Rekanan Depnakertrans Dituntut 4 Tahun
Penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi menuntut Ines Wulanari Setyawati dengan hukuman empat tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider tiga bulan kurungan. Direktur PT Gita Vidya Utama ini juga dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp 1,7 miliar.
Seperti diutarakan dalam persidangan di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu (6/5), penuntut umum berpendapat, Ines melakukan tindak pidana korupsi pada 2004.
Persisnya, ketika dia menjadi rekanan proyek Pengembangan Sistem Pelatihan dan Pemagangan pada Direktorat Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri (Ditjen Binapendagri) Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Dalam persidangan yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Edward D Pattinasarani, penuntut umum Risma Ansyari menjelaskan, korupsi bermula ketika Ines mendapat informasi proyek itu di Ditjen Binapendagri itu dari rekan suaminya, yaitu Poempida Hidayatullah. Poempida merupakan menantu Fahmi Idris yang saat itu menjadi Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Pada 23 Desember 2004 Taswin Zein, pemimpin proyek tersebut, memberi tahu Ines bahwa dia menjadi rekanan pelaksana dalam pengadaan peningkatan fasilitas mesin dan peralatan untuk tiga balai latihan kerja, yaitu di Makassar (Sulawesi Selatan), Ternate (Maluku Utara), dan Samarinda (Kalimantan Timur). Proyek itu senilai Rp 9,98 miliar.
Formalitas
Ines lalu menyiapkan dokumen perusahaan dan blangko kop surat atas nama PT Gita Vidya Utama untuk memenuhi proses administrasi secara formalitas.
Dia juga menandatangani seluruh dokumen dan surat-surat berkaitan dengan pengadaan, kontrak, serah terima pekerjaan, seolah-olah sesuai dengan prosedur dan mekanisme pengadaan. Dengan demikian, negara lalu mengeluarkan sejumlah uang untuk proyek tersebut.
Karena semua ketentuan dalam proyek yang dilakukan melalui penunjukan langsung ini hanya untuk memenuhi formalitas, negara menjadi mengeluarkan sejumlah uang atas dasar bukti yang tidak sah. Akibatnya, negara menjadi pihak yang dirugikan.
Dalam perkara ini, pada 15 April lalu, Bachrun Effendi, divonis empat tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider enam bulan kurungan. (NWO)
Sumber: Kompas, 7 Mei 2009