Raja Kecil dan “Benalu” Gemuk
Disaat sebagian besar masyarakat mungkin sedang tebak-tebakan apakah benar "noise" di sebuah rekaman wawancara televisi adalah musik penjual roti, diam-diam sejumlah pejabat di daerah terus menumpuk kekayaan. Proses hukum terhadap pejabat daerah agak senyap dan berlarut-larut.
Dan, tak banyak juga yang sadar dengan data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Lembaga inteligen keuangan ini ternyata menemukan 2.392 laporan transaksi keuangan mencurigakan (LKTM) dan menyusun 308 laporan hasil analisis (LHA) yang terkait dengan 347 orang pejabat daerah. Itu artinya, virus rekening gendut yang dulu sempat bercokol di sejumlah perwira Polri, sekarang menyebar ke daerah. Sejumlah kepala daerah memiliki rekening gendut?
Jika di Jakarta publik dibuai drama politik silih berganti, di daerah fungsi penyelenggaraan negara dan demokrasi dibajak oleh para bos melalui korupsi. Catatan Indonesia Corruption Watch saja, setidaknya ada 19 Gubernur yang pernah terkait kasus korupsi, 17 Walikota, 84 Bupati, 1 wakil gubernur, 19 wakil bupati, 8 wakil walikota, dan 17 mantan pejabat daerah. Atau, tercatat setidaknya 148 pejabat daerah pernah dirundung masalah terkait kasus korupsi. Angka-angka yang saya kira menunjukkan betapa jungkir-baliknya logika demokrasi dan desentralisasi dari pusat ke daerah. Pemecahan kewenangan dari pemerintah pusat ke daerah ternyata diikuti desentralisasi korupsi yang sangat menyesakkan.
Para Bos
Di beberapa daerah, fenomena adanya kekuatan informal “diluar” pemerintahan (shadow state) yang sangat berpengaruh dalam penguasaan sumber daya ekonomi, alokasi anggaran dan bahkan korupsi adalah sebuah kenyataan. Ternyata, dalam kondisi pemerintahan formil yang lapuk, kekuasaan dikooptasi oleh relasi kepentingan antara kelompok bisnis dan kelompok sosial diluar negara. Ditambah pejabat daerah yang “berkhianat” pada amanat yang diembankan padanya. Lahirlah sejumlah manipulasi kebijakan, alokasi anggaran yang memihak pebisnis (bukan rakyat), korupsi dan sebagai salah satu efek yang diharapkan, meningkatnya kekayaan pejabat daerah secara signifikan.
Konsep yang diteliti oleh Willam Reno (1995) berdasarkan riset di Sierra Lone, Afrika ini mulai menunjukkan wajahnya di sejumlah daerah di Indonesia. Pusat penelitian ekonomi LIPI pernah melaporkan kajiannya di tahun 2006 tentang praktek shadow state dengan sampel 3 daerah (Jambi, Bengkulu, dan Kalimantan Selatan). Menurut riset tersebut, pemilihan kepala daerah hanya akan memperkuat kelahiran dan konsolidasi oligarki kekuasaan dan mendorong merebaknya praktek shadow state. Dengan catatan jika dilakukan hanya dalam konteks demokrasi prosedural, dan bukan demokrasi yang substansial. Demokrasi di daerah tidak boleh hanya mengacu pada standar formil dan prosedural seperti yang diadopsi melalui teknis perundang-undangan, akan tetapi harus mampu menghadirkan secara kuat apa yang disebut sebagai democratic behaviour.
Meskipun fokus penelitian diatas adalah soal relasi politik-bisnis pasca dilakukannya pemilihan kepala daerah, akan tetapi kita tahu titik tekannya terletak pada pembuktian “cacat demokrasi”, khusnsya desentralisasi. Penyakit yang akhirnya memicu dan memfasilitasi korupsi gila-gilaan di daerah. Pendekatan lain seperti bosism juga sering digunakan untuk membaca fenomena korupsi di daerah dan relasi politik-bisnis antar aktor-aktornya. Akan tetapi, secara sederhana bisa dikatakan demokrasi dan desentralisasi yang sakit, ditambah independensi penegak hukum yang berada di titik nadir, dan kompleksitas hambatan prosedural bagi kepolisian dan kejaksaan untuk memproses pejabat daerah yang terkait korupsi menjadi faktor yang bersinergi mempertahankan singasana korupsi di kerajaan-kerajaan kecil di daerah ini.
Kita juga bisa simak modus dan tipologi sejumlah kasus korupsi kepala daerah yang ditangani oleh penegak hukum. Korupsi kehutanan misalnya. KPK pernah menjerat Gubernur Kalimantan Timur, Suwarna Abdul Fatah dan sejumlah pejabat daerah disana atas sejumlah kebijakan di sektor kehutanan yang ia keluarkan dan dinilai penyidik melanggar perundangan-undangan tindak pidana korupsi, mengancam ekosistem hutan dan menguntungkan kelompok bisnis besar Rp. 346,82 miliar. Sejumlah aturan hukum dilabrak hanya untuk “memfasilitasi” PT. Surya Dumai Group untuk mengolah ratusan ribu hektar lahan, sehingga diperolehlah hasil kayu dengan volume 697,26 ribu m3 kayu senilai Rp. 346,82 miliar tersebut.
Di Kabupaten Pelelawan, Riau, KPK juga sudah menjerat bupati dan sejumlah pejabat daerah dan kasus korupsi kehutanan. Meskipun kasus ini tercatat sebagai salah satu perkara yang penyelesaiannya masih menggantung di KPK, akan tetapi dari perspektif modus korupsi, terlihat jelas bentuk manipulasi kebijakan pejabat daerah yang akhirnya menguntungkan 15 perusahaan yang tergabung pada dua raksasa bisnis sawit senilai Rp. 1,2 triliun rupiah. Sementara bupatinya sendiri didakwakan mendapatkan kick-back Rp. 19,8 miliar. Angka yang besar bagi kepala daerah, namun jumlah yang sangat kecil dibanding keuntungan yang dinikmati kelompok bisnis, dan jauh lebih kecil jika dibanding dengan nilai ekosistem yang dirusak akibat kebijakan manipulatif dan koruptif kepala daerah ini.
Model korupsi kehutanan seperti diatas sayangnya belum bisa dikembangkan lebih serius di sektor pertambangan. Padahal diperkirakan manipulasi kebijakan menjadi satu wajah yang mirip dan bisa menjadi pintu masuk bagi penegak hukum. Apalagi sejumlah pegiat lingkungan hidup, khususnya yang memantau di sektor pertambangan sudah seringkali menyampaikan fakta-fakta kabijakan manipulatif dan perhitungan potensi kerugian negara dari sektor basah ini. Selain itu, korupsi APBD tentu saja menjadi corak kuno yang masih dipertahankan dan terjadi tanpa bisa diberantas secara tuntas hingga saat ini. Proyek daerah, penyelahgunaan wewenang, penyimpangan dana bantuan sosial untuk kepentingan politik, hingga korupsi beras raskin merupakan sederet model kasus korupsi di daerah yang terjadi hingga saat ini.
Kekayaan Haram
Pertanyan bodohnya, untuk apa para pejabat daerah melakukan manipulasi kebijakan dan korupsi? Untuk uang tentu saja. Baik untuk pemenuhan kerakusan pribadi ataupun untuk pendanaan politik dan pemeliharaan kontinuitas jabatan. Meskipun pertanyaan ini bisa diajukan oleh siapapun, akan tetapi sesungguhnya inilah salah satu inti dari upaya pemberantasan korupsi, yaitu: menyasar uang hasil korupsi. Bisakah? Dengan sarana hukum yang seadanya, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memberikan kemungkinan melalui mekanisme “penggantian kerugian keuangan negara”.
Sarana hukum dan logika perundang-undangan pemberantasan korupsi yang masih berpijak pada perspektif kerugian negara tersebut tentu masih perlu dikoreksi, dalam artian ditingkatkan agar lebih mampu mengepung para begundal korup. Bagaimana? Dengan menambahkan pendekatan follow the money. Jadi, bukan hanya menyasar orang, perbuatan dan menghitung secara kausalitas kerugian negara yang diakibatkan oleh kasus korupsi, akan tetapi mengkuti aliran dana hasil korupsi tersebut. Kemudian menyita, merampasnya dan mengetahui siapa mafia sesungguhnya yang menjadi penikmat hasil korupsi.
Hal ini hanya dimungkinkan jika penegak hukum seperti KPK menggunakan pendekatan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (UU 8/2010) selain UU No. 31 tahun 1999 dan UU 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selama ini jamak digunakan. Ditambah dengan adanya UU Nomor 46 tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, korupsi dan pencucian uang bisa diajukan di pengadilan khusus ini.
Dalam konteks korupsi daerah, Presiden ataupun Menteri Dalam Negeri diharapkan membantu proses penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Klausul diperlukannya izin pemeriksaan untuk kepala daerah yang terkait kasus korupsi dan masih adanya lembaga-lembaga semu seperti muspida yang dinilai menghambat penuntasan kasus daerah perlu dicermati secara serius.
Selain itu, dari perspektif penegakan hukum informasi PPATK yang mengatakan terdapat 2.392 transaksi keuangan mencurigakan yang diduga terkait dengan 347 pejabat daerah harus diproses lebih lanjut. Angka tersebut adalah data penting yang bisa jadi pintu masuk jika penegak hukum serius ingin membersihkan benalu gemuk di daerah ini. Benalu yang menempel pada tubuh rakyat, menempel pada kewenangan yang diberikan rakyat, menempel pada kekuasaan alokasi anggaran, dan menghisap saripatinya untuk kepentingan sendiri atau kelompok. Raja-raja kecil yang menjadi gemuk karena menjadi benalu di tubuh rakyatnya.
Febri Diansyah, Peneliti Indonesia Corruption Watch, Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan
Tulisan ini disalin dari Majalah Tempo, Edisi 25-31 Juli 2011