Rehabilitasi Aceh Sarat Korupsi; ICW Minta BPK Turun Tangan
Sejumlah kejanggalan serta penyimpangan dalam rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana alam tsunami di Aceh kemarin diungkap Indonesia Corruption Watch (ICW).
Kejanggalan tersebut merupakan hasil investigasi dan monitoring langsung yang dilakukan komisi masyarakat untuk penyelidikan korupsi itu sejak 1 Maret hingga akhir November 2005 di tujuh daerah pemantauan. Yang disoroti terutama program pembangunan perumahan, pemberian perahu nelayan, serta jatah hidup (jadup).
Hal tersebut kemarin diungkapkan Wakil Koordinator ICW Luky Djarni yang didampingi anggota tim monitoring dari Subkomisi Darurat Kemanusiaan (KDK) Firdaus Ilyas.
Hasil investigasi dan monitoring, kami menemukan beberapa penyimpangan dan pemotongan jatah hidup bagi para korban tsunami di Aceh. Kami fokus pada tiga program ini karena berpengaruh pada kualitas dan kesejahteraan masyarakat di Aceh serta untuk keamanan, terutama dari aspek ekonomi dan sosial. Kami menggunakan metode sampling di beberapa desa dan kecamatan, jelas Luky.
Menurut dia, pembangunan rumah merupakan kebutuhan mendesak bagi pengungsi. Sayangnya, upaya membangun rumah tersebut masih sangat rendah. Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) yang menargetkan 30 ribu rumah baru menyelesaikan lebih dari 16 ribu rumah. Itu pun rumah yang dibangun sebagian besar dikelola organisasi, baik lokal maupun internasional, ungkapnya.
Luky juga menyayangkan masih banyaknya penyimpangan. Ini sungguh ironis. Para pengungsi seharusnya mendapatkan bantuan dengan cepat agar tidak terkatung-katung. Tetapi, mereka malah dibebani berbagai pungutan dan pemotongan jatah hidup, ujarnya.
Firdaus menjelaskan, timnya menemukan penyimpangan dalam pembangunan rumah, baik kualitas maupun kuantitas. Banyak rumah yang dibangun NGO atau LSM yang tidak memenuhi standar yang telah ditentukan. Padahal, Departemen Pekerjaan Umum sudah mengeluarkan semacam petunjuk untuk pembuatan rumah tahan gempa untuk kondisi di Aceh, tegasnya.
Penyimpangan untuk perumahan tersebut juga bisa dilihat dari kualitas rumah yang rendah dan tidak dilengkapi standar dasar seperti sarana air bersih, sanitasi, serta penerangan. Dari segi fisik, yang baru selesai dibangun banyak yang sudah retak, fondasi tidak kuat, harga pembangunan unit rumah bervariasi, serta terdapat pungutan terhadap pengungsi. Umumnya sebagai ongkos pembelian tanah maupun pengurusan sertifikat, jelasnya.
Menurut data ICW, di Kabupaten Bireuen, setiap penerima bantuan rumah harus membayar sekitar Rp 800 ribu untuk menambah upah pekerja. Ada juga yang dimintai Rp 300 ribu untuk mengurus akta tanah. Bahkan, ada yang harus membayar Rp 2 juta-Rp 3 juta untuk mengurus akta tanah. Padahal, pemerintah melalui BRR mengeluarkan 600 ribu sertifikat gratis. Tapi, ada orang-orang yang memanfaatkannya dengan menarik pungutan, ujar Firdaus.
Selain itu, dia menyatakan, penyimpangan terjadi pada program pemberian uang lauk-pauk yang besarnya dipatok Rp 3.000/jiwa/hari bagi pengungsi. Modusnya mulai pemotongan hingga mark-up. Ditemukan juga jadup fiktif. Menurut laporan Dinas Sosial NAD (Nanggroe Aceh Darussalam), uang jadup hingga tahap kelima yang sudah dibagikan mencapai Rp 228 miliar. Tapi, pengungsi sering mengeluh karena ada pemotongan. Kasus yang kami temukan, telah terjadi 41 pemotongan dengan nilai mencapai Rp 419 ribu, mark-up jumlah pengungsi sebanyak tiga kasus senilai Rp 49 juta, dan 13 kasus jadup fiktif senilai Rp 44 juta, jelasnya.
Mengenai bantuan perahu nelayan, kata Firdaus, Depsos beserta Departemen Perikanan dan Kelautan menargetkan menyediakan 1.320 unit perahu untuk nelayan Aceh. Ternyata, di lapangan, banyak perahu yang tidak memenuhi standar atau tidak bisa digunakan untuk kondisi laut Aceh. Selain itu, harga yang diusulkan Depsos sangat mahal dibandingkan harga yang diajukan panglima laut atau masyarakat setempat. Tidak semua kelengkapan perahu dipenuhi seperti yang disyaratkan. Misalnya, ada perahu yang tidak bermesin, tidak alat pancing, dan tidak mempunyai tempat penyimpan ikan, katanya.
Selain itu, berdasar data ICW, para nelayan Aceh yang menerima perahu masih harus mengeluarkan uang. Mereka harus mengeluarkan uang Rp 1 juta-Rp 7,5 juta untuk memperbaiki perahu agar bisa melaut. Juga, Rp 200 ribu-Rp 500 ribu untuk membeli perlengkapan perahu. Anggaran yang ditetapkan untuk membuat satu unit perahu Rp 50 juta. Tapi, kondisi perahu tidak mencerminkan besarnya anggaran, tegasnya.
Karena itu, kata Luky, ICW merekomendasikan agar BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) segera mengaudit investigatif dana penanggulangan bencana, khususnya pembangunan rumah, program bantuan perahu nelayan, dan program jadup. Kami juga meminta agar KPK segera menyelidiki dan menyidik penyimpangan-penyimpangan penggunaan bantuan, baik pada masa tanggap darurat maupun tahap rehabilitasi dan rekonstruksi, ungkapnya.
Selain itu, ICW menuntut agar BRR segera memperbaiki kinerja pengawasan dan pengendalian untuk mencegah terjadinya penyimpangan pada masa mendatang. (dek)
Sumber: Jawa Pos, 30 Desember 2005