Reformasi Informasi Publik Dimulai
MULAI hari ini, 30 April 2010, semua badan publik tidak lagi bisa menyembunyikan informasi manakala ada pihak yang meminta. Jika selama ini akses dan penyediaan informasi badan publik kurang transparan, kini tak akan terjadi. Bahkan, jika ngotot tidak menyediakan informasi secara terbuka, badan publik tersebut bisa dituntut.
Tuntutan menyediakan informasi kepada publik berkaitan dengan diberlakukannya Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Sesuai dengan amanatnya, UU KIP (UU 14/2008) ini harus diberlakukan setelah dua tahun disahkan pada 2008 lalu.
Sebagai orang yang bergelut dalam problem komunikasi dan informasi, tentu saya termasuk orang yang menyambut dengan sukacita diberlakukannya UU KIP ini. Sebab, inilah sejatinya kunci kegagalan penyelenggaraan negara selama ini.
Reformasi 1998 sejatinya juga bersumber dari tiadanya keterbukaan informasi. Akibat mengabdi berlebih pada pusat kekuasaan, hak-hak warga negara diabaikan. Dan, informasi sebagai sumber transparansi kala itu tidak cukup dimiliki oleh warga negara. Implikasinya, rakyat sama sekali tidak berperan dalam semua kebijakan publik dan hanya berposisi sebagai objek belaka.
Sekalipun saya dan banyak pihak menyambut sukacita atas pemberlakuan UU tersebut, tentu memerlukan waktu yang tidak pendek untuk benar-benar mewujudkan tujuan keterbukaan informasi publik.
Badan Publik
Yang dimaksud dengan badan publik adalah semua lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan lembaga yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN/APBD dan termasuk organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN/APBD, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.
Perlu dipahami bahwa badan publik bukan hanya pemerintah. Tetapi, juga pihak kepolisian, militer, kejaksaan dan pengadilan, partai politik, BUMN, BHP, lembaga swadaya pemerintah (LSM), yayasan, dan organisasi lain -sepanjang anggarannya dari APBN/APBD atau sumbangan masyarakat.
UU KIP mewajibkan semua badan publik tersebut menyediakan informasi publik secara transparan. Di antara informasi publik yang harus dibuka secara transparan adalah semua rencana kebijakan publik, penggunaan keuangan, dan kegiatan yang dilakukan badan publik. Sekalipun demikian, memang tidak semua informasi disediakan. Ada sejumlah informasi yang dirahasiakan dan hanya boleh diminta dengan persyaratan.
Ada sejumlah titik krusial yang berpotensi menimbulkan konflik atau sengketa informasi. Misalnya, informasi yang menyangkut penggunaan keuangan dan informasi yang masuk kategori rahasia negara. Perbedaan mempersepsi makna rahasia negara, misalnya, sangat berpotensi melahirkan sengketa informasi.
Jika terjadi sengketa informasi, Komisi Informasi akan melakukan mediasi. Jika gagal, dilakukanlah adjudikasi non-litigasi (pengambilan keputusan oleh Komisi Informasi). Jika kedua tindakan tersebut juga masih belum diterima pihak bersengketa, persoalan akan dibawa ke PTUN (bagi badan publik pemerintah), dan ke pengadilan negeri (bagi badan publik nonpemerintah).
Implikasi
Informasi memang menjadi kunci penting berkaitan dengan urusan publik. Karena itu, publik atau warga negara memiliki hak untuk memperoleh informasi atas semua urusan publik. Hak memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia. Oleh karena itu, keterbukaan informasi publik menjadi sebuah keniscayaan, dan merupakan salah satu ciri penting negara demokratis.
Dengan adanya UU KIP, rasanya harapan besar mewujudkan transparansi kebijakan publik bakal terwujud. Dengan keterbukaan informasi, semua pihak dapat mengawasi proses kebijakan publik. Tetapi, sekali lagi, perlu waktu yang tidak pendek. Sebuah negara maju, seperti Inggris, memerlukan waktu tujuh tahun untuk bisa menarapkan undang-undang yang sama.
Setelah dua tahun UU KIP disahkan, di Indonesia baru Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur yang termasuk paling siap melaksanakan. Indikasi ini terlihat setidaknya dari kegiatan kedua provinsi merekrut anggota Komisi Informasi. Sementara itu, ternyata tidak semua badan publik juga cukup siap mengantisipasi UU KIP. Dalam riset yang dilakukan Puskakom Surabaya (2009-2010), ternyata sebagian besar badan publik selama ini belum memiliki kesiapan yang memadai untuk melaksanakan amanat UU tersebut. Bahkan, ada badan publik yang sampai sekarang tidak mengetahui ikhwal UU KIP tersebut.
Nah, kalau badan publik tidak tahu-menahu soal UU KIP, bagaimana tujuan mewujudkan penyelenggaraan kebijakan publik secara baik? Padahal, tujuan keterbukaan informasi publik untuk menjamin hak warga negara mengetahui secara detail kebijakan publik. Mulai rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik.
Implikasi atas pemberlakuan UU KIP ini, semua badan publik kini harus menyediakan tenaga yang secara khusus menangani masalah informasi. Dalam UU disebutkan namanya Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID). Lebih dari itu, semua badan publik juga harus menyiapkan sistem manajemen informasi publik yang terorganisasi. Dan, yang paling harus segera diputuskan adalah penyediaan anggaran komunikasi publik. Sebab, secara berkala (setahun dua kali), badan publik harus menyediakan informasi publik secara meluas.
Karena itu, badan publik harus segera mereformasi pengelolaan informasi publik. Keterbukaan informasi publik diharapkan mampu mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik. Akhirnya terwujud penyelenggaraan negara yang baik, transparan, efektif dan efisien, akuntabel, serta dapat dipertanggungjawabkan. (*)
Suko Widodo, dosen Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Airlangga
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 30 April 2010