Puasa Korupsi
Korupsi sesungguhnya adalah ‘tragedi kemanusiaan’ yang mahadahsyat. Tidak hanya bagi republik ini,tapi juga bagi seluruh umat manusia.Korupsi adalah dehumanisasi yang nyata-nyata telah merusak peradaban kita.
Korupsi yang secara etimologis berakar dari corruption (Inggris), korruptie (Belanda), atau corrumpere (Latin), mengandung arti kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, penyuapan, penggelapan, telah sukses mencandui negeri ini.
Secara hiperbolik, meminjam istilah Jawa, korupsi telah menjadi ”sangganing langit pakuning bumi” (penyangga langit dan pasak bumi) yang menopang tegak eksistensi republik ini. Korupsi terjadi kapan saja, di mana saja, menjadi urat nadi negeri ini. Sedangkan kita seolah tak berdaya, bahkan menjelang putus asa menghadapi gempita gurita korupsi.
Dengan cara apa lagi korupsi mesti dibasmi. Vaksin kebal antikorupsi entah ke mana lagi mesti kita cari. Komisi, lembaga, dan satgas yang silih berganti kita dirikan, peraturan yang silih berganti kita undangkan, dan konvensi yang acapkali kita ratifikasi, pun seakan lumpuh tak berdaya, terlihat bodoh di hadapan virus korupsi.
Puasa dari Korupsi
Jauh-jauh hari, sebelum Konvensi Antikorupsi (United Nations Convention Against Corruption-UNCAC) diratifikasi di Merida, Meksiko, 9 Desember 2003, umat Islam sesungguhnya telah lebih dahulu melangkah.Tidak sekadar meratifikasi dan berwacana, tetapi juga melakukan langkah nyata memerangi korupsi melalui ibadah bernama puasa (shaum).
Dalam Islam, puasa (ashshaum) dilakukan pada bulan Ramadan yang secara lughawi berarti membakar. Sedangkan puasa (shaum), secara syar’i, bermakna menyengaja menahan diri dari sesuatu yang membatalkannya, mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari, dengan niat dan syarat tertentu.
Sebulan lamanya, dalam kurun satu tahun, umat Islam ditempa untuk ber-laku priyatin dalam kawah candra dimuka bernama puasa. Belajar menjaga dan mengendalikan diri, membakar segala gejolak nafsu rendah yang profan agar menjadi pribadi-pribadi yang bertakwa (la’allakum tattaquun). Manusia diajari bermetamorfosis, dari ulat yang rakus dan beringas menjadi kupukupu indah dan mencerahkan.
Dari manusia yang dipenuhi syahwat dunia menjadi sosok hamba yang membawa rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin) dengan cahaya iman dan takwa. Nafsu korupsi yang banal dan serakah coba dikendalikan dan dijinakkan melalui amalan Ramadan.
Nuansa religius yang khusyuk, rasa lapar yang menghadirkan empati, akan membawa kita pada kesalehan sosial sekaligus kesadaran bahwa manusia sekadar hamba yang setiap jengkal perilakunya akan dimintai pertanggungjawaban. Di dunia, hukum manusia barangkali bisa direkayasa dan dimanipulasi.
Tapi,pengadilan Tuhan tidak pernah bisa didustakan. Tuhan sungguh tidak pernah berkenan menerima suap,komisi dan upeti,apalagi uang tanda persahabatan. Sungguh keterlaluan apabila ada hamba yang mengaku beriman masih tetap melakukan aktivitas korupsi di bulan yang suci ini.Korupsi barangkali tidak membatalkan puasa, namun ia pasti akan merusak puasa kita sehingga menjadi tabir penghalang untuk kita beroleh predikat takwa (muttaqien).
Mengorupsi Puasa
Sebuah ironi besar lantas menampar wajah Islam di negeri ini. Indonesia, negeri berpenduduk Islam terbesar, masih saja ditahbiskan sebagai negeri terkorup dengan predikat nyaris sempurna. Padahal, setiap tahun selama sebulan penuh mereka dilatih menahan diri dan mengasah jiwa melalui ibadah puasa.
Aduhai, apakah gerangan yang salah dengan puasa umat Muslim di negeri ini.Bukankah puasa adalah desain supercerdas dari Tuhan untuk mengebiri nafsu duniawi? Realitasnya, alih-alih berhenti dan mati, kegemaran korupsi itu bahkan terus bertumbuh subur di negeri ini.
Jawabannya tentu bukan salah syariat,karena puasa justru sangat membenci perilaku korupsi.Menyingkap anomali ini, jawabannya ternyata sangat sederhana. Sungguh, sangking korupnya kita, puasa pun dikorup di negeri ini.Kegemaran kita mengorup puasa menjadikan kita bangsa korup karena gagal membumikan pesan-pesan langit syariat puasa ini.
Setidaknya kitabisamemetakan modus korupsi puasa yang patologis ini dalam dua kategori. Pertama,mengorup puasa dengan tidak menjalankannya. Padahal,semua ulama sepakat menghukuminya sebagai fardhu ’ain(wajib),kecuali bagi mereka yang terhalang uzur yang dibenarkan syariat.
Sungguh memprihatinkan, ketika di sudut-sudut republik ini, bulan puasa serasa tak berbeda dengan sebelas bulan lainnya. Sementara saudara (Muslim) yang justru tidak berpuasa, asyik makan, minum, dan merokok di ruang publik. Tanpa malu-malu, bahkan terkesan bangga.
Barangkali benar bahwa agama berada dalam ranah individual, tetapi tidakkah tersisa sedikit pun ruang bagi bersemayamnya toleransi. Sekadar menghormati saudara kita yang sedang berpuasa, sehingga tercipta kebersamaan yang lebih indah. Sedangkan korupsi puasa modus kedua adalah dengan tetap berpuasa, tetapi tidak sepenuhnya memuasakan diri.
Sekadar memuasakan perut dari makan dan minum dan kemaluannya dari memperturutkan syahwat, tetapi tidak memuasakan segenap inderanya dari godaan nafsu dan syahwat dunia yang merusak puasa. Dalam bahasa Al- Ghazali dalam Ihya ’Ulumuddin, puasanya orang awam (shaumul ’aam).
Berpuasa, tapi masih gemar menggunjing (ghibah), berdusta, kongkalikong, bahkan korupsi yang jelas-jelas adalah musuh semua agama. Barangkali inilah wajah puasa mayoritas kita di republik ini.Akibatnya, kita seringkali gagal menangkap esensi dan hikmah berpuasa, apalagi membumikannya dalam hidup keseharian.
Meminjam Sabda Rasulullah, betapa banyak orang yang berpuasa, namun tidak mendapatkan apa pun, melainkan lapar dan dahaga. Syariat puasa sesungguhnya membawa hikmah yang luar biasa. Sayangnya justru umat Islam sendirilah yang mendekonstruksi dengan mengorup makna dan keagungannya.
Akibatnya, kita terjebak sekadar pada gempita ritualitas semata, namun gagal beroleh lautan hikmah darinya. Selamat berpuasa, Indonesia.
ACHMAD M AKUNG Dosen Psikologi Agama Fakultas Psikologi Undip Semarang
Tulisan ini disalin dari Koran Sindo, 5 Agustus 2011