Pungli Marak di Sekolah Unggulan

Dugaan korupsi di lingkungan lembaga pendidikan kembali terjadi. Pekan lalu, sejumlah orangtua murid dan anggota komisi sekolah melaporkan kepada Indonesian Corruption Watch (ICW) adanya modus korupsi baru melalui pungutan liar (pungli) di beberapa sekolah,yang notabene disebut sebagai sekolah unggulan di kawasan Jakarta dan Tangerang, Jawa Barat.

Laporan itu sebenarnya tidak terlalu mengagetkan bagi sebagian pemerhati korupsi. Sebab, modus itu bukan kali pertama terjadi dan juga bukan pertama kali dilaporkan. Jauh sebelumnya, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) juga telah melaporkan adanya praktik pelanggaran dalam penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

Padahal tujuan BOS diadakan untuk menjamin siswa kurang mampu agar tetap bisa menerima hak-haknya dalam soal pendidikan. Pemerintah pun terus menaikkan ang-garannya dari tahun ke tahun. Departemen Pendidikan Nasional menaikkan BOS pada 2007 untuk SD,SLTP,dan SLTA dengan total dana Rp16,5 triliun lebih.Sekjen Depdiknas Dodi Nandika mengatakan, alasan kenaikan dana BOS itu dalam kaitan meningkatkan pelayanan pendidikan demi tercapai mutu pendidikan nasional dan meringankan beban orangtua murid.

Harapan kita dengan BOS ini sekolah-sekolah bisa mengelola dananya dengan baik untuk kepentingan peningkatan mutu pendidikan di sekolah tersebut dan meringankan beban orangtua, kata Sekjen Depdiknas Dodi Nandika di Jakarta,beberapa waktu lalu. Dana yang ditujukan untuk menggratiskan siswa dan mengurangi beban para orangtua ternyata belum sepenuhnya sesuai target. Buktinya, pada akhir pekan lalu Ketua Forum Orangtua Murid Sekolah Percontohan di Besuki Menteng, Jakarta Pusat Krishna Mangontan mengungkapkan, korupsi di SDN 01 Menteng terjadi hampir setiap tahun melalui berbagai jenis pungutan.

Berdasarkan perhitungannya, paling tidak nilai pungutan bisa lebih dari Rp1 miliar per tahun. Angka pungutan itu terdiri atas pungutan untuk Komite Sekolah sebesar Rp170.000 hingga Rp300.000 per siswa setiap bulannya, kata Krishna saat melaporkan dugaan korupsi di SDN 01 Menteng kepada ICW di Jakarta,Rabu (23/5). Selain itu,Krishna mengaku sekolah juga menarik dana untuk pengadaan air conditioner (AC) sebesar Rp15.000 per siswa setiap bulan, dana komputer Rp25.000 per siswa per bulan, dan dana pentas Rp10.000 per siswa per bulan.

Dia menambahkan, total penarikan sumbangan tersebut mencapai Rp105,6 juta hingga Rp168 juta per bulan, dengan asumsi 480 siswa SDN 01 Menteng membayar semua pungutan itu.Khusus untuk pungutan AC dan komputer, dia menilai, pungutan itu tidak rasional. Sebab, pengadaan AC dan komputer tidak mungkin dilakukan setiap bulan. Bahkan, alasan pihak sekolah yang menyatakan dana itu akan digunakan untuk perawatan, juga dinilai Krishna sebagai hal yang mengada-ada.

Sebab, biaya untuk hal itu sudah dialokasikan dari Operasional Sekolah (BOS) dan Bantuan Operasional Pendidikan (BOP). Senada diungkapkan salah satu orangtua murid SDN Kompleks IKIP Rawamangun, Handaru Widjatmika. Dia mengeluhkan kebijakan sekolah tersebut yang menarik sumbangan saat penerimaan siswa baru. Handaru mengatakan, pungutan itu berawal dari keterangan pihak sekolah yang menyatakan sekolah tersebut tidak akan menerima kucuran dana BOS dan BOP. Karena itu, sekolah berinisiatif memungut dana penerimaan siswa baru sebesar Rp7,5 juta per siswa.

Kenyataannya, pengelola sekolah menerima dana BOS dan BOP sejak Januari 2006 tanpa sepengetahuan dan persetujuan orangtua murid, ujarnya. Handaru menjelaskan, penerimaan dana bantuan itu disetujui secara diam-diam oleh Ketua Komite Sekolah tanpa berkoordinasi dulu dengan jajaran pengurus dan anggota komite. Handaru yang juga menjabat Bendahara II Komite Sekolah tersebut juga mengungkapkan, selain itu pihak sekolah memberlakukan pungutan bulanan sebesar Rp100.000 dan pungutan bulanan lain yang ditujukan untuk keperluan perayaan hari raya para guru.

Pungutan di luar kewajaran juga dikeluhkan orangtua murid SD Islam Sudirman,Jakarta Timur Budiastuti.Dia mengatakan, dari total dana Rp8,4 miliar yang didapat dari sekitar enam sumber dana pada Tahun Anggaran 2005/2006, hanya sekitar Rp2 miliar yang kembali ke siswa dalam bentuk dana operasional sekolah. Yayasan tidak pernah dialog atau melakukan komunikasi tertulis tentang hal itu, katanya. Praktik tidak halal itu juga terjadi pada sekolah menengah pertama (SMP). ICW kemarin menerima laporan dugaan korupsi yang dilakukan Kepala SMPN 1 Kronjo Tangerang.

Praktik itu diawali adanya ketidaktransparan yang dilakukan petingi sekolah itu dalam menentukan anggaran dalam Rencana Anggaran Pendapatan Belanja Sekolah (RAPBS). Akibatnya, terjadi praktik markupagar anggarannya lebih besar. Menanggapi laporan itu, Manager Monitoring Pelayanan Publik ICW Ade Irawan mengatakan, kasus korupsi dalam bentuk penarikan berbagai sumbangan tersebut merupakan sebagian kecil dari seluruh dugaan korupsi di institusi pendidikan.

Dari penelitian dan laporan yang diterima ICW,kasus serupa mencapai ratusan dan terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Selama ini kami melakukan investigasi aktif dan menerima laporan, katanya. Investigasi aktif ICW itu, ungkap dia, diterapkan pada sejumlah institusi pendidikan di sepuluh kota di Indonesia. Sementara itu, laporan mengenai dugaan korupsi dari masyarakat telah diterima dan ditindaklanjuti ICW sejak 2001.

Menurut dia, modus korupsi di sejumlah institusi pendidikan dilakukan dengan cara yang hampir seragam, yaitu pungutan di luar kewajaran dan manipulasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS). Anggaran yang disusun kepala sekolah tanpa melibatkan komite sekolah ini, ujar dia, dinilai sebagai celah utama untuk melakukan manipulasi anggaran. (hojin/dian w/sm said)

Sumber: Koran Seputar Indonesia, 27 Mei 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan