"Quo Vadis" Dana Aspirasi?
Pro dan kontra dalam memaknai usulan pengalokasian dana APBN 2011 untuk program percepatan pembangunan daerah pemilihan sebesar Rp 8,4 triliun atau tiap anggota DPR (560 orang) Rp 15 miliar dinilai sarat dengan nuansa politis karena anggota DPR ikut mengimplementasikan kebijakan publiknya.
Hal ini jelas bertentangan dengan fungsi legislatif yang tugasnya membuat undang-undang (UU), menyusun anggaran, dan melakukan pengawasan. Adapun tugas eksekutif mengimplementasikan kebijakan tersebut.
Dari sudut pandang pemerintah, dana tersebut tidak memiliki kekuatan hukum dan berpotensi melanggar UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU No 12/2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Partai politik yang mendapatkan kursi pada Pemilu 2009 sudah menerima dana bantuan melalui APBN (PP No 5/2009) yang besarnya tiap partai politik berbeda tergantung dari jumlah suara sah yang diperoleh. Apakah dana aspirasi ini tidak termasuk anggaran ganda, ini berpotensi menjadi temuan BPK.
Politik uang
Muncul pertanyaan bahwa dana tersebut disinyalir merupakan bentuk politik uang yang dilegalkan dan kemungkinan sebagai konsekuensi janji-janji mereka saat kampanye Pemilu 2009, tentu disertai harapan dapat terpilih kembali pada Pemilu 2014. Hal itu sejalan dengan pandangan JW Thibaut dan HH Kelley dalam buku The Social Psychology of Groups (1959) bahwa pertukaran sosial (social exchange) itu merupakan transaksi dagang atau saling memengaruhi (reciprocal), maka hubungan pertukaran dengan orang lain akan menghasilkan suatu imbalan (reward) dan terdapat unsur pengorbanan (cost) serta keuntungan (profit).
Dana aspirasi yang akan dialokasikan di setiap daerah pemilihan (dapil) dipastikan tidak merata, rawan diselewengkan, tidak adil, dan akan terjadi ketimpangan pembangunan antara Jawa dan luar Jawa. Bahkan, dikhawatirkan akan menghambat prinsip otonomi daerah dan desentralisasi fiskal.
Dapil anggota DPR adalah provinsi atau bagian dari provinsi (UU No 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR/DPD/DPRD) dibentuk berdasarkan jumlah penduduk, jika daerah yang penduduknya padat, jumlah dapilnya juga besar, misalnya di Jawa ada 39 dapil dari 77 dapil di Indonesia (DKI 3, Jabar 11, Banten 3, Jateng 10, DIY 1, dan Jatim 11) dengan jumlah anggota DPR terpilih sebanyak 306 orang (DKI 21, Jabar 91, Banten 22, Jateng 77, DIY 8 dan Jatim 87) sehingga jumlah dana aspirasi mencapai Rp 4,590 triliun. Karena itu, sekitar 54,64 persen dana aspirasi akan lebih banyak disalurkan di Jawa.
Bagaimana dengan dapil di luar Jawa dengan keterbatasan infrastruktur dan kondisi geografis Indonesia yang terdiri atas ”beribu-ribu” pulau yang tentu lebih membutuhkan? Apakah mungkin dapat menikmati dana aspirasi itu secara proporsional dan apakah mungkin program percepatan pembangunan dapil luar Jawa dapat terpenuhi?
Andaikata dana aspirasi jadi dialokasikan, sepanjang tak melanggar aturan perundang-undangan, maka yang perlu dicermati adalah mekanisme kucuran anggaran dan tata kelola penggunaannya agar tidak bocor di tengah jalan. Selain itu, apakah dana aspirasi dapat memberi daya guna dan manfaat yang besar, mengingat kondisi ekonomi rakyat kita saat ini masih sulit. Jadi, harus ada argumentasi yang kuat dalam mekanisme pertanggungjawaban publik.
Memang kelaziman sebuah negara demokrasi untuk mengunjungi konstituen serta menampung dan menyalurkan aspirasi rakyat itu membutuhkan dana yang cukup besar walaupun ini sebenarnya bertentangan dengan jiwa demokrasi karena partai politik seharusnya berani untuk mandiri. Namun, selama ini praktik di lapangan, anggota dewan ada yang hanya pulang kampung, tidak mengadakan dengar pendapat dengan konstituennya. Kalaupun mendengarkan, hanya sebatas mendengarkan dan tidak ada tidak lanjutnya. Proses ini perlu diperbaiki.
Akhirnya, publik harus mafhum bahwa DPR adalah lembaga politik yang keputusannya merupakan buah dari proses politik yang diambil dari suara mayoritas, yang acapkali tidak mengutamakan etika ataupun kinerja, melainkan lebih pada sejauh mana keputusan itu lebih menguntungkan.
Dengan kata lain, prinsip daganglah yang lebih mengemuka. Terlebih ketika bangunan koalisi di DPR sangat memungkinkan terwujudnya gagasan tersebut, sementara pada saat yang sama barisan oposisi juga tidak memiliki semangat untuk melakukan perlawanan akibat kalkulasi ekonomi politik yang juga akan lebih menguntungkan.
ARI PRADHANAWATI Doktor Ilmu Sosial dan Dosen FISIP Universitas Diponegoro Semarang
Tulisan ini disalin dari Kompas, 7 Juni 2010