Prospek Penyelesaian Kasus BLBI Suram
Kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang menggantung hampir 10 tahun dan merugikan negara hingga ratusan triliun rupiah diprediksi akan sulit dituntaskan hingga tahun depan.
Sejumlah pihak yang terlibat dalam penyaluran dana tersebut saat ini justru sedang memegang tampuk kekuasaan negara.
Demikian diungkapkan Ketua Umum Pergerakan Indonesia Faisal Basri dalam diskusi Proyeksi dan Tantangan Pemberantasan Korupsi: Quo Vadis BLBI?, Rabu (26/12). Dana yang sebenarnya disalurkan untuk penyehatan perbankan nasional akibat krisis moneter justru diselewengkan para penerimanya untuk menyelamatkan bisnisnya sendiri-sendiri.
Sejumlah obligor dan konglomerat hitam memang sudah melunasi kewajibannya. Hingga kini juga tidak ada satu bank swasta pun yang mampu dipertahankan asetnya oleh pemilik asalnya. Bank-bank tersebut rata-rata sudah berganti kepemilikan.
Menurut Faisal, sumber krisis sebenarnya terletak pada bank- bank pemerintah penerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Pimpinan bank pemerintah yang mengelola dana BLBI selama ini nyaris tak tersentuh hukum.
Catatan Himpunan Masyarakat untuk Kemanusiaan dan Keadilan menyebutkan, dana BLBI yang disalurkan sedikitnya mencapai Rp 320 triliun. Sebanyak Rp 175,3 triliun diterima bank pemerintah dan Rp 144,5 triliun diterima 48 bank umum swasta nasional.
Sulitnya penuntasan BLBI di bank pemerintah, lanjut Faisal, disebabkan masih dipertahankannya bank-bank pemerintah yang berkinerja buruk. Bank- bank tersebut juga dikuasai oleh orang-orang yang memiliki hubungan dekat dengan penguasa negara. Akibatnya, tudingan bank pemerintah sebagai sapi perahan pejabat negara semakin terbukti.
BLBI memang dikucurkan di era rezim Orde Baru. Namun, kegagalan konsolidasi pemimpin di era Reformasi membuat para tokoh di masa Orde Baru berkuasa kembali, yang disebut Faisal sebagai Orde Baru jilid II. Keberadaan mereka semakin menyulitkan penuntasan BLBI karena mereka menguasai berbagai lembaga negara.
Sepanjang rezim Orde Baru jilid II tetap berkuasa, maka kasus BLBI tidak akan pernah selesai, tegasnya.
Anggota DPR dari Fraksi Partai Bintang Reformasi, Ade Daud Nasution, mendesak kasus BLBI segera dituntaskan karena sangat membebani keuangan negara. Setiap tahun, sebanyak Rp 40 triliun-Rp 60 triliun dana APBN digunakan untuk membayar obligasi rekap BLBI. Besarnya dana ini menyedot anggaran untuk publik, seperti dana pendidikan dan kesehatan.
Dengan asumsi pertumbuhan 12 persen, maka beban APBN untuk menuntaskan BLBI baru akan lunas pada 2030, katanya.
Ade meminta pemerintah, Kejaksaan Agung, dan Komisi Pemberantasan Korupsi segara mengambil langkah penyelesaian kasus ini. Ia juga mengajak masyarakat untuk tidak memilih parpol yang terbukti tidak mendukung penuntasan kasus ini.
Sementara itu, salah satu pimpinan KPK, Bibit Samad Rianto, menegaskan, KPK perlu dukungan untuk menyelesaikan berbagai kasus korupsi, bukan hanya cacian dan pesimistis seperti saat pimpinan KPK baru terpilih. (MZW/A09)
Sumber: Kompas, 27 Desember 2007
--------------
Penuntasan BLBI Kian Diragukan
Tapi, Kejaksaan Segera Umumkan Hasil Penyelidikan
Suara keraguan atas penuntasan aspek hukum terkait dugaan korupsi bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) terus nyaring. Pemerintah yang berkuasa saat ini dinilai merupakan bagian dari pemerintahan terdahulu yang mengeluarkan kebijakan penyaluran BLBI ke sejumlah obligor.
Selama tidak ada pergantian rezim, saya pesimistis kasus BLBI dapat dituntaskan secara kompherensif, kata ekonom UI Faisal Basri dalam diskusi bertema Proyeksi dan Tantangan Pemberantasan Korupsi: Quo Vadis BLBI di Gedung Perpustakaan Nasional kemarin (26/12).
Diskusi itu juga dihadiri pembicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bibit Samad Rianto, anggota DPR Ade Daud Nasution, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Marwan Batubara.
Menurut Faisal, pemerintahan terdahulu melakukan kesalahan terkait penyelesaian kewajiban BLBI sejumlah obligor. Pemerintah dianggap memberlakukan standar ganda sekaligus tidak menindak tegas obligor yang tidak kooperatif. Mereka (pemerintah) membiarkan sebagian obligor tidak membayar, tetapi juga melayani obligor lain yang membayar, kata mantan Sekjen DPP Partai Amanat Nasional (PAN) itu.
Nilai kerugian negara atas kasus BLBI terhitung amat besar. Dari uang negara Rp 650 triliun untuk penanganan krisis, dana yang tersedot untuk BLBI mencapai Rp 144 triliun.
Meski ada keraguan, Faisal mendukung upaya kejaksaan menangani lagi kasus BLBI, khususnya terhadap obligor tidak kooperatif dalam penyerahan aset-asetnya ke BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional). Aparat harus mengambil langkah nyata dengan memproses obligor yang tidak membayar kewajiban kepada negara. Aparat harus mengusut aspek pidananya, jelasnya.
Di tempat sama Ade Daud mengatakan, sebagai anggota DPR dia bakal mendesak pemerintah untuk serius mengusut kasus BLBI. Kami juga minta aparat bersikap tegas dengan menyita aset obligor yang tidak kooperatif, termasuk aset yang pindah tangan, ujar anggota DPR dari Fraksi Bintang Reformasi itu. Dia tidak keberatan jika banyak kalangan mencurigai bahwa pemerintah sengaja tidak tegas menangani kasus BLBI.
Wakil Ketua KPK Bibit Samad Rianto menegaskan, KPK dapat mengawasi proses penanganan kasus BLBI di kejaksaan. Ini sejalan dengan tugas supervisi yang kami (KPK) miliki, baik terhadap kejaksaan maupun kepolisian, jelas Bibit.
Mantan Kapolda Kaltim itu berjanji memasukkan supervisi penanganan kasus BLBI saat pertemuan membahas program kerja pimpinan KPK pada Januari 2008 mendatang. Kasus BLBI itu kan menjadi perhatian publik. Nah, kasus-kasus seperti ini dapat diusulkan untuk disupervisi oleh KPK, ujar Bibit.
Sebelumnya, Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Kemas Yahya Rahman mengatakan, kejaksaan men-deadline penyelidikan kasus BLBI pada akhir Desember 2007. Apa pun hasilnya, kami akan mengumumkan ke publik, kata Kemas akhir pekan lalu.(agm/roy)
Sumber: Jawa Pos, 27 Desember 2007