Reformasi MA di Persimpangan Jalan
Proses penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Mahkamah Agung (RUU MA) dalam beberapa hari terakhir telah menjadi sorotan berbagai kalangan masyarakat. Menarik untuk dicermati karena pembahasan RUU ini dilakukan tertutup dan terkesan terburu-buru serta muncul aroma “tak sedap” berupa dugaan politik uang yang melingkupi pembahasan RUU itu.
Secara subtansi, isu krusial yang muncul dari pembahasan tersebut adalah mayoritas fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyepakati perpanjangan usia pensiun hakim agung menjadi 70 tahun. Kesepakatan yang dibuat oleh DPR dan Pemerintah lebih didasarkan pada pertimbangan perbandingan usia pensiun hakim agung di beberapa negara seperti Amereika Serikat dan Inggris. Jikapun DPR akhirnya menetapkan usia pensiun hakim agung 70 tahun, hal ini tidak saja mengecewakan namun juga langkah mundur bagi upaya reformasi dan regenerasi di MA. Penetapan ini sudah selayaknya ditolak dengan beberapa alasan.
Pertama, angka harapan hidup dan tingkat kesehatan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Departemen Kesehatan tahun 2003, angka harapan hidup orang Indonesia paling rendah se ASEAN yaitu 65 tahun. Tahun 2006 angkanya naik menjadi 66,2 tahun. Artinya diatas usia 66 tahun, kondisi orang Indonesia menurun karena dipengaruhi banyak hal. Kedua, usia 70 tahun tergolong usia tidak produktif.
Menurut BPS, usia penduduk dikelompokkan menjadi tiga yaitu belum produktif (0-14 tahun), produktif (15-65) dan tidak produktif 66 keatas. Berdasarkan kategorisasi itu, jelas bahwa hakim agung dengan usia 70 tahun termasuk yang tidak produktif. Dihubungkan dengan beban perkara MA saat ini, usia hakim agung yang terlalu tua tentu akan sangat menghambat proses percepatan reformasi MA dari pengurangan tumpukan perkara. Saat ini, tunggakan di MA ditambah perkara yang masuk mencapai 20 ribu perkara. Dengan beban kerja menyelesaikan tunggakan perkara di MA yang berat dan menyangkut, nasib masyarakat luas, tentu usia pensiun 65-67 tahun sudah merupakan usia maksimal.
Membandingkan dengan AS dan Inggris
Ketiga, perbandingan dengan profesi atau lembaga lainnya. Alasan penetapan usia pensiun 70 tahun tidak jelas, dan lebih tinggi dibanding sejumlah jabatan publik lainnya. Misalnya untuk Hakim Mahkamah Konstitusi usia pensiun adalah 67 tahun, Polisi dan Jaksa usia pensiun adalah 58-60 tahun, Pegawai Negeri Sipil usia pensiun hanya 56 tahun. Keempat, tidak fair membandingkan hakim agung di Indonesia dengan Amerika
Serikat dan Inggris hanya melihat pada faktor usia, tanpa melihat kecakapan intelektual dan kematangan budaya masyarakat setempat serta kepercayaan publik terhadap institusi pengadilan. Dalam konteks Indonesia keinginan memperpanjang usia pensiun hakim agung menjadi persoalan ketika realitas sosiologis tidak mendukung.
Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pengadilan di Indonesia sangat rendah. Pengadilan di Indonesia masih dinilai belum bersih dari korupsi dan intervensi politik atau kepentingan tertentu. Selain itu berdasarkan hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) 2008, peradilan Indonesia disebut sebagai peradilan terkorup di Asia. Hal ini terlihat dari 12 negara yang disurvei, ternyata Indonesia menduduki peringkat ke-12 dengan skor 8,26. MA juga masih jauh dari kesan bersih, mafia peradilan masih marak, pengelolaan keuangan buruk, sikap anti transparansi, tingkap kepatuhan pada rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan rendah, sejumlah rekening liar masih ada di MA, dan bahkan proses pembaruan peradilan pun masih terganjal akibat MA tidak patuh dengan “blueprint” yang disusunnya sendiri sebelumnya.
Kelima, dalam kondisi seperti itu, yang perlu dilakukan adalah perombakan dan munculnya generasi baru hakim agung. Dengan cara itu, barangkali publik masih punya harapan akan hadirnya kekuasaan kehakiman yang bersih dan terbebas dari kooptasi kepentingan apapun. Dengan kata lain, hal ini akan menghilangkan hak dari hakim-hakim muda progresif untuk bisa menjadi Hakim Agung. Lebih dari itu, kebijakan ini sama artinya, tetap membiarkan mafia peradilan dan segala kompleksitas masalah di MA terus berjalan, bahkan memperkuat dirinya.
Membahayakan Pembaharuan di MA
Keenam, delegitimasi kewenangan Komisi Yudisial (KY) dalam melakukan seleksi calon hakim agung. Bila usia diperpanjang menjadi 70 tahun, tentu hingga 3-5 tahun mendatang KY tidak melakukan seleksi hakim agung. Atau, pantas publik khawatir, rencana perpanjangan usia pensiun ini berada dibalik upaya memperpanjang masa jabatan Ketua MA saat ini, mengingat beberapa kali bahkan Bagir Manan telah mencoba memperpanjang usia pensiunnya sendiri. Penetapan usia pensiun hakim agung 70 tahun kenyataannya hanya akan menguntungkan sekelompok pihak, namun membahayakan kepentingan pembaharuan di MA. Berangkat dari buruknya potret MA saat ini, DPR dan Pemerintah seharusnya tidak perlu mempertahankan status quo dan hakim-hakim “usia senja” di MA.
Usulan perpanjangan usia pensiun Hakim Agung saat ini juga tidak akan banyak manfaatnya, setidaknya tidak sebanding dengan kerugian yang akan dihasilkan.
Citra Mahkamah Agung, citra DPR dan partai-partai yang ada didalamnya, citra Presiden semua akan tercoreng. Upaya reformasi peradilan yang telah berjalan selama 8 tahun tak akan ada nilainya di mata publik hanya karena alasan penambahan usia pensiun bagi Hakim Agung.
Penetapan usia pensiun 70 tahun bagi hakim hanya akan menunjukan arogansi kekuatan tua di MA dan persekongkolan elit Pemerintah bersama DPR ketimbang itikad untuk memberbaiki MA. Argumentasi yang mengatakan jika usia pensiun tidak dijadikan 70 tahun, maka akan berakibat stagnasi di MA pun, dinilai tidak berdasar. Memperhatikan data Komisi Yudisial, dari 48 hakim agung yang ada di MA saat ini, hanya 11 yang akan pensiun pada tahun 2009 jika usia pensiun tetap tunduk pada umur 67 tahun. Atau, sekitar 23% saja.
Oleh karena itu, pihak yang mendukung usia pensiun 70 tahun dapat dikategorikan pihak yang anti perubahan, pro dengan mafia peradilan, dan tidak punya itikad baik untuk mendorong pembersihan MA dan Peradilan Indonesia. MA saat ini membutuhkan perubahan dan kepercayaan dari masyarakat, bukan hakim jompo. Proses reformasi di MA saat ini berada dipersimpangan jalan. Pilihannya menjadi lebih baik atau jauh lebih buruk.
Emerson Yuntho, Penulis adalah anggota Badan Pekerja Indonesia Coruption Watch.
Tulisan ini disalin dari Sinar Harapan, 6 Oktober 2008