Reformasi Birokrasi Kejaksaan Dinilai Setengah Hati
Kejaksaan dinilai baru membenahi setengah dari 12 program yang direncanakan.
KEJAKSAAN dinilai setengah hati dalam menjalankan komitmen reformasi birokrasinya. Pasalnya, setahun sudah sejak Jaksa Agung Hendarman Supandji mengumumkan program pembenahan birokrasi, lembaga negara bidang penuntutan tersebut belum juga menunjukkan prestasi yang signifikan.
Hal ini mengemuka dalam sebuah diskusi yang digelar Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI) di Jakarta, kemarin (19/7).
MaPPI menemukan bahwa hanya setengah bagian dari 12 poin program pembenahan Kejaksaan yang baru berjalan, antara lain pembaruan sistem rekrutmen dan pembaruan sistem pembinaan karir. "Enam hal itu juga masih berupa Perja (Peraturan Jaksa Agung) dan belum terlihat impelementasinya selama setahun ini," ujar Ketua MaPPI Hasril Hertanto.
Padahal, lanjut Hasril, jika memang Jaksa Agung sunguh-sunguh untuk memperbaiki lembaganya maka tidak perlu waktu yang lama untuk segera melakukan realisasi kebijakan. Merujuk kepada evaluasi MaPPI FHUI, ada beberapa kegagalan yang terjadi selama masa reformasi birokrasi di tubuh Kejaksaan.
Dalam kebijakan pencekalan, misalnya, intelijen kejaksaan belum bekerja dengan optimal. Lambannya usaha pencekalan seringkali mengakibatkan kaburnya terpidana ke luar negeri. Kemudian, kejaksaan juga dinilai masih lemah dalam pengelolaan alat bukti persidangan. Hal ini jelas terlihat dalam kasus Jaksa Esther Thanak dan Jaksa Dara Veranita yang menggelapkan barang bukti 343 butir ekstasi dari perkara yang mereka tangani. Kini, kedua jaksa penuntut umum tersebut telah menjadi tahanan kejaksaan.
Contoh kegagalan tersebut, menurut MaPPI diakibatkan oleh lemahnya pengawasan internal dan kurangnya transparansi di kejaksaan. Selain itu kejaksaan juga dianggap terlalu permisif dan tidak memberikan efek jera dalam menindak personilnya yang melakukan penyimpangan. "Harus diberikan shock therapy, mestinya ada regenerasi staf secara menyeluruh dan pimpinan yang baru harus punya komitmen penuh untuk jadi lebih baik," ujar Hasril.
Peneliti MaPPI FHUI Noptra tidak menampik jika dana operasional di kejaksaan yang minim menjadi faktor pemicu tidak maksimalnya kinerja aparat kejaksaan. Ia pun menghimbau agar pemerintah juga memperhatikan dana operasional di lembaga penuntutan tersebut.
Tetapi sebenarnya, integritas dan kredibilitas kejaksaan bisa menjadi lebih baik apabila cara berpikir sumber daya manusia di lembaga penuntutan tersebut tidak hanya berorientasi kepada uang. Money oriented, kata Noptra, memancing staf kejaksaan untuk melakukan suap atau menghilangkan barang bukti.
Wakil Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW) Emerson Juntho menilai jika aparat penegak hukum sering keliru memahami urusan kenaikan pendapatan tersebut. Menurutnya, harus ada jaminan untuk kinerja yang lebih baik dalam mengajukan peningkatan gaji.
Sebagai contoh, Emerson membandingkan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang juga lembaga penegak hukum. Dari segi kesejahteraan, aparat KPK mendapatkan jumlah yang jauh lebih baik dibandingkan kejaksaan. Namun, secara konkret, KPK jauh lebih berhasil pula dalam membereskan perkara pemberantasan korupsi daripada pihak kejaksaan. "Kinerja kejaksaan kan jauh dari kata berhasil,"ujar Emerson.
Sayangnya, ketika hal ini dikonfirmasikan kepada pihak Kejaksaan Agung, juru bicara Kejaksaan Agung Jasman Panjaitan malah seperti menunjukkan sikap negatif. "Udah tulis saja yang negatif. Selama ini kan kejaksaan selalu dianggap negatif," katanya. [by : Melati Hasanah Elandis]
Sumber: Jurnal Nasional, 21 Juli 2009