Release atas Eksaminasi publik Putusan atas nama Terdakwa Arwin AS, Mantan Bupati Siak
Realease
Atas Examinasi Publik
Putusan atas nama Terdakwa Arwin AS Mantan Bupati Siak
Reg. Per. 10/Pid.Sus./2011/PN.PBR
Examinasi Publik dalam perkara pidana Reg. Per. 10/Pid.Sus./2011/PN.PBR, dalam perkara atas nama Terdakwa : -----------------------------------------------------------------------------
Nama : H. ARWIN AS, S.H.
Tempat Lahir : Bengkalis
Umur : 59 Tahun/10 Juni 1952
Jenis Kelamin : Laki-laki
Kebangsaan : Indonesia
Alamat : Jalan Raya Kecik No. 3 Siak Sri Indrapura (Riau) atau Jl. Singgalang Pekanbaru, Riau
Agama : Islam
Pekerjaan terakhir : Mantan Bupati Siak
Pendidikan : S1
Total kerugian negara dalam perkara ini adalah Rp.301.663.789.091,88 (tiga ratus satu milyar enam ratus enam puluh tiga juta tujuh ratus delapan puluh sembilan ribu sembilan puluh satu rupiah delapan puluh delapan sen)
Dengan Dakwaan sebagai berikut :------------------------------------------------------------------------
PRIMAIR : Melanggar Pasal 2 ayat 1 jo. 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang PTPK sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana jo. pasal 65 ayat 1 KUHPidana;
SUBSIDIAIR : Melanggar Pasal 3 jo. pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang PTPK sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana jo. pasal 65 ayat 1 KUHPidana;
Pemerintahan di era setelah kejatuhan Suharto, diamanahkan harus melaksanakan agenda reformasi tersebut, oleh karena sebagai amanah, maka pemerintahan harus dilaksanakan. Amanah ini tertuang didalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, kemudian ditindaklanjuti dalam Tap MPR VIII/2001 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VIII/MPR/2001 Tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme .
Bahwa penerapan hukum yang dilakukan oleh Hakim dengan melakukan terobosan hukum keluar dari dakwaan, telah memenuhi hukum acara, karena secara limitatif hukum acara pidana tidak ada melarang tentang itu.
Hal ini berguna untuk menutupi kelmahan dari penerapan hukum yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum, yang harus kita akui, banyak terdapat kelemahan terutama tentang dakwaan yang diajukan terhadap Terdakwa.
Penerapan Yurisprudensi ini memiliki sandaran hukum yang kuat, selain karena setara Undang-undang, juga penerapan yurisprudensi adalah hak dan kewenangan hakim, sebagaimana dikutip pendapat :
Prof. Sudikno Mertokusomo yang pada pokoknya sebagai berikut :
“Undang-undang merupakan produk lembaga legislatif yang bersifat abstrak/umum, berlaku umum menurut waktu, umum menurut tempat, dan umum menurut orang, sedangkan putusan pengadilan bersifat individual konkrit yang hanya mengikat pihak-pihak yang bersangkutan”.
Dan Prof. Oemar Seno Adji yang pada pokoknya sebagai berikut :
“Perundang-undangan sendiri kadang-kadang mengikuti suatu teknik perundang-undangan dengan mempergunakan formula, rumusan yang serba umum dan kurang jelas “vaag” – sering dikatakan adanya suatu gejala “flucht in die Generalklausuln”, yang kesemuanya pada hakekatnya mendelegasikan kepada hakim untuk mengisi perumusan yang luas dan umum tersebut”.
Dan karenanya penerapan Yurisprudensi dapat diterima. Kemudian mengenai hukum pidana materiel yang diterapkan, walau terdapat kerancuan, bila dilihat asas Lex specialis sistematika, lex generalis, tetapi tentang ini mengacu pengertian kerugian negara yang dianut UU tindak pidana korupsi, kemudian dikaitkan dengan UU Keuangan negara, maka yang dimaksud kekayaan negara dan keuangan negara, segala apapun yang dimiliki oleh negara, yang tidak bisa lain terhadap bumi dan air serta keayaan alam diatasnya.
Oleh karena itu, perbuatan Terdakwa ARWIN AS telah terbukti merugikan negara, karena perbuatan ada, sehingga terdakwa harus diberi sanksi sebagaimana tujuan hukum pidana.
Prof. Komariah Emong Sapardjaja, Guru Besar Universitas Padjajaran dan sekarang menjadi Hakim Agung, didalam bukunya “ajaran Sifat Melaan Hukum” mengajukan pertanyaan sehubungan dengan perapan hukum pidana, beliau menyatakan:
“Kepada siapakah hukum pidana ini ditujukan atau siapakah adresat hukum pidana? Apakah hanya ditujukan kepada pelanggar-pelanggar aturan hukum pidana dan karenanya mereka dihukum? Ataukah ditujukan kepada para penegak hukum untuk menegakkannya agar terdapat tata tertib dalam lalu lintas pergaulan hidup pada suatu negara?”
Setentang dengan ini Jan Remmelink mengemukakan bahwa hukum pidana seharusnya ditujukan untuk menegakkan tertib hukum, melindungi masyarakat hukum, penjagaan tertib sosial ini untuk bagian terbesar sangat tergantung pada paksaan, jika norma – norma tidak ditaati akan muncul sanksi.
Kelemahan utama dalam putusan hakim ini adalah sitematika pertimbangan putusan yang bertentangan dengan hukum acara dan tidak diterapkannya KUHAP (i.c. 185 ayat 4) membuka peluang bagi hakim mempergunakan yang dalam istilah pembuktian disebut sebagai cutting bewijs.
Kembali kita melihat, surat dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum, bahwa dipersidangan terbukti adanya gratifikasi dari beberapa orang pengurus perusahaan dan sejak semula sepertinya telah diketahui, dari keterangan saksi, terdakwa ada menerima sejumlah uang yang diberikan pemohon IUPHHK-HT untuk memuluskan persetujuan izin dimaksud, tetapi kenapa Jaksa Penuntut Umum tidak memasukkan dakwaan dimaksud sedangkan surat dakwaan jaksa penuntut umum berbentuk subsidaritas, disini satu sisi kejanggalan dari kemurnian maksud dari Jaksa Penuntut Umum.
Lebih jauh kejanggalan ini terbukti di persidangan, semua proses pembuktian lebih berat bobotnya diarahkan kepada penerapan pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentan PTPK sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang PTPK. Bahwa tidak ada larangan pencantuman lebih dari satu dakwaan di dalam bentuk dakwaan subsidaritas, tetapi JPU telah membatasi, hanya dengan 2 (dua) pasal yang di dakwakan, yakni primair dan subsidair, menurut hukum acara pidana tidak tertutup kemungkinan apabila dilakukan dakwaan kombinasi, menjadi pertanyaan, kenapa tidak mengarah kepada bentuk dakwaan tersebut . Dari sisi konteks pemberantasan dengan cara luar bisa terhadap tindak pidana korupsi, belum terpenuhi secara maksimal.
Analisis Dakwaan
Titik Lemah Dakwaan JPU KPK:
1. Di dalam dakwaan ini, JPU KPK juga mencantumkan Pasal 65 ayat (1) KUHP tentang Gabungan dalam beberapa perbuatan (Meerdaadse samenloop atau concursus realis). Concursus Realis atau juga disebut dengan istilah lain yaitu “perbarengan perbuatan” ini terjadi jika seseorang melakukan beberapa perbuatan, dan setiap perbuatan itu merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri, baik itu berupa kejahatan ataupun pelanggaran, dan terhadap perbuatan-perbuatan tersebut diadili sekaligus (terhadap beberapa perbuatan tersebut belum pernah ada dijatuhkan putusan oleh Hakim). Berdasarkan uraian di atas, seharusnya JPU KPK mencantumkan tindak pidana lain di luar Tindak Pidana Korupsi dalam surat dakwaannya sebagai bagian dari concursus realis (dalam hal ini misalnya Tindak Pidana Kehutanan);
2. Perbuatan melawan hukum yang dikonstantir oleh JPU KPK di dalam perkara ini sebagai tindak pidana korupsi, sesungguhnya adalah perbuatan melawan hukum yang berada di ranah (domain) tindak pidana di bidang kehutanan. JPU KPK kurang memahami (a) asas lex specialis derogate lex generalis (b) asas lex specialis logis derogate lex generalis, dan (c) asas lex specialis systematict derogate lex generalis. Alhasil wajar saja JPU KPK tidak mencantumkan pelangaran tindak pidana kehutanan dalam surat dakwaannya, karena ketidakpahaman atas asas-asas di atas.
Kemudian, uraian dakwaan JPU juga tidak sesuai dengan pasal yang didakwakan, hal ini menunjukkan inkonsistensi dalam dakwaan JPU. Selain itu, ada concursus realis yang tidak dicantumkan, seharusnya ada uraian tentang tindak pidana perbarengan.
Sebab, Berdasarkan fakta-fakta hukum pada perkara ini telah terjadi perbuatan gratifikasi kepada Terdakwa oleh perusahaan-perusahaan tersebut. Oleh karena itu ini bisa dikenakan Pasal 11 UUPTPK. Namun sayangnya JPU tidak memuat Pasal 11 UU PTPK di dalam surat dakwaannya.
Jadi dalam kasus ini telah terjadi Gabungan (concursus) dalam melakukan tindak pidana, yaitu Tindak Pidana Kehutanan dan Tindak Pidana Korupsi berupa gratifikasi yang dilakukan secara bersama-sama, yaitu melanggar ketentuan:
Perbuatan mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah (vide Pasal 78 Ayat (2) atas pelangaran Pasal 50 Ayat (3) huruf a UU Kehutanan); dan Merambah kawasan hutan (vide Pasal 78 Ayat (2) atas pelangaran Pasal 50 Ayat (3) huruf b UU Kehutanan); dan Melakukan tindak pidana korupsi berupa gratifikasi yang diatur dan diancam pidana dalam pasal 11 UU PTPK jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Sebagai catatan, Sejumlah putusan Pengadilan telah meletakkan dasar yang cukup kuat bahwa kejahatan di bidang Kehutanan dapat dijerat dengan UU Tindak Pidana Korupsi, yaitu:
o Putusan Mahkamah Agung Nomor 68 K/PID.SUS/2008 dengan terdakwa: AdelinLis
- Perbuatan: penebangan diluar RKT
- Kerugian Negara: Nilai tegakan kayu, DR dan PSDH
- Adelin terbukti melakukan Tindak Pidana Korupsi dan Kehutanan
- Hukuman: 10 tahun penjara, uang pengganti Rp. 119,802 Miliar
o Putusan Mahkamah Agung Nomor 380 K/Pid.Sus/2007 dengan terdakwa: Suwarna Abdul Fatah
- Kerugian keuangan Negara: Rp. 346.823.970.564,24
o Putusan Mahkamah Agung No. 736 K/Pid.Sus/2009 dengan terdakwa T. Azmun Jaafar
- Perbuatan: penerbitan 15 surat keputusan pencadangan lahan untuk usaha hutan tanaman IUPHHK-HT
- Penghitungan kerugian Negara: nilai tegakan kayu dikurangi biaya penebangan dan PSDH dan DR yang sudah dibayarkan
- Kerugian keuangan Negara yang diakui hakim Rp. 1,208 triliun.
Lemahnya dakwaan juga terdapat dalam putusan tersebut, yaitu tidak menggunakan pasal gratifikasi dan suap dalam dakwaan sebagaimana diatur dalam pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) dan pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dalam pasa 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK), dan pasal 12 huruf (a) dan (b) UU PTPK.
Kerancuan Pertimbangan Majelis Hakim
Pertimbangan Majelis Hakim tidak konsistendan cenderung rancu dalam memutus perkara ini:
1. Di dalam pertimbangan Majelis terhadap Dakwaan Primer (mulai dari halaman 328-352), Majelis Hakim telah menyatakan bahwa Dakwaan Primer JPU pada perkara ini TELAH TERBUKTI.
Dalam memutus perkara ini terdapat juga dissenting opinion dari dua orang hakim anggota yang intinya menyatakan bahwa:
a. Tidak ada perbuatan melawan hukum pada diri Terdakwa karena dari 6 IUPHHK-HT yang dikeluarkan terdakwa, ada 1 yang tidak bermasalah (IUPHHK-HT No.1), sehingga majelis hakim menarik kesimpulan bahwa yang lainnnya juga tidak bermasalah (lihat Putusan halaman 358 paragraf 5-7);
b. Yang bertanggung jawab atas penebangan hutan tersebut adalah pihak yang memberikan RKT dan RKL (Gubernur dan Kepala Dinas Propinsi Riau)
Atas dissenting opinion dari dua orang hakim anggota, maka di Halaman 358 Berkas Putusan Majelis Hakim menyatakan bahwa Perbuatan melawan Hukum pada diri terdakwa atas penerbitan IUPHHKHT tidak terbukti sehingga terdakwa harus dibebaskan dari Dakwaan Kesatu tersebut (Dakwaan Primer).
Penarikan kesimpulan Majelis Hakim ini rentan sekali dengan kekeliruan karena silogsme deduksi induktif bahwa ada 1 IUPHHKHT tidak bermasalah, maka 5 IUPHHKHT lainnya juga tidak bermasalah adalah proses generalisasi yang belum tentu benar. Selain itu juga Majelis Hakim tidak berusaha menggali fakta-fakta materiil secara benar bahwa RKT dan RKL bisa dilakukan setelah adanya IUPHHKHT.
2. Di halaman 360 Majelis Hakim menyatakan bahwa dalam perkara ini Terdakwa telah terbukti ada menerima uang dari para pengusaha. Oleh karena itu hakim berpendapat bahwa Terdakwa dapat dikenakan ketentuan Pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan Pasal 11 UU PTPK ini tidak ada di dalam dakwaan JPU.
Atas dasar pertimbangan pelanggaran Pasal 11 ini, maka pada halaman 361 di paragrap ke empat, Majelis hakim menyatakan bahwa “dari keterangan saksi-saksi yang telah diberikan secara di bawah sumpah yang satu dengan yang lainnya saling berkesesuaian dan dihubungkan dengan keterangan ahli dan surat-surat bukti serta barang bukti yang diajukan dalam persidangan ini, maka Majelis telah yakin dengan terjadinya tindak pidana ini dan terdakwalah pelakunya, sehingga secara sah dan meyakinkan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan dalam dakwaan primer”
Konstruksi pemikiran majelis hakim ini sangat rancu dan sulit dipahami karena dakwaan primer telah dinyatakan tidak terbukti, namun dianulir kembali oleh Majelis Hakim dan dinyatakan terbukti dengan mempertimbangkan adanya gratifikasi, padahal unsure Pasal 2 ayat 91) UUPTPK sangat berbeda dengan unsure Pasal 11 UUPTPK.
3. Majelis Hakim yang memutus perkara ini, tidak paham terhadap concursus realis yang dirumuskan dalam Pasal 65 ayat (1) KUHP. Hal ini terlihat dari fakta pertimbangan hakim pada halaman 351 paragraf ke-1 yaitu:
“ menimbang bahwa dari fakta yuridis sebagaimana diuraikan di atas, terdakwa telah didakwa melakukan beberapa perbuatan yang sebenarnya masing-masing perbuatan tersebut diancam dengan hukuman sendiri, yaitu dengan diterbitkannya IUPHHKHT oleh terdakwa terhadap satu perusahaan sebenarnya sudah merupakan suatu tindak pidana yang diancam dengan hukuman sendiri karena telah terpenuhinya unsure tidak pidana korupsi yang didakwakan….. Dengan demikian penerbitan kelima IUPHHKHT tersebut merupakan gabungan atas lima kejahatan…”
Rekomendasi
Dari hasil eksaminasi ini, diajukan beberapa rekomendasi, yang antara lain :
- Harus ada penguatan/pendidikan untuk meningkatkan profesionalitas JPU KPK
- Harus ada penguatan/pendidikan untuk meningkatkan profesionalitas hakim Tipikor
- MA harus memperbaiki struktur putusan ini.
- Dalam perkara ini, korporasi juga harus dijerat, karena bersama-sama melakukan perbuatan pidana yang mengakibatkan kerugian keuangan negara.
- Harus ada pengembalian kerugian negara (asset recovery).
Medan, 13 November 2012
Majelis Eksaminasi
Dr. Mahmud Mulyadi,SH, M.Hum : 081373029075
Dr. Mirza Nasution,SH, M.Hum : 08126391140
TR Arif Faisal, SH : 081263337007
ICW
Febri Diansyah : 08197575404