Reformasi Birokrasi = Remunerasi?

Pada 10 Desember 2005, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkunjung ke Mahkamah Agung. Presiden kala itu secara tegas menyatakan dukungannya terhadap reformasi birokrasi di jajaran pengadilan. Setelah itu, pertemuan-pertemuan pimpinan Mahkamah Agung (MA) dengan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)—pascagonjang-ganjing perkara dugaan suap Harini Wiyoso yang melibatkan lima pegawai MA—dilakukan. KPK berkomitmen membantu proses reformasi birokrasi di MA.

Sampai akhirnya, tercapailah kesepakatan untuk memasukkan MA menjadi salah satu pilot project reformasi birokrasi selain Departemen Keuangan dan Badan Pemeriksa Keuangan.

Berbagai hal disiapkan, MA bersama Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara menetapkan target-target yang harus dipenuhi.

Ada lima hal yang kemudian sering disebut quick wins, yaitu transparansi putusan/peradilan, pengembangan teknologi informasi, implementasi kode etik, penerimaan negara bukan pajak (PNBP), serta analisis pekerjaan, evaluasi, dan remunerasi (tunjangan kinerja).

Pada September 2007 disepakatilah pemberian remunerasi kepada pegawai MA senilai 70 persen dari total yang disepakati dengan pemerintah. Remunerasi itu riil diterima pegawai sekitar pertengahan 2008, dirapel sejak September 2007.

Perubahan-perubahan di lingkungan MA mulai terlihat meski terasa agak lambat. Situs pengadilan sedikit demi sedikit dibangun sampai akhirnya pertengahan 2008 sekitar 250 pengadilan sudah memiliki situs.

Pegawai lebih tertib dalam hal masuk dan pulang kantor (masuk pukul 08.00, pulang pukul 17.00). Maklum, terlambat masuk sama artinya remunerasi diterima tak utuh. Membolos sehari atau dua hari, potongan remunerasi cukup besar. Akhirnya, pegawai memang lebih tertib meskipun ketika siang hari beberapa bagian tak tahu mesti mengerjakan apa. Beban kerja tinggi tak datang setiap hari.

Ada beberapa pegawai yang memilih duduk di ruangan lain (temannya), beberapa memilih belanja ke Pasar Baru atau Tanah Abang yang jaraknya cukup dekat, ada juga yang mengantuk di mejanya.

Memang tidak semua terlihat tanpa aktivitas. Di bagian-bagian lain, beban pekerjaan justru sangat tinggi. Misalnya, kepaniteraan yang harus kejar tayang mengingat rata-rata hakim agung memutus 1.000 perkara dalam satu bulan. Dengan jumlah panitera yang minim, proses minutasi perkara menjadi persoalan.

Sejak kepemimpinan Bagir Manan dan kemudian diteruskan oleh Harifin A Tumpa, proses pengikisan tumpukan perkara memang sesuatu yang serius. Harifin berkali-kali mengungkapkan bahwa perkara yang sudah berada di MA lebih dari dua tahun (tunggakan perkara) mendapat prioritas penyelesaian (5.346 perkara per September 2008). Perkara baru tidak boleh diselesaikan lebih dari dua tahun.

Perilaku hakim
MA pun berusaha menunjukkan keseriusannya dalam penegakan kode etik perilaku hakim. Dalam tiga bulan terakhir, MA sudah menggelar tiga kali sidang Majelis Kehormatan Hakim (MKH). Satu hakim (bekas ketua pengadilan negeri) direkomendasikan untuk dipecat, dua hakim dinonpalukan atau tidak boleh menangani perkara masing-masing dua tahun dan 20 bulan.

Ketua Muda Pengawasan MA Hatta Ali pernah mengungkapkan, pihaknya sudah menjatuhkan sanksi setidaknya kepada 162 pegawai pengadilan (74 di antaranya hakim). Badan Pengawasan MA terus bergerak ke daerah menangani laporan pengaduan masyarakat yang meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2007, MA menerima 504 pengaduan masyarakat, 1.909 pengaduan di 2008, dan pada September 2009 pengaduan sudah 2.098 buah.

Tuntutan akan transparansi pengadilan, baik putusan, pengelolaan keuangan, termasuk biaya perkara, dijawab dengan keluarnya Surat Keputusan (SK) Ketua MA Nomor 144/2007 tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan. Desk Informasi dibangun di MA. Pengadilan diwajibkan memuat alur perkara dan membuat sistem informasi yang bisa diakses pengunjung. Situs-situs pun dikembangkan.

Bukan fundamental
Gerak reformasi birokrasi selama dua tahun di MA ternyata dinilai tidak menghasilkan perubahan yang fundamental. Capaian-capaian yang sudah dilakukan dinilai belum menjawab kebutuhan publik.

Hal itu, antara lain, dikemukakan Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas, pegiat antikorupsi Danang Widoyoko dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Saldi Isra dari Universitas Andalas, Padang, dan Zaenal Arifin Mochtar dari Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada.

”Belum ada perubahan yang substansial. Salinan putusan masih sulit didapat. Komisi Yudisial saja kesulitan, apalagi yang lain,” kata Busyro.

Busyro mengaku sulit memperoleh salinan putusan kasasi/peninjauan kembali dari MA. MA sering kali melempar/meminta KY ke pengadilan negeri setempat jika ingin meminta salinan putusan.

Juga substansi putusan hakim yang menurut Busyro masih jauh dari rasa keadilan. Putusan hakim belum mencerminkan adanya social empathy.

Mengenai sebaran situs pengadilan yang menjamur, Danang Widoyoko menilai bahwa hal tersebut belum menjawab kebutuhan pencari keadilan akan akses terhadap putusan dan informasi yang cepat.

”Itu cuma aksesori. Situs itu cuma sarana, yang terpenting adalah ketersediaan putusan. Putusan yang ada di situs adalah putusan lama. Perhatikan, ada updating putusan atau tidak,” kata Danang.

Seharusnya, tambah Danang, MA dan pengadilan-pengadilan di bawahnya meniru Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan selesai dibacakan, maka putusan sudah dapat diakses melalui situs MK. ”Janganlah kiranya MA ketinggalan terus,” ujarnya.

Sementara Saldi Isra mengakui adanya perkembangan positif di internal Mahkamah Agung, seperti dalam merespons Komisi Yudisial. MA mau bermitra dengan KY untuk menegakkan perilaku hakim seperti yang telah terungkap dalam penjatuhan sanksi kepada hakim melalui MKH.

Namun, secara keseluruhan Saldi berpendapat sama dengan orang-orang di atas. Belum ada perubahan signifikan. Dalam benak Saldi, sidang MA senantiasa terbuka. Putusan mudah dan cepat diakses.

Terkait dengan fakta tersebut, Busyro menyarankan agar pemberian remunerasi yang sudah dijalankan selama dua tahun ini ditinjau ulang. Harus dipikirkan ulang, apakah MA dan aparat pengadilan di bawahnya layak untuk menerima tunjangan kinerja khusus itu.

Adapun Ahmad Kamil setuju jika remunerasi ditinjau ulang. Namun, bukan untuk dihapuskan, tetapi ditingkatkan menjadi 100 persen. Baginya, sudah banyak yang dilakukan oleh MA.

Kesalahan paradigma
Zaenal Arifin Mochtar menilai, selama ini terjadi kesalahan paradigma dalam memaknai reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi tidak identik dengan pemberian remunerasi.

Terkait pandangan itu, Wiwik Awiati dari Tim Pembaruan MA mengatakan, benar bahwa reformasi birokrasi tidak sama dengan remunerasi. Pemberian remunerasi sebenarnya hanya langkah awal menuju reformasi birokrasi yang sesungguhnya. Pemberian remunerasi hanyalah untuk menyelamatkan para pegawai negeri sipil yang pendapatannya masih di bawah standar kebutuhan.

”Ini sebenarnya untuk mencegah corruption by need,” kata Wiwik.

Susana Rita Kumalasanti

Sumber: Kompas, 22 Desember 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan