Refleksi Hari Antikorupsi Internasional, 9 Desember 2009
Demokrasi dan Korupsi
''...democracies and the costly electoral cycles associated with them are fertile ground for political corruption. While in office, the political leadership and legislators, dependent on external sources of funding and their re-election campaigns, tend to be influenced by pressure groups'' (S. Guhon, 1997).
Substansi pernyataan praktisi birokrasi India, S. Guhon, tersebut tampaknya bisa dijadikan rujukan utama untuk menjelaskan praktik korupsi di Indonesia yang terjadi demikian marak dan merebak serta menjadi bagian dari ''budaya'' di semua lini dan level. Demokrasi ternyata membuka ruang lebar bagi para koruptor untuk mengeksploitasi sumber-sumber yang tersedia dalam brankas negara yang selalu terkait dengan praktik politik biaya tinggi.
Peran politisi yang demikian dominan -mereka tidak hanya bermain di arena pengambilan kebijakan, melainkan juga di jajaran eksekutif-, tampaknya menjadi problem krusial dalam upaya pemberantasan korupsi di negeri ini. Mengapa?
Pertama, umumnya parpol dan politisi kita boleh dikatakan nir-ideologi, lebih berorientasi pragmatis ke arah dua subjek yang saling terkait: jabatan atau kekuasaan dan materi. Saat menjabat sungguh-sungguh dinikmati dengan memanfaatkan segala peluang dan sumber yang tersedia untuk mengakumulasi harta, termasuk mengembalikan berbagai biaya yang telah dihabiskan dalam proses-proses kontestasi untuk memperoleh jabatan.
Kecenderungan sikap dan sifat serakah seperti itulah yang kemudian membuat jabatan dan kekuasaan disalahgunakan. Uang negara yang merupakan bagian dari harta rakyat dirampas atau dirampok dengan tidak henti-henti dan tak bosan-bosannya.
Korupsi biasanya dilakukan secara bersama-sama, baik bersama aparat di lingkungan kerjanya maupun dengan jaringannya di luar struktur formal. Padahal, para pejabat itu, baik dari kalangan politisi maupun profesional dan karir, sebenarnya sudah memperoleh fasilitas atau kompensasi yang jauh lebih baik daripada rakyat.
Kedua, kalau mau jujur, kalangan parpol tidak memiliki sumber pendanaan tetap dan pasti untuk menjalankan seluruh agendanya. Kecuali parpol-parpol yang sudah mapan yang sebagian sumber dananya diperoleh dari setoran para anggota legislatifnya (juga rutin dari APBN), umumnya parpol tidak bisa mengandalkan kontribusi pendanaan dari rakyat yang diklaim sebagai anggotanya.
Fenomena tersebut menjadi konsekuensi bagi rakyat yang merasa belum memiliki keterikatan moral-politik dan batin dengan parpol dan atau politisi. Sebab, politisi menjalankan agendanya yang tidak hanya jauh dari kepentingan rakyat, melainkan juga kerap berlawanan dengan tuntutan rakyat.
Kecenderungan yang sama terjadi pada politisi. Kecuali mereka yang secara ekonomi sudah mapan (biasanya dari kalangan pengusaha) yang bisa membiayai semua keperluannya untuk ikut kontes perebutan kursi atau jabatan, umumnya masih memerlukan topangan pendanaan dari sumber-sumber di luar dirinya yang notabene tidak gratis. Para pendana politik, yang biasanya dari kalangan pengusaha atau pemilik modal, pastilah mengharapkan imbalan dari pihak yang dibiayai saat menduduki jabatan tertentu.
Parahnya, proses-proses perencanaan, implementasi, dan atau eksekusi anggaran negara masih demikian tertutup alias tidak transparan. Itu merupakan kondisi yang sangat memudahkan untuk dimainkan. Tender-tender proyek memang dilakukan dengan lebih dulu diumumkan ke publik melalui media massa, namun sesungguhnya tidak lebih sebagai formalitas belaka. Sang pemenangnya sudah dan atau bisa dengan mudah diatur oleh para pemegang administrasi proyek.
Dalam perspektif sosiologis, kecenderungan seperti itu sebenarnya sungguh membenarkan teori Karl Marx bahwa sesungguhnya negara hanyalah instrumen dari kalangan pemilik modal. Sulit diharapkan untuk benar-benar peduli pada kepentingan atau kebutuhan rakyat yang sesungguhnya.
Kondisi seperti itu memberi petunjuk jelas bahwa harta negara dan rakyat bangsa ini sungguh digerogoti oleh sekelompok elite yang terdiri atas pejabat dan jejaringnya. Mereka menjadi pengendali utama negara ini. Rakyat pun tak bisa protes, tidak boleh marah. Sebab, secara hukum atau konstitusi, para pejabat itu sudah memperoleh mandat melalui proses-proses demokrasi atau pemilihan langsung.
Kecenderungan seperti itu, pada tingkat tertentu, akan melahirkan sikap skeptis masyarakat terhadap demokrasi. Seolah-olah demokrasi itu jahat. Atau, setidaknya ''demokrasi untuk demokrasi itu sendiri'', yakni yang selalu menjadi pemenangnya adalah kekuatan pemilik modal dan politik yang minus ideologi.
Padahal, sesungguhnya tidak seperti itu. Filosofi demokrasi adalah menjadikan hak-hak individu bisa terekspresi dan sekaligus semua pihak yang memperoleh mandat sebagai pejabat birokrasi dan politik harus berorientasi serta tunduk pada agenda penciptaan kesejahteraan rakyat.
Mereka tidak diberi mandat untuk berkorupsi atau bentuk-bentuk lain pengangkangan terhadap hak-hak rakyat. Sebenarnya, pejabat mana pun yang menyalahgunakan jabatan dan kekuasaan untuk kepentingan diri, keluarga, serta kelompoknya, atas nama demokrasi, harus digilas melalui koridor hukum.
Tapi, tampaknya, kita tengah berada di atas jalan yang salah (on the wrong track) karena demokrasi tanpa desain sesuai hakikatnya itu. Kita hanya memberi ''cek kosong'' kepada politisi untuk kemudian mengisi sendiri sesuka hati. Ya, dengan cara korupsi.
Laode Ida, sosiolog, wakil ketua DPD; artikel ini pendapat pribadi
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 9 Desember 2009