Rantai Belenggu Mafia Peradilan
Mavia peradilan bukanlah barang baru yang telah terjadi dalam sistem peradilan di Indonesia. Para pembela keadilan dalam hal ini malah mencoreng sistem peradilan seperti melakukan tindak pidana korupsi.
Dalam catatan ICW, setidaknya ada 9 advokat yang pernah terseret kasus suap terkait dengan profesi mereka yaitu pengacara. Dari tahun 2005 mereka terlibat suap terkait dengan perkara yang mereka bela. Seharusnya mereka adalah pembela keadilan, namun mereka melakukan tindakan penyuapan untuk memenangkan perkara yang dibelanya. Ulahnya tentu saja mencoreng dunia peradilan Indonesia yang sebenarnya telah hancur.
Nama |
Keterangan |
Tengku SyaifuddinPopon (2005) |
|
HariniWijoso (2005) |
|
ManatapAmbarita (2008) |
|
Adner Sirait (2010) |
|
HaposanHutagalung (2011) |
|
Susi Tur Andayani (2014) |
|
M. YagariBhastara Guntur alias Gerry (2015) |
|
OC Kaligis (2015) |
|
Menurut Staf Divisi Hukum, Monitoring dan Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter, praktek mafia peradilan merupakan kebobrokan peradilan di Indonesia. Dalam rantai praktek mafia peradilan, bukan hanya dilakukan oleh advokat melainkan juga oleh kalangan penegak hokum sperti jaksa, hakim, panitera bahkan penyidik.
Ada kasus suap yang melibatkan panitera yang sifatnya hanya administrator. Hal ini menunjukan, bukan hanya yang ‘kuat’ yang dapat mempermainkan hukum. Hal ini menunjukkan bahwa sistem yang ada memungkinkan terjadinya sebuah praktek korupsi (suap) di tubuh peradilan.
Dalam prakteknya suap bisa terjadi, misalnya dengan cara seorang panitera ikut andil dalam praktek korupsi. Bisa saja dirinya diminta oleh hakim tertentu untuk menjadi kolektor atau tidak sedikit yang menggunakan wewenangnya untuk menerima suap atau melakukan pemerasan dalam konteks ‘UU Tipikor’.
Tidak hanya panitra, advokat yang memiliki tugas membela dan memenagkan kasus yang dialami klienya tidak jarang melakukan ‘jalan pintas’ untuk kepentingan membayar suap atau mengambil pungutan ‘wajar’.
Oleh karena itu sebaiknya pemerintah melakukan pembenahan hukum mulai dari merevisi undang-undang Kitab undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Kitab Undang-undangan hukum Pidana (KUHP) agar celah permainan hukum dapat diminimalisir
Memang, bukan jaminan bahwa masih akan ada celah hukum yang terjadi nantinya. Melakukan pengawasan mulai dari pemberian sangsi (Reward dan punishment) sampai pada sistem perekrutan sumberdaya manusia harus diperhatikan. Implikasi dari praktek koruptif yang terjadi dapat mengakibatkan vonis kortingan yang dipenuhi hakim, tuntutan dan dakwaan oleh jaksa atau bahkan penyidik yang bisa mengada-ada atau meniadakan barang bukti.
Saat ini memang belum semua aturan hukum terbilang sempurna. Namun jika setiap lembaga pengampu dapat menjalankan fungsi pengawasan dapat diatur dengan teknis, tidak hanya di tataran undang-undang melainkan dapat dibuat standar operasional prosedur (sop), pemberian sanksi(Reward dan punishment), dan memperhatikan proses rekuitmen untuk memilih sumberdaya manusia yang berintegritas.
ICW berharap, lembaga pengampu tidak memainkan isu mafia peradilan sebagai masalah yang hanya diselesaikan di tataran etik saja. Dikhawatirkan ada lembaga pengampu yang hanya membawa kasus pelanggaran hukum oleh orang dari lembaga peradilan ke dalam dataran penyelesaian pelanggaran hukum.