Reformasi MA
Sikap bebal, acuh tak acuh dan ketertutupan Mahkamah Agung (MA) membawa ingatan publik pada semangat kolonialisme. Ide yang selalu hadir dibalik hukum yang diberlakukan secara diskriminatif pada daerah jajahan.
Sikap bebal, acuh tak acuh dan ketertutupan Mahkamah Agung (MA) membawa ingatan publik pada semangat kolonialisme. Ide yang selalu hadir dibalik hukum yang diberlakukan secara diskriminatif pada daerah jajahan.
Seperti Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) yang dijadikan dasar hukum menolak BPK mengaudit biaya perkara di MA. Sekaligus, memberikan bukti baru, kegagalan Reformasi Birokrasi MA.
Maindset kolonial
63 tahun sudah Indonesia merdeka. Setengah abad lebih konstitusi menegaskan eksistensi kebangsaan. Namun, MA masih bersikeras menggunakan maindset hukum kolonial. Agaknya petinggi MA harus baca ulang semangat konstitusi. Kalaupun undang-undang yang telah ada sebelum UUD 1945 masih tetap berlaku, maka ia tidak boleh bertentangan dengan hukum dan perundang-undangan ada.
Demikian juga dengan konflik MA dan BPK tentang audit biaya perkara. Seperti diketahui, penolakan institusi yang memegang tampuk kekuasaan kehakiman ini didasarkan pada HIR. Persisnya, pasal 120, 121, 182, dan 183 Het Herziene Indonesisch Reglement yang terbit di tahun 1941.
Asas hukum yang sangat sederhana, seharusnya semangat ketertutupan HIR dapat disingkirkan oleh UU yang ada di kemudian hari (pasca Indonesia merdeka). UU 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara, misalnya. Ia tegas mengatur jangkauan tugas dan kewenangan BPK.
Dan semua kewenangan tersebut dijamin konstitusi. Pasal 23E UUD 1945 ayat (1) meletakkan dasar yang sangat kuat. Disebutkan,