Badan Legislasi DPRD bahwa apabila tidak melanggar aturan di atasnya, maka raperda akan dilanjutkan prosesnya dengan membentuk pansus. Namun bila Mendagri menyatakan bertentangan dengan aturan di atasnya, maka penyusunan raperda itu harus dihentikan dan tidak bisa diproses lebih lanjut.
Berita tentang konsultasi raperda setidaknya merupakan praktik yang terjadi hampir di semua daerah baik kabupaten/ kota maupun provinsi. Praktik seperti ini memunculkan persoalan berkenaan dengan instrumen pengawasan perda yang dilakukan pemerintah pusat (c.q mendagri dan gubernur). Apakah tiap raperda wajib dikonsultasikan ke mendagri/gubernur? Apakah instrumen pengawasan raperda berupa ‘’konsultasi’’ dikenal dalam sistem pengawasan produk hukum daerah?
Norma pengawasan produk hukum daerah (termasuk raperda dan perda) diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 (terakhir diubah dengan UU Nomor 12 Tahun 2008) tentang Pemda, khususnya Pasal 145, 185, dan 186. Lebih lanjut diatur dalam PP Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan Permendagri Nomor 53 Tahun 2007 tentang Pengawasan Perda dan Peraturan Kepala Daerah.
Beranjak dari beberapa peraturan perundang-undangan tersebut, instrumen pengawasan raperda dan perda meliputi klarifikasi dan evaluasi.Sementara pengawasan represif (instrumen klarifikasi) ditujukan terhadap semua perda yang ditetapkan oleh kepala daerah dengan persetujuan DPRD.
Mengacu pada norma pengawasan raperda dan perda, praktik ‘’konsultasi’’ yang dilakukan oleh DPRD Jateng ke pemerintah pusat/ di atasnya (mendagri dan gubernur) tidak dikenal dalam sistem pengawasan Raperda dan Perda. Apalagi, jenis raperda yang dikonsultasikan oleh Badan Legislasi DPRD Jateng itu tidak termasuk dalam salah satu jenis raperda yang menurut perundang-undangan wajib dievaluasi, seperti raperda APBD, pajak dan retribusi daerah, serta tata ruang.
Seharusnya, Badan Legislasi tidak wajib melakukan konsultasi penyusunan perda, karena selain tidak dikenal adanya instrumen konsultasi raperda, juga akan menimbulkan komplikasi yuridis berupa konsistensi hasil pengawasan (baca: konsultasi) manakala raperda tersebut lolos dari konsultasi namun bermasalah saat dilakukan klarifikasi. DPRD (Badan Legislasi) Jawa Tengah, semestinya meneruskan pembahasan Raperda Pendidikan sampai tahapan persetujuan dan pengesahan oleh Gubernur.
Mekanisme Pengujian
Setelah tahap pengesahan dan pengundangan, baru diajukan ke pemerintah pusat (mendagri) untuk dilakukan klarifikasi. Manakala ada kekhawatiran kekurangan atau kelemahan yang bersifat formal dan material maka secara normatif ada instrumen pengujian perda, yaitu legislative review, executive review, dan judicial review. Ini berarti, sepanjang belum ada putusan bahwa sebuah perda bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi atau bertentangan dengan kepentingan umum maka tetap dinyatakan berlaku sah dan mengikat.
Problematika hukum lain berkenaan dengan pengawasan perda yaitu adanya fakta pembatalan perda-perda bermasalah dalam bentuk kepmendagri, sementara dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 dinyatakan dalam bentuk perpres. Kenyataan ini membawa konsekuensi bagi semua keputusan pembatalan perda yang telah dilakukan, dan daerah tidak dapat melakukan upaya hukum berupa judicial review ke MA, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004.
Dalam kondisi seperti ini, daerah dapat melakukan upaya hukum ke PTUN untuk menggugat keputusan mendagri yang membatalkan perda, dengan pertimbangan cacat formal atau cacat prosedural. Implikasi yuridis dari upaya hukum tersebut dapat berupa pembatalan keputusan mendagri oleh PTUN karena bertentangan dengan UU Nomor 32 Tahun 2004.
Karenanya, pemerintah pusat dan pemerintahan daerah (provinsi, kabupaten/Kota) mesti menempatkan segala aktivitas penyelenggaraan pemerintahan dalam kerangka perundang-undangan yang berlaku. Secara konstitusional, daerah telah diberikan otonomi, termasuk dalam hal pembentukan peraturan perundang-undangan (pembentukan perda). (10)
Umbu Rauta SH MH, dosen Hukum Tata Negara dan Otda Fakultas Hukum UKSW Salatiga
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 17 September 2011