Pungutan Jembatan Timbang; Mata Rantai Pembusukan di Jalanan...
Malam sudah terlampau larut, tetapi jalur pantai utara seolah-olah baru mulai menggeliat. Di bibir perbatasan Jawa Timur-Jawa Tengah, puluhan truk melambat saat hendak memasuki Jembatan Timbang Sarang, Rembang, Jawa Tengah.
Wakid (55), sopir truk pengangkut batu bara, menjadi tegang di pintu masuk jembatan timbang. Ketika gilirannya tiba, dengan cepat tangannya melempar lipatan uang ke petugas.
Seketika, Wakid langsung menggenjot pedal gas seperti ingin melarikan diri. ”Untung antreannya panjang, jadi enggak kelihatan kalau uangnya hanya Rp 20.000,” ujar Wakid kepada Kompas yang menumpang truknya mulai dari Tuban hingga Kudus.
Rupanya strategi ”tancap gas” sering digunakan Wakid untuk menghindari mahalnya mel-melan (uang pungutan) petugas jembatan timbang. Jika tak cepat lari, petugas kadang meminta lebih.
Saat beristirahat di sebuah warung di perbatasan Rembang-Kudus, Wakid mengungkapkan, pungutan Jembatan Timbang Sarang paling mahal di antara semua jembatan timbang lintas pantura Jatim-Jateng. Di tempat lain, sopir hanya dipungut Rp 10.000 hingga Rp 20.000, tetapi di jembatan timbang ini petugas sering meminta uang Rp 40.000 hingga Rp 50.000.
”Di jalur Jatim-Jateng, Jembatan Timbang Sarang paling galak, mintanya paling tinggi. Agar tak bayar mahal, saya terpaksa nekat melempar uang Rp 20.000 saat antrean truk banyak,” ungkap Wakid yang saat itu mengangkut batu bara dari Surabaya menuju Semarang.
Bebas melintas
Berdasarkan pengamatan Kompas, banyak truk yang melintas di jalur pantura Jateng-Jatim membawa muatan melebihi kapasitas. Asalkan membayar kepada petugas, sopir yang mengangkut seberat apa pun tak ditilang dan diperbolehkan melanjutkan perjalanan.
Saat Kompas berganti rute pengamatan dengan ikut menumpang sebuah truk pengangkut besi dari Semarang ke Tuban, Tarmuji (50), sopir truk, mengungkapkan, truk Fuso buatan tahun 1993 yang ia kemudikan hanya berkapasitas angkut 12 ton. Namun, ia harus membebani truk dengan besi seberat 22,5 ton sesuai dengan keinginan pemilik truk.
Sekali angkut, Tarmuji mendapat upah Rp 1.050.000. Namun, upah itu harus dikurangi untuk membeli solar Rp 600.000, membayar jembatan timbang Rp 100.000, serta membeli makan, minum, dan rokok Rp 100.000.
”Pendapatan bersih paling tinggal Rp 200.000. Makanya saya tidak membawa kernet karena pendapatan sangat tipis. Di jalan, pengeluaran harus dihemat. Kalau ada petugas nakal, habislah jatah saya,” ujar Tarmuji sembari mengoper persneling.
Sampai di tempat peziarahan Islam pesujudan Sunan Bonang di Rembang, Tarmuji menghentikan sejenak truknya. Ia mengecek satu per satu 10 ban besar yang menopang truk tuanya. Dengan memukul-mukul ban, ia berusaha memastikan apakah ada ban yang bocor.
”Syukurlah, enggak ada yang bocor. Kalau ada yang bocor, ya, harus menyisihkan pendapatan untuk biaya tambal ban,” paparnya.
Somad (30), sopir truk pengangkut bahan baku lem dari Semarang ke Sidoarjo, juga nekat mengangkut barang bawaan di atas kapasitas. Truk gandeng yang ia kemudikan hanya berkapasitas 16 ton. Karena mengejar setoran, ia berani mengangkut hingga 27 ton, hampir dua kali lipatnya.
Beda dengan Tarmuji, upah Somad dihitung berdasarkan berat muatan. Setiap kilogram, Somad dan kernetnya, Yanto (25), dibayar Rp 180. Dengan muatan 27 ton, upah kotor Somad dan Yanto Rp 4.860.000 yang kemudian diserahkan kepada pemilik truk 48 persen sehingga tinggal tersisa Rp 2.527.200.
Dari jumlah itu, mereka harus menyisihkan Rp 600.000 untuk membeli solar dan Rp 200.000 untuk membayar petugas jembatan timbang, makan, minum, dan rokok sehingga tersisa Rp 1,7 juta yang kemudian dibagi dua.
”Kalau hanya angkut sesuai kapasitas, jatuhnya kami hanya dapat sekitar Rp 250.000 per orang,” ujar Somad.
Mata rantai
Praktik pungutan liar di jembatan timbang sampai sekarang belum bisa diberantas dan di sisi lain kebiasaan para sopir mengangkut beban berlebih ”sudah jadi mata rantai pembusukan” yang sulit dipisahkan. Di satu sisi, sopir harus mengangkut lebih untuk mengejar setoran, di lain sisi petugas mendapat suap (pemasukan) dari denda kelebihan beban.
Kepala Bidang Pengendalian Operasional Dinas Perhubungan Lalu Lintas Angkutan Jalan Jatim Suryo Menggolo mengatakan, sejak 2010, Pemerintah Provinsi Jatim membenahi sistem komputer jembatan timbang. Tujuannya, kelebihan muatan truk tak dimanipulasi untuk kepentingan petugas.
Di Jateng, Gubernur Jateng Bibit Waluyo juga mengakui bahwa fungsi jembatan timbang di wilayahnya belum efektif (Kompas, 9/3). Menurut Bibit, sejak Januari 2011, Pemprov Jateng melarang pungutan liar kelebihan muatan di jembatan timbang.
Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia Jatim Chairul Djaelani mengemukakan, dengan beban gandar kendaraan normal (tanpa kelebihan beban), jalur jalan di Jatim sepanjang 3.600 kilometer akan memiliki umur pelayanan 10 tahun dengan biaya pemeliharaan Rp 1,80 triliun.
Namun, dengan asumsi kelebihan muatan kendaraan sebesar 20 persen saja, masa pakai jalan akan menyusut menjadi 2,5 tahun dan biaya investasi pembangunan jalan membengkak hingga Rp 27,78 triliun atau terjadi pemborosan Rp 19,89 triliun.
Artinya, jika keberadaan jembatan timbang masih sekadar jadi ”lumbung” pembayaran denda, kerusakan jalan akan makin parah dan investasi pembangunan terus membengkak.
Ujung-ujungnya, masyarakat menanggung biaya transportasi mahal, kemacetan, kerusakan kendaraan, dan kerusakan mental bangsa karena pembusukan aturan di sepanjang jalan....[Aloysius Budi Kurniawan]
Sumber: Kompas, 24 Maret 2011