Puteh Tidak Diberhentikan, Presiden Langgar Konstitusi [14/07/04]
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan Solidaritas Masyarakat Antikorupsi mendukung langkah Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menangani kasus korupsi Abdullah Puteh, termasuk perintah kepada Presiden Megawati Soekarnoputri untuk memberhentikan sementara Puteh dari jabatan sebagai Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam dan Penguasa Darurat Sipil Daerah. Jika perintah KPK tak dilaksanakan, Presiden Megawati dapat dikategorikan melanggar konstitusi.
Adalah kewajiban Presiden menjalankan Undang-Undang Dasar 1945 dan undang-undang. KPK menyelidiki kasus Puteh dalam rangka melaksanakan undang-undang, ujar Ketua Dewan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Munarman di Jakarta, Selasa (13/7).
Hal senada ditegaskan ahli hukum tata negara Universitas Indonesia, Satya Arinanto, dan ahli hukum tata negara Universitas Andalas Padang, Saldi Isra. Jika tidak mematuhi perintah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Presiden bukan saja melanggar Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, tetapi juga menunjukkan rendahnya komitmen elite terhadap pemberantasan korupsi.
Saya kira itu ujian bagi Megawati. Kita tak perlu berdebat soal istilah pemberhentian, pengangkatan, penon-aktifan, atau pemberhentian sementara, kata Saldi.
Seperti diberitakan, Ketua KPK Taufiequrrahman Ruki telah menyurati Presiden Megawati Soekarnoputri, meminta agar Puteh diberhentikan sebagai gubernur. Taufiequrrahman juga memberi waktu hingga 14 Juli 2004 kepada Puteh. Jika tidak bersedia diperiksa, KPK akan mengeluarkan surat pemanggilan paksa atas Puteh.
Menurut Munarman, langkah KPK perlu didukung semua pihak. Perintah kepada Presiden untuk memberhentikan Puteh adalah hal wajar dan logis. Tidak ada alasan untuk menghalang-halangi upaya KPK memeriksa Puteh sebagai tersangka kasus korupsi Rp 4 miliar. Tidak adanya respons Presiden atas perintah KPK dapat diperkarakan di Mahkamah Konstitusi, ujarnya.
Menurut Munarwan, ini merupakan ujian bagi wibawa dan otoritas KPK untuk menangani kasus korupsi yang dikategorikan kejahatan luar biasa. Pemberantasan korupsi mengalami perbaikan jika KPK berhasil. Namun, jika gagal, prospek pemberantasan korupsi di Indonesia buram, katanya.
Tak ada sanksi
Menurut Saldi, kewenangan KPK meminta pemberhentian sementara Puteh didasarkan pada UU No 30/2002 Pasal 12 Huruf (e) yang berbunyi, Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya.
Jadi, kata Saldi, dengan pasal yang terang benderang itu, tak perlu ada proses politik di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Apalagi saat melakukan debat presiden, dalam kapasitasnya sebagai capres dia setuju menon-aktifkan Puteh.
Ditanya bagaimana jika Presiden tak mengindahkan perintah KPK, Saldi dan Satya mengakui, Memang tak ada sanksi. Namun, rakyat akan menilai sejauh mana komitmen Presiden Megawati dalam memberantas korupsi.
Satya mengakui, memang kelemahan UU KPK, seperti juga produk hukum lain di Indonesia, adalah lemahnya sanksi. Ini juga terlihat pada UU Nomor 5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Ketika sampai pada pejabat tertinggi, yaitu presiden, maka sanksi pun berhenti, ujar Satya.
Padahal, pertanggungjawaban publik sangat penting agar para pejabat tinggi mematuhi perundang-undangan. Harapan masyarakat adalah menunggu janji Presiden, katanya.
Harus disetujui DPRD
Adapun pihak Departemen Dalam Negeri (Depdagri) tetap bersikukuh penon-aktifan Abdullah Puteh harus menunggu keputusan politik DPRD Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Oentarto Sindung Mawardi, kemarin, mengatakan ada mekanisme khusus untuk kepala daerah yang diberhentikan. Pemberhentian sementara atau tetap dilakukan bila ada usul dari DPRD dengan membuat keputusan politik mengusulkan kepada pemerintah pusat. Depdagri tidak punya wewenang itu. Silakan DPRD yang membuat, kata Oentarto.
Status tersangka Puteh, kata dia, tidak memengaruhi prosedur pemberhentiannya sebagai kepala daerah. Pemberhentian kepala daerah tidak bisa dilakukan berdasarkan status hukumnya. Apalagi, Puteh masih tersangka belum terdakwa sehingga DPRD belum bisa mengusulkan agar Puteh dinon-aktifkan, katanya.
Menurut Oentarto, sepanjang alasannya jelas, adalah hak Puteh untuk menolak panggilan KPK. KPK juga harusnya memanggil dengan pantas memakai surat undangan dan kalau tidak bisa datang, Puteh juga harus memberi tahu alasannya kenapa tidak datang, katanya.
OC Kaligis, penasihat hukum Abdullah Puteh, menegaskan, kliennya siap memenuhi panggilan KPK Rabu, 14 Juli, ini. Namun, ia tidak memastikan apakah dalam pemeriksaan itu kliennya akan memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan KPK.
Alasannya, proses praperadilan yang diajukan Puteh terhadap KPK sedang berjalan. Kami sudah mendapat panggilan dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat bahwa sidang akan dimulai Senin minggu depan, ujarnya, semalam. Oleh karena itu, harusnya KPK tidak melanjutkan proses penyidikan terhadap Puteh sampai ada putusan dari sidang praperadilan.
Bagaimana jika hari ini KPK menahan Puteh, Kaligis menegaskan, KPK tidak punya alasan kuat menahan. Kalau mereka menahan Puteh, kami akan ajukan praperadilan.
Ia juga menegaskan, Presiden tak berwenang menon-aktifkan Puteh. Presiden hanya menandatangani, tetapi yang minta pemberhentian adalah DPRD, katanya.
Ia juga menegaskan, Presiden tak berwenang menon-aktifkan Puteh. "Presiden hanya menandatangani, tetapi yang minta pemberhentian adalah DPRD," katanya.
Harapan di Aceh
DPRD NAD hingga kemarin juga belum bereaksi atas kasus ini dengan alasan harus berkonsultasi dulu dengan Mendagri. Kami menghargai saran rakyat yang meminta dewan merekomendasi penon-aktifan Puteh. Namun, semua ada prosesnya, kata Ketua DPRD NAD Muhammad Yus.
Sebaliknya, anggota DPRD dari Partai Keadilan Sejahtera, M Nasir Djamil, justru mengajak DPRD berani bersikap atas kasus Puteh dengan memberi rekomendasi penon-aktifan. DPRD sebaiknya tidak menutup mata atas kenyataan dan berusaha menjaga kredibilitas DPRD. Apa kata rakyat nanti terhadap dewan yang terus diam atas kasus Puteh, katanya.
Sosiolog Universitas Syiah Kuala, Ahmad Humam Hamid, juga mengatakan, DPRD harusnya bersikap. Sikap diam DPRD justru dipertanyakan banyak orang. Mereka tentu dianggap satu perahu dengan Puteh sehingga tak mungkin merekomendasi penon-aktifan Puteh, katanya.
Pemerintah tidak perlu menggunakan banyak alasan untuk mempertahankan posisi Puteh karena kasusnya sangat jelas dan diketahui luas oleh rakyat. Ini juga menyangkut bagaimana membangun kepercayaan rakyat Aceh pada pemerintah. Bagaimana rakyat bisa percaya jika dipimpin tersangka korupsi, katanya.
Abdullah Puteh sendiri sampai Selasa kemarin belum berada di Banda Aceh, baik di kantor maupun rumah dinasnya. (Son/VIN/SIE/INU/NJ/BDM)
Sumber: Kompas, 14 Juli 2004