Rancangan Aturan Perampasan Aset Hasil Korupsi Terganjal Konstitusi

Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset hasil tindak pidana korupsi segera diajukan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia pada awal bulan ini. Namun, penyusunan RUU ini masih tersandung Pasal 28-H ayat 4 Undang-Undang Dasar 1945.

Meski (RUU ini) substansinya mengamankan aset negara, harta kekayaan seseorang yang belum dinyatakan bersalah oleh pengadilan tidak bisa langsung disita, ujar Direktur Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Suharyono saat dihubungi Tempo, Minggu lalu.

Menurut Suharyono, penyusunan RUU Perampasan Aset masih memperhitungkan tindakan perampasan aset agar tidak bertentangan dengan pasal 28-H ayat 4 UUD 1945, yang melindungi hak milik pribadi seseorang.

Dalam pasal 28-H ayat 4 disebutkan bahwa setiap orang berhak atas hak milik pribadinya dan tidak boleh diambil sewenang-wenang. Bila bertentangan dengan pasal 28-H ayat 4 UUD 1945, bisa di-judicial review di Mahkamah Konstitusi, ujar Suharyono.

Selain itu, kata Suharyono, penyusunan RUU Perampasan Aset terkesan lambat karena belum tersedia lembaga penyimpan aset sitaan yang bisa menjamin pengembalian aset kepada negara. Walaupun saat ini sudah ada lembaga penyimpan aset milik Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Suharyono masih khawatir perampasan aset tercampur dengan harta kekayaan bukan hasil tindak pidana korupsi.

Suharyono menambahkan, RUU Perampasan Aset juga harus melindungi keberadaan pihak ketiga. Ia mengatakan jangan sampai ada pihak ketiga yang membeli aset dari koruptor ikut terjerat hukum.

Secara terpisah, Ketua Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Hasril Hertanto menyatakan, secara filosofis, RUU Perampasan Aset hasil tindak korupsi tidak bertentangan dengan pasal 28-H ayat 4 UUD 1945.

Sebab, perampasan aset yang diduga keras hasil tindak pidana korupsi tersebut, tutur Hasril, bertujuan agar harta sitaan tidak berpindah tangan kepada orang lain.

Namun, kata Hasril, orang yang hartanya dirampas tersebut harus diberi kesempatan melakukan pembuktian terbalik. Bahwa harta yang ia peroleh itu bukan dari hasil korupsi, katanya. Sehingga tidak terjadi pelanggaran hak asasi manusia, dia menambahkan.CHETA NILAWATY | M IQBAL MUHTAROM

Sumber: Koran Tempo, 2 Januari 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan