Refromasi Birokrasi; Hukuman Berat untuk Pegawai Berupah Besar
Terkuaknya kasus mafia hukum yang melibatkan pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Gayus HP Tambunan menjadi bukti reformasi birokrasi dengan menaikkan upah pegawai dinilai gagal, bahkan hanya menghabiskan anggaran negara. Hukuman berat diperlukan untuk memberikan efek jera pada pegawai negeri sipil yang mendapat upah besar, tetapi masih juga melakukan korupsi.
Pendapat itu dikatakan Wakil Ketua DPR Pramono Anung dan Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional Dradjad Wibowo, secara terpisah, di Jakarta, Senin (29/3). Pramono mengakui, praktik makelar kasus pajak itu sudah menjadi rahasia umum.
Menurut dia, praktik makelar pajak hanya bisa diselesaikan secara hukum. Sudah selayaknya makelar kasus pajak dihukum seberat-beratnya agar mereka jera dan tak lagi melakukan pelanggaran. Apalagi, kebutuhan dasar pegawai pajak relatif terpenuhi, karena mereka memperoleh gaji dan remunerasi tinggi. ”Kebutuhan dasar mereka sudah dipenuhi sesuai dengan jabatannya. Jadi, kalau melakukan pelanggaran, ya, harus dihukum seberat-beratnya,” katanya.
Dradjad menambahkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus memberikan pengawasan ketat pada instansi pemerintah yang menjalankan reformasi birokrasi dan pegawainya mendapatkan remunerasi besar.
Praktik makelar kasus di Ditjen Pajak itu menunjukkan pemberian remunerasi yang besar tak pernah bisa menjadi solusi bagi pencegahan korupsi dan perbaikan pelayanan. Pemberian remunerasi itu justru membuat beban APBN bertambah berat.
Atas dasar itulah Dradjad menilai reformasi birokrasi salah desain sehingga seharusnya reformasi birokrasi ala Kementerian Keuangan itu ditinjau ulang. ”Terapkan zero tolerance, yakni batalkan remunerasi bila ada satu saja pegawai yang melakukan korupsi,” katanya.
Di Bandung, Jawa Barat, Senin, mantan Wakil Presiden M Jusuf Kalla mengakui masih belum berhasilnya reformasi birokrasi di Indonesia. Segala indikasi penyelewengan tugas dan wewenang pegawai pemerintahan harus diusut dan diberikan penanganan hukum yang tepat. ”Kalau terbukti bersalah, harus dijerat dengan hukum,” kata Kalla.
Dengan reformasi birokrasi, Kalla mengakui, seharusnya bentuk penyelewengan oleh pegawai pemerintahan bisa ditekan. Alasannya, dalam beberapa kesempatan pemerintah menaikkan gaji PNS, disesuaikan dengan kondisi ekonomi.
Ke depan, ia berharap pengawasan terhadap kinerja pegawai pemerintahan diperketat. Tujuannya, berjaga-jaga agar tak terjadi penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oknum tak bertanggung jawab lainnya.
Cuma eksekutor
Pramono menengarai, Gayus Tambunan tak sendiri melakukan makelar kasus. ”Gayus cuma eksekutor. Pasti ada yang membuat kebijakan. Tidak mungkin transaksi hingga Rp 25 miliar itu dilakukan Gayus yang posisinya bukan pejabat tinggi,” tuturnya.
Pramono dan Dradrad minta penegak hukum untuk membongkar praktik dan jaringan makelar kasus di Ditjen Pajak. ”Untuk Gayus, saran saya bernyanyilah. Akui kesalahan, kembalikan uang negara, dan bongkar mafia pajak yang diketahuinya,” kata Dradjad.
Direktur Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur (KITSDA) Ditjen Pajak Bambang Basuki menyebutkan, Gayus melakukan kesalahan fatal dengan menerima uang dari wajib pajak perusahaan yang perkaranya tengah ditangani.
”Uang itu diberikan karena ia menjanjikan sesuatu untuk membantu wajib pajak yang bermasalah,” katanya.
Bambang menjelaskan, dari 51 kasus keberatan pajak di pusat yang ditangani Gayus, 38 kasus di antaranya diputus dengan menerima keberatan wajib pajak. Di luar itu masih ada 372 kasus banding keberatan pajak yang berasal dari kantor wilayah yang juga ditangani Gayus.
Dalam dua kali pemeriksaan terhadap Gayus, kata Bambang, belum ditemukan adanya keterlibatan pegawai lainnya. ”Kami sudah tekan, tetapi ia tak mengaku. Kami berkomitmen tetap akan menindak siapa pun yang terlibat,” paparnya lagi.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar menambahkan, Direktorat Jenderal Imigrasi berkoordinasi dengan Singapura untuk memblokir paspor Gayus. Paspor itu tak bisa lagi dipakai bepergian ke luar negeri.
Di Batam, Kepulauan Riau, Senin, Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Ito Sumardi menyebutkan, kasus Gayus tak perlu dilimpahkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Konflik kepentingan yang dikhawatirkan masyarakat jika hal itu ditangani Polri tak akan terjadi.(CHE/LAS/IDR/HAR/WHY/NTA/FER)
Sumber: Kompas, 30 Maret 2010