Raibnya Ayat RUU Kesehatan
HILANGNYA ayat 2 pasal 113 dalam RUU Kesehatan tentang rokok sebagai salah satu bahan yang mengandung zat aditif tidak boleh lewat begitu saja sebagaimana sebuah kesalahan teknis yang tidak disengaja.
Ayat itu secara tegas menyatakan, ''zat aditif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau padat, cairan, dan gas yang bersifat aditif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya''. Ada beberapa hal yang menjadi catatan untuk disoroti.
Harus Diusut
Pengusutan patut dilakukan untuk mengetahui motif di balik hilangnya ayat tersebut. Toleransi terhadap kesalahan semacam itu akan menghasilkan preseden buruk dalam hukum ketatanegaraan kita. Sejumlah pertanyaan seperti mengapa terjadi, oleh siapa, dan karena apa akan dapat terjawab melalui penyelidikan dan pengusutan.
Jika dibiarkan, sangat mungkin hal yang sama terulang pada masa mendatang. Terlebih, memperhatikan testimoni Mensesneg yang mengungkapkan bahwa kejadian seperti itu bukan kali pertama terjadi dan diketahui sekretariat negara.
Jika benar demikian, kita berani menyimpulkan bahwa mekanisme administrasi di DPR sungguh rentan dan tidak steril. Berbagai kepentingan bisa bermain dalam wilayah seperti itu.
Proses sebuah RUU hingga diundangkan dalam lembaran negara menjadi UU adalah tahap penting dan tidak boleh diperlakukan sembarangan. Mengutip pendapat beberapa ahli hukum negara kita, mengubah titik atau kalimat saja dalam RUU perlu persetujuan anggota dewan secara paripurna.
Sifatnya untuk kepentingan umum dan mengikat warga negara secara hukum membuat siapa pun harus ekstra hati-hati saat terlibat dalam penyusunannya. Kesalahan dalam administrasi, penetapan makna kata dan kalimat, pengetikan, draf atau bentuk akhir bisa membawa konsekuensi hukum, lari dari tujuan, serta mengubah substansi material. Karena itu, sebuah RUU tidak boleh dibuat dengan buru-buru, salah ditangani, atau gegabah disahkan.
Ketika sebuah ayat dalam RUU hilang, substansi akan berubah. Ayat dalam RUU Kesehatan yang dipersoalkan itu bukan salah diketik atau berpindah titik komanya atau berbeda kalimatnya. Ayat tersebut benar-benar hilang seperti ditelan siluman.
Untuk sebuah proses dari pengesahan di sidang paripurna hingga keluar dari sekretariat DPR -dan mengingat ini terjadi dalam lingkup lembaga paling dihormati di Indonesia, bahkan melibatkan materi yang tidak main-main, sebuah rancangan undang-undang di negara Republik Indonesia-, kasus hilangnya sebuah ayat dalam RUU dapatlah digolongkan dalam tindak kriminal.
Pelakunya harus ditemukan dan mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum. Bukan saja untuk memberi efek jera, tapi demi membersihkan institusi legislatif dari berbagai tudingan negatif dan tetap menjaga kehormatannya.
Masalah Substansi
Dampak penggunaan tembakau merupakan substansi yang menjadi pokok dalam ayat tersebut. Bukan hanya digolongkan dalam zat aditif, penggunaan tembakau dalam berbagai bentuk (padat, cair, dan gas) bisa menimbulkan kerugian bagi pemakainya maupun bagi komunitas. Jika kita menerjemahkannya secara harfiah, tembakau bisa menimbulkan kerugian bagi siapa pun pemakainya.
Melihat substansi tersebut dan mengaitkannya dengan hilangnya ayat itu dalam RUU Kesehatan, sebuah benang merah terlihat. Apakah itu?
Penggunaan tembakau sebagai zat aditif dapat menimbulkan kerugian material. Dalam bentuk rokok, bahaya itu tertulis jelas dalam kemasan produk sebagai peringatan pemerintah. Merokok dapat mengakibatkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin. Belum lagi asapnya yang bisa membawa dampak bagi paru-paru.
Karena itu, ayat 2 dalam pasal 113 RUU tersebut dapat menjadi sebuah kontroversi, terutama di kalangan produsen berbagai produk tembakau seperti rokok. Ayat itu bisa diterjemahkan dalam banyak hal sekaligus membuka celah bagi aksi tuntut-menuntut, siapa yang dirugikan dan siapa yang merugikan. Karena itu bisa saja terjadi pada masa mendatang, para pengguna produk tembakau menuntut ganti rugi kepada produsen berbagai produk tembakau karena mengalami kerugian (umumnya kesehatan) akibat pemakaian produknya.
Negara seperti Amerika menjadi contoh bagaimana perusahaan rokok membayar kompensasi ratusan ribu dolar AS kepada orang-orang yang berhasil memanfaatkan celah hukum dengan bantuan para pengacara brilian dari firma-firma hukum negara itu. Mereka menuntut balik atas kerugian material yang diderita karena mengonsumsi rokok.
Karena itu, tidak heran, dengan hilangnya ayat tersebut, berbagai asumsi memenuhi benak kita, siapa yang paling diuntungkan dan dirugikan jika ayat itu ada atau tidak ada dalam UU Kesehatan kita. Tidak bermaksud membela siapa pun. Tapi, peringatan terbuka yang tertulis di setiap kemasan produk rokok seharusnya memperingatkan kita akan bahaya merokok. Dengan demikian, saat mengambil keputusan untuk mengonsumsinya, seharusnya kita sadar dan menerima konsekuensinya.
Hilangnya ayat 2 pasal 113 UU Kesehatan tersebut semakin menambah deretan kejadian serupa dalam dinamika hukum negara kita. Beberapa waktu lalu, Ketua MK Mahfud M.D. membeberkan fakta mengejutkan bahwa ada orang yang berani memalsukan surat MK kepada KPU terkait sejumlah putusan MK dalam sengketa pemilu.
Bahkan kita sering membaca di surat kabar bagaimana keputusan pengadilan dipermainkan dengan mengubah keputusannya yang kemudian berujung pada salah ketik atau kesalahan administrasi.
Sonny Eli Zaluchu , kolumnis dan teolog, sedang studi S-3 teologi di STBI Semarang
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 16 oktober 2009