Reformasi Birokrasi yang Masih Buram
Jeremy Bentham, filsuf kelahiran Inggris, lebih dari 250 tahun lalu mengingatkan, berbagai macam penyelewengan sangat mungkin terjadi pada lembaga yang tak terbuka. Hanya dengan keterbukaan, publikasi yang proporsional, termasuk di lembaga peradilan, pengawasan dan keadilan itu bisa terwujud.
Kesadaran tentang pentingnya akuntabilitas dan transparansi kepada publik itu, terutama dari pemerintah, sebenarnya sudah muncul sejak gerakan reformasi bisa mengganti pemerintahan Orde Baru yang cenderung tidak terbuka dan tanpa pertanggungjawaban yang memadai. Kesadaran inilah yang kemudian ”diterjemahkan” pemerintah menjadi program reformasi birokrasi.
Sosiolog Meuthia Ganie-Rochman, dalam tulisannya di harian ini, menyatakan, sebagian besar ahli dan praktisi pembangunan Indonesia tampaknya sepakat, reformasi birokrasi merupakan hal pokok untuk memperbaiki kesejahteraan (Kompas, 6/8). Masalahnya, bagaimana menghasilkan birokrasi yang kompeten untuk pertumbuhan ekonomi dan pelayanan kepada publik. Reformasi birokrasi tak hanya mencari sistem yang efisien, tetapi juga harus memerhatikan ketersediaan sumber daya untuk memenuhinya.
Transparansi dan akuntabilitas, seperti diingatkan Bentham, adalah kata kunci. Namun, sepanjang satu dasawarsa ini, harus diakui, hampir tidak terlihat perubahan nyata terkait perbaikan birokrasi di negeri ini.
Ada lima sasaran reformasi birokrasi yang ingin diwujudkan pemerintah, yakni birokrasi yang bersih, birokrasi yang efisien dan hemat, birokrasi yang transparan, birokrasi yang melayani, serta birokrasi yang terdesentralisasi. Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah dengan titik berat pada kabupaten/kota yang digulirkan sejak tahun 1999, rasanya baru birokrasi yang terdesentralisasi yang jelas terlihat.
Itu pun diwarnai dengan meningkatnya perkara korupsi yang terungkap di daerah, yang dicerminkan dengan kian banyaknya birokrat dan kepala daerah yang diadili karena terlibat korupsi. Belum lagi, pelayanan birokrasi kepada publik masih dikeluhkan, selain mahal, juga standardisasinya yang masih belum jelas.
Birokrasi di negeri ini memang tidak ramping. Mungkin karena itu, pemerintah menjalankan reformasi birokrasi melalui ”proyek percontohan”, yang pada awal dilakukan di Departemen Keuangan, Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Kantor Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara. Pada tahun-tahun berikutnya diikuti dengan instansi lain. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menargetkan pada tahun 2011 untuk keseluruhan kementerian dan lembaga negara (Kompas, 20/8).
Namun, seperti diingatkan Zainal Arifin Mochtar dari Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dalam diskusi di Komisi Yudisial, Jakarta, pekan lalu, pemberantasan korupsi, sebagai bagian dari reformasi birokrasi yang digulirkan pemerintah, tak cukup dilakukan dengan perbaikan remunerasi penyelenggara negara. Namun, selama ini persoalan kenaikan gaji dan kesejahteraan birokratlah yang lebih menonjol dipahami masyarakat dalam gerakan reformasi birokrasi ini.
Guru besar ilmu administrasi publik Universitas Gadjah Mada, Miftah Thoha, pun mengakui, kenaikan gaji memang dibutuhkan semua pegawai. Namun, penekanan pada kenaikan kesejahteraan pegawai dan pemberian reward and punishment saja menjadikan reformasi birokrasi tidak komplet (Kompas, 2/7).
Perilaku birokrasi
Keberhasilan reformasi birokrasi tentu saja paling mudah dilihat dari perubahan perilaku aparatur negara. Jika capaian reformasi birokrasi ini diukur dengan terwujudnya birokrasi yang bersih, seperti yang menjadi salah satu sasarannya, rentetan panjang berbagai kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme yang melibatkan pelayan masyarakat dapat menjadi jawabannya. Sampai saat ini birokrasi yang bersih masih sulit diwujudkan.
Zainal mengakui, memang sejak digulirkan 10 tahun lalu, banyak capaian yang dihasilkan dari gerakan reformasi. Dari sisi kuantitas, kita sungguh banyak menghasilkan hal. Namun, bukan dari sisi kualitas. Kondisi lebih buruk lagi terjadi pada hal yang terkait dengan perilaku birokrasi ini. Sepanjang tahun 2009 saja puluhan aparatur negara terkena sanksi atau diadukan karena melakukan tindakan yang ”tidak bersih”.
Dari dua kasus yang paling paling menonjol tahun 2009, dugaan kriminalisasi terhadap Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah serta dugaan penyimpangan pemberian dana talangan sebesar Rp 6,7 triliun pada Bank Century menunjukkan birokrasi yang bersih itu masih belum terwujud. Kondisi ini diperburuk dengan buruknya perilaku sejumlah aparatur negara, termasuk di Departemen Keuangan dan Mahkamah Agung yang menjadi percontohan reformasi birokrasi di negeri ini.
Hasil inspeksi mendadak KPK di Kantor Bea dan Cukai Tanjung Priok, Jakarta, beberapa saat lalu, yang menjadikan sejumlah pejabat diadili, menjadi potret nyata. Belum lagi, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Redaksi Kompas, Jakarta, beberapa saat lalu, juga mengakui masih ada pegawai Departemen Keuangan yang ditindak karena ”belum bersih”.
Wajah di Mahkamah Agung pun hampir tak berubah. Selain masih ”gelap” dan ”panjang” lorong pencarian keadilan di negeri ini, yang sejak lama dikeluhkan masyarakat, sejumlah penegak hukum pun terpaksa dihadapkan ke pengadilan dan majelis kehormatan. Mereka diduga melakukan perbuatan tercela.
Guru besar hukum tata negara Universitas Andalas, Padang, Saldi Isra, dalam diskusi di Komisi Yudisial, pekan lalu, mengakui masih rapuhnya komitmen pemerintah dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dan pemberantasan korupsi. Padahal, di situlah keberhasilan reformasi birokrasi nyata dirasakan masyarakat.
Walaupun demikian, Saldi mengingatkan, jangan berhenti melawan perilaku menyimpang. ”...Tetap jalani hidup ini, melakukan yang terbaik. Jangan menyerah... jangan menyerah...” (D’Masiv).
Tri Agung Kristanto
Tulisan ini disalin dari Laporan Akhir Tahun Kompas, 21 Desember 2009