Rapor Merah Jaksa Agung
Monday, 28 November 2016 - 00:00
Dua tahun kinerja penindakan kasus korupsi yang dipimpin Jaksa Agung HM Prasetyo masih belum memuaskan.
Hal tersebut berdasarkan hasil pemantauan yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW) sejak 20 November 2014 hingga Oktober 2016. Keputusan Presiden dengan menunjuk HM Prasetyo menjadi Jaksa Agung adalah langkah yang cukup kontroversial. Sejak awal Presiden telah menjamin bahwa yang akan memimpin Korps Adhykasa adalah orang yang bukan berlatar belakang politisi. Namun, akhirnya Presiden menunjuk politikus Partai NasDem itu untuk memimpin kejaksaan. Lalu, permasalahan apa saja yang timbul terkait kinerja Jaksa Agung dalam memberantas korupsi?
Permasalahan
Setidaknya ada tiga permasalahan krusial berkaitan dengan pemberantasan korupsi yang dilakukan kejaksaan, khususnya Kejaksaan Agung. Pertama, masih banyak kasus korupsi yang belum jelas per-kembangannya hingga hari ini. Perkembangan kasus korupsi yang belum jelas dimaknai sebagai kasus korupsi ketika berada dalam tahap penyidikan tidak kunjung dinaikkan statusnya ke tahap penuntutan. Berdasarkan pemantauan yang ICW lakukan, Kejaksaan Agungsepanjangduatahuntelah menangani 24 kasus korupsi.
Aktor yang terjerat sebanyak 79 orang tersangka dengan kerugian negara yang ditimbulkan sebesar Rp1,5 triliun. Artinya, setiap bulan Kejaksaan Agung hanya dapat menangani satu kasus korupsi. Janji Jaksa Agung untuk menuntaskan kasus korupsi yang mangkrak juga belum berhasil. Satuan Tugas Khusus Penanganan dan Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Korupsi atau Satgasus P3TPK yang beranggotakan 100 orang pun masih belum dapat menyelesaikan tunggakan kasus korupsiyangada.
Buktinya, dari 24 kasus korupsi yang ditangani Kejaksaan Agung, hanya sekitar 33% atau delapan kasus korupsi yang berlanjut ke proses persidangan. Sedangkan 67% atau 16 kasus masih tertahan di proses penyidikan. Beberapa kasus korupsi yang masih dalam tahap penyidikan antaralainkasusdugaan korupsi pembangunan gedung antara PT HIN dan PT CKBI yang merugikan negara sekitar Rp1,2 triliun. Kejaksaan Agung pada Februari 2016 menaikkan status penanganannya dari penyelidikan ke penyidikan.
Namun, hingga hari ini belum ada tersangka yang ditetapkan. Lalu, bagaimana sebenarnya ukuran kinerja yang diterapkan Jaksa Agung dalam penanganan kasus korupsi? Jangan sampai konteks penanganan kasus korupsi hanya dipandang satu sisi, yakni berdasarkan kuantitas. Tapi, di sisi lain mengabaikan penilaian dari aspek kualitas kasus yang ditangani. Padahal, kasus korupsi bukan hanya tentang siapa yang merugikan keuangan negara, namun juga tentang siapa sebenarnya aktor utama di balik kasus korupsi terjadi.
Apalagi ketika Jaksa Agung meminta tambahan anggaran sebesar Rp310 miliar. Jika kinerja kejaksaan bagus dalam pemberantasan korupsi, tidak jadi persoalan. Yang menjadi persoalan adalah ketika belum ada prestasi yang dilakukan terkait pemberantasan korupsi, namun sudah meminta tambahan anggaran. Kedua, aktoryangdisasaroleh Kejaksaan Agung kebanyakan yang jabatannya tidak strategis.
Contohnya pejabat pembuat komitmen (PPK) ataupun panitia lelang dalam konteks pengadaan barang dan jasa. Pemantauan ICW menunjukkan bahwa sebanyak 35 orang yang terjerat oleh Kejaksaan Agung mempunyai jabatan pejabat/ pegawai di kementerian/ lembaga/pemerintah daerah. Padahal, kasus tersebut dapat ditangani kejaksaan negeri ataupun kejaksaan negeri.
Selain itu, selama dua tahun Kejaksaan Agung hanya dapat menangani dua kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah antara lain kasus dugaan bansos Pemerintah Provinsi Sumatera Utara yang melibatkan Gatot Pujo Nugroho ketika menjabat sebagai gubernur. Satu lagi kasus dugaan korupsi bansos pada 2009-2012 di Cirebon yang melibatkan Wakil Bupati Cirebon Tasiya Soemadi. Hal tersebut menjadi salah satu catatan yang sangat penting.
Jaksa Agung sebagai pimpinan yang memiliki wewenang sangat besar tentu harus dapat memprioritaskan kasus-kasus yang dinilai menyita perhatian publik dan memiliki indikasi kerugian negara yang besar. Pada 2014 Kejaksaan Agung pernah menyelidiki ihwal rekening gendut kepala daerah salah satunya Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam. Meskipun kasusnya sudah masuk tahap penyelidikan, kasus tersebut dipetieskan. Alasannya, kasus tersebut tidak memiliki cukup bukti yang kuat untuk ditingkatkan ke proses penyidikan.
Sayangnya, pukulan telak menghantam kejaksaan ketika KPK menetapkan Nur Alam sebagai tersangka terkait dugaan penerbitan izin tambang sejak 2009 hingga 2014. Ketiga, transparansi dan akuntabilitas penanganan kasus korupsi yang masih buruk. Dalam konteks keterbukaan informasi, hal tersebut telah diatur di dalam Instruksi Presiden Nomor 7/2015 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (Aksi PPK). Namun, permasalahannya hampir seluruh kejaksaan baik di tingkat pusat maupun daerah belum memiliki database yang bisa diakses oleh masyarakat.
Hal tersebut tentu bagian dari ketidakpatuhan Jaksa Agung dalam melaksanakan instruksi Presiden. Salah satu permasalahan yang mendasar adalah sumber daya manusia yang tidak patuh dalam melaksanakan tanggung jawab untuk mengisi data penanganan kasus korupsi. Selama dua tahun menjabat sebagaijaksaagung, HMPrasetyo rasanya tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap agenda pemberantasan korupsi.
Kinerja pemberantasan korupsi mengecewakan, bahkan banyak kasus korupsi yang mangkrak. Hal ini perlu menjadi catatan, khususnya Presiden, dalam menentukan jaksa agung yang ideal dan pro terhadap pemberantasan korupsi. Presiden Jokowi memiliki kewenangan sangat besar dalam mengganti Jaksa Agung jika kinerjanya tidak memuaskan. Perlu ada evaluasi terhadap Jaksa Agung yang dilakukan Presiden karena sampai saat ini Presiden belum pernah mengevaluasi kinerja Jaksa Agung.
Sudah dua kali perombakan kabinet dilakukan oleh Presiden Jokowi, sayangnya sinyal untuk mengganti Jaksa Agung pun belum terlihat.
Wana Alamsyah, Peneliti Indonesia Corruption Watch
Tulisan ini disalin dari Koran Sindo, Edisi 28-11-2016