Rekening Liar Pemerintah
Belum tuntas pengusutan dugaan korupsi dalam penyaluran dana taktis dan dana nonbujeter di Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP),muncul lagi kabar soal bejibunnya rekening liar di pemerintahan. Departemen Keuangan menyatakan terdapat 5.195 rekening liar di pemerintahan.
Angka yang sangat mengagetkan. Lebih besar dari temuan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2005 yang mencatat 1.303 rekening liar yang tersebar di 34 departemen dan lembaga pemerintahan.Temuan ini harus mendapat perhatian serius dari pemerintah dan lembaga terkait seperti BPK,Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Jika kasus dana DKP dengan dugaan korupsi sebesar lebih dari Rp30 miliar hanya dua di antara ribuan rekening liar di Departemen, angka 5.195 rekening liar tentu bukan hal biasa. Dugaan penyelewengan keuangan negara terkait dana liar di pemerintahan bisa jadi berjumlah sangat besar, dapat mencapai angka triliunan rupiah. Direktur Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Departemen Keuangan Hekinus Manao menyatakan, jumlah uang negara yang terparkir di 5.195 rekening liar di lembaga dan departemen pemerintah mencapai Rp17,6 triliun.
BPK juga mencatat angka yang fantastis. Hasil audit pengendalian internal atas LKPP tahun 2005 menemukan total sejumlah 1.303 rekening, yang terdiri atas 680 rekening giro atas nama pejabat pemerintah dengan nilai mencapai Rp7,2 triliun dan 623 rekening deposito milik pemerintah di bank umum senilai Rp1,3 triliun, sehingga total dana yang terparkir mencapai Rp8,5 triliun.
Nilai temuan BPK atas rekening liar di departemen terus melonjak dari tahun ke tahun.Temuan atas LKPP tahun 2005 meningkat hingga dua kali lipatnya jika dibandingkan temuan laporan yang sama tahun sebelumnya. Pada 2004,BPK menemukan 277 rekening pemerintah dengan nilai Rp3,5 triliun di Bank Indonesia tidak ikut disajikan dalam LKPP.
Hal yang sama juga ditemukan di bank umum pemerintah, sebanyak 29 rekening dengan nilai Rp13,5 triliun.Masih pada dokumen yang sama juga disebutkan terdapat 651 rekening pemerintah di bank umum pemerintah senilai Rp3,4 triliun juga tidak ikut disajikan dalam LKPP, juga tidak dicatatkan dalam laporan keuangan. BPK kemudian mempertanyakan transparansi atas pengelolaan rekening-rekening ini.Karena tidak disertakan dalam laporan keuangan, berarti laporan dapat dipandang tidak mewakili keadaan posisi keuangan pemerintah yang sebenarnya, atau belum begitu jujur apa adanya.
Belajar dari kasus dana DKP dari kasus dana abadi umat di (DAU) di Departemen Agama, rekening-rekening liar di pemerintahan dikelola dengan sangat terpusat. Fungsi kebendaharaan negara yang seharusnya mengarahkan penggunaan anggaran sesuai dengan rencana anggaran seperti diatur dalam UU No 1/2004 tentang Perbendaharaan
Negara tidak diterapkan dalam pengelolaan rekening-rekening ini.
Akibatnya, uang yang ada di rekening-rekening ini bak dana segar, dapat dinikmati siapa saja yang dikehendaki sang pemegang rekening. Dalam kasus Dana DKP dan DAU, rekening ini banyak dibelanjakan untuk kepentingan teman dekat, keluarga, dan juga banyak mengalir untuk kepentingan politik, termasuk untuk kepentingan pemenangan Pemilu 2004 lalu.
Pelanggaran Aturan
Munculnya rekening liar di pemerintahan bertentangan dengan aturan ma-in soal penganggaran negara. Hal terse-but tidak sesuai dengan UU No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara Pasal 29 yang menyebutkan bahwa menteri/pimpinan lembaga dapat membuka rekening untuk keperluan pelaksanaan penerimaan di lingkungan kementerian negara/lembaga yang bersangkutan setelah memperoleh persetujuan dari Menteri Keuangan selaku bendahara umum negara.
Lumpuhnya tugas kebendaharaan negara juga bertentangan dengan Pasal 10 UU yang sama, yang menyebutkan bahwa menteri/pimpinan lembaga/gubernur/ bupati/wali kota mengangkat bendahara untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan anggaran pada kantor/satuan kerja di lingkungan kementerian negara/ lembaga/satuan kerja perangkat daerah.
Fenomena rekening liar di pemerintahan juga bertentangan dengan UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara. Pasal 3 UU ini menyebutkan bahwa semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban negara/daerah dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBN. Dalam praktik rekening liar, tidak semua penerimaan yang menjadi hak negara dimasukkan di dalam APBN. Demikian juga halnya dengan pengeluarannya. Hal inilah yang menjadi cikal bakal terjadinya penyalahgunaan kekuasaan yang berbuntut pada terjadinya korupsi.
Pengusutan Rekening Liar
Rekening liar, bukan hal baru dalam praktek keuangan pemerintah. Telah terjadi bertahun-tahun tanpa ada pembenahan yang berarti.Terhadap temuan rekening liar, BPK seharusnya dapat segera melakukan audit khusus yang lebih bersifat investigatif agar menjadi jelas mana rekening liar yang mengandung unsur penyalahgunaan wewenang dan berimplikasi pada terjadinya kerugian negara.
Inisiatif BPK untuk menindaklanjuti dengan audit khusus sudah menjadi keharusan karena temuan ini telah direkomendasikan BPK sendiri untuk dibenahi pemerintah, akan tetapi tidak mendapatkan perhatian serius oleh pemerintah selama bertahun- tahun. Hasil temuan audit investigatif BPK dapat menjadi bukti awal bagi Kejaksaan dan KPK untuk dapat segera bekerja. Janji Menteri Keuangan untuk mengusut rekening liar di pemerintahan juga harus dibuktikan dengan hasil yang nyata.
Memang tidak semua rekening liar dapat mengandung korupsi, akan tetapi Departemen Keuangan memiliki wewenang untuk membuat klasifikasi sehingga dapat mempermudah kerja-kerja BPK. Akses BPK terhadap rekening pemerintah di bank umum juga masih menjadi masalah. Pemerintah harus meminta Bank Indonesia mempersilakan BPK mengakses rekening bank tanpa hambatan Peraturan BI No.2/19/PBI/2000 tentang Izin Membuka Rahasia Bank, karena dana rekening liar pada dasarnya adalah dana publik.(*)
Ibrahim Fahmy Badoh, Manajer Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch
Tulisan ini disalin dari Koran Sindo, Sabtu, 23/06/2007